Mohon tunggu...
Nadia Shafa Huwaida
Nadia Shafa Huwaida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Youth Communication Day 2021: Communication Challenges in The Age of Hybrid

23 Desember 2021   01:10 Diperbarui: 23 Desember 2021   01:36 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Youth Comumunication Day 2021 digelar pada tanggal 13 Desember 2021. Acara tersebut ditayangkan live di Channel YouTube Universitas Ahmad Dahlan. Terdapat empat pembicara untuk Opening Ceremony dan satu pembicara untuk Closing Ceremony yang akan mempresentasikan materi mereka masing-masing terkait dengan tema acara ini, yakni "Communication Challenges in The Age of Hybrid". Empat pembicara untuk Opening Ceremony di antaranya adalah, Anton Yudhana, Ph.D. dari Universitas Ahmad Dahlan, Prof. Estrella Arroyo, Ed.D. yang merupakan Dekan dari College of Liberal Arts University of Saint Anthony Philippines, Dr. Kirti Dang-Longani dari Ajeenkya DY Patil University, Pune India, Jessada Salathong, Ph.D. dari Faculty of Communication Arts, Chulangkorn University Thailand, dan sebagai Closing Ceremony Keynote Speaker, terdapat Dr. Chen Chujie dari Nanjing Normal University China.

Kali ini, saya Nadia Shafa Huwaida, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, akan merangkum materi dari salah satu pembicara yakni Jessada Salathong, Ph.D. dari Faculty of Communication Arts, Chulangkorn University, Thailand dan biasa dipanggil sebagai Jess. Jess membawakan materi terkait "Communication Challenges in The Era of Hybrid" tentang topik "Thailand's media landscape in disruptive era".

Jess mengatakan bahwa proses komunikasi sangat klasik, ia menggambarkan istilah singkatan S-M-C-R (sender-message-channel-receiver) sebagai proses komunikasi. Sender berarti pengirim atau komunikator, message merupakan pesan yang dikirim/diterima, channel sebagai saluran untuk mengirim/menerima pesan, dan receiver ialah si penerima pesan atau komunikan. Proses ini yang selalu ia ajarkan pada murid-muridnya di Thailand. Namun, Jess melanjutkan bahwa proses ini telah berubah. Proses komunikasi tidaklah seklasik S-M-C-R lagi. Penerima pesan tidak lagi hanya sebagai penerima pasif, namun mereka juga sebagai center atau pusat komunikasi pula. Pesan yang dikirim oleh komunikator sebelumnya, untuk kemudian komunikan dapat mengirim pesan tersebut ke komunikan selanjutnya, yang berarti komunikan juga berperan sebagai komunikator. Sehingga ekosistem komunikasi telah banyak berubah dan bergeser selama dekade terakhir.

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran proses komunikasi menjadi kompleks ialah yang kita sebut sebagai gangguan. Jess menuturkan bahwa gangguan yang dimaksud sebenarnya bukan hanya tentang gangguan komunikasi, namun gangguan secara dari berbagai bidang, seperti aspek keuangan. Jess memberikan contoh semacam di Thailand, orang-orang hanya menggunakan smarthphone untuk berbagai keperluan termasuk dalam hal transaksi. Mereka tidak membutuhkan uang tunai atau membawa dompet lagi. Contoh ini sangat biasa dan umum di China pula. Mereka menggunakan smarthpone untuk segala hal termasuk transaksi.

Namun, ketika membahas gangguan media, apa artinya? Apa itu berarti teknologi di masa kini menggantikan teknologi konvensional di masa lalu? Jess bercerita dulunya ia memulai karir sebagai Jurnalis. Ia merupakan Jurnalis Teks. Yang dimaksud dengan Jurnalis Teks ialah Jess bertugas mengetik atau menulis, ia tidak dapat mengambil foto pada masa itu, sebab itu adalah masa ketika kamera digital belum dikembangkan. Di masa itu, jika Anda ingin menjadi seorang Fotografer, maka Anda perlu mengetahui bagaimana cara mengembangkan film, dan jika Anda ingin merekam video maka Anda perlu memiliki Kru Kamera. Ini berarti bahwa untuk meliput sebuah cerita, diperlukan Jurnalis Teks, Fotografer, Kru Kamera, dan juga bisa saja diperlukan sopir, maka dapat disimpulkan untuk meliput dengan cara konvensional, setidaknya membutuhkan empat orang. Bukankah agak rumit, kan?

Sebelum akhirnya adanya digital disruption atau gangguan digital yang membuat kita mengenal smarthphone. Smarthphone dapat merangkum segala kebutuhan menjadi satu. Misal untuk meliput, jika ingin mengambil foto, merekam suara informan, dan melakukan live di media sosial, semuanya dapat dilakukan hanya dengan menggunakan smarthphone. Ini merupakan contoh gangguan digital atau gangguan media.

Jess juga menceritakan, bahwa di Studio TV, misalnya Studio TV Thai PBS tidak lagi ada kru kamera sebab mereka menggunakan robot untuk bertugas menggantikan juru kamera. Dalam pengalamannya, Jess mengatakan ketika dia sebagai Pembawa Berita akan melakukan siaran, ia pergi ke studio, dan tidak aja juru kamera sama sekali karena semua kamera dikendalikan oleh robot.

Kita dapat menyimpulkan, berdasarkan contoh-contoh yang diceritakan oleh Jess, berbagai gangguan digital atau gangguan media berpengaruh terhadap banyaknya pekerjaan yang akan hilang. Tenaga kerja akan dipotong. Bahkan, untuk pekerjaan seperti Pembawa Berita dapat digantikan oleh robot AI, seperti robot AI yang dihasilkan oleh China dan digunakan sebagai Pembawa Berita. Ini mengartikan bahwa kita tidak lagi memerlukan manusia sebagai Pembawa Berita.

Jess tidak mengatakan ia ada di pihak bahwa itu baik atau buruk. Namun, hal ini mengakibatkan adanya pro dan kontra. Gangguan media benar-benar mengubah gaya hidup kita. Itu mengubah cara kita mengonsumsi media dan itu mengubah karir kita pula sehingga hal tersebut sangat berpengaruh terhadap segala kebiasaan atau perilaku dalam hidup manusia.

Fenomena lain yang terjadi ialah fenomena konvergensi media. Ketika segala hal seperti print, audio, dan semuanya menyatu menjadi satu platform yang disebut sebagai konvergensi media. Karena konvergensi media dan gangguan media seperti yang Jess paparkan bahwa di Thailand, mereka memiliki pertanyaan besar bahwa saat ini, siapapun dapat menjadi media atau tidak? Siapapun dapat menjadi produser media, siapapun dapat bertindak seperti reporter. Sebenarnya, cara teknologi memungkinkan pengguna atau penerima untuk membuat konten sendiri yang disebut sebagai UGC (User-Generated Content) atau Konten Yang Dibuat Pengguna. Contohnya, seperti TikTok. TikTok merupakan platform yang menyediakan fasilitas bagi pengguna untuk dapat menciptakan konten mereka sendiri. Misal, dengan menggunakan video klip atau gambar dari orang lain kemudian dibuat konten oleh pengguna tersebut. Inilah yang disebut sebagai UGC atau User-Generated Content. TikTok sangat populer karena memberikan kemudahan bagi para penggunanya untuk membuat konten sehingga itu menjadikan platform tersebut menjadi nomor 1 sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh dan juga merupakan aplikasi yang menghasilkan banyak pendapatan tahun lalu.

Konvergensi media menjadikan adanya orang-orang yang mempengaruhi dan juga media yang berpengaruh terhadap audiens. Di masa lalu, mungkin kita berpikir bahwa media massa seperti radio, televisi begitu berpengaruh. Namun, sekarang meskipun jangkauan media massa sangat besar seperti yang dapat dilihat pada gambar piramida, bahwa media massa meraih jangkauan sangat besar, tetapi dalam hal influence itu berbeda. Jika dilihat dalam gambar piramida tersebut, tertera konektor sosial seperti aktor, selebriti, musisi, idol yang memiki followers sedikit atau kurang kaya, namun dalam hal pengaruh kekuasaan mereka memiliki lebih banyak dampak. Pencipta konten seperti Blogger, YouTuber, TikToker, mereka juga memiliki dampak yang lebih besar terhadap orang-orang. Dan Pemimpin Opini seperti seorang ahli, ilmuwan, dokter, orang-orang semacam itu ialah yang banyak mempengaruhi orang lain. Meskipun mereka tidak memiliki seperti jutaan pengikut, tetapi kebanyakan orang-orang mendengarkan mereka ketika membutuhkan untuk mengetahui informasi-informasi tertentu. Dan sebenarnya, yang memiliki pengaruh paling besar ialah teman, keluarga, atau pengguna sesungguhnya/organik.

Dokpri
Dokpri

Hal lain yang masih sangat penting bagi media bahkan sebelum gangguan atau bahkan ketika saat ini kita berada di era disrupsi, ialah teknik story telling. Ketika kita berbicara tentang story telling, itu tidak hanya membutuhkan musik, seri, atau sesuatu yang berhubungan dengan audio visual. Jess memberikan contoh dari Jepang, sebuah gambar reruntuhan lobak. Reruntuhan lobak itu tampak tidak bagus, sehingga Anda tidak dapat menjualnya. Namun, jika Anda menciptakan cerita yang berhubungan dengan lobak itu, Anda dapat meningkatkan nilai lobak tersebut dan itu dapat lebih dipasarkan. Bagaimana Anda akan menambahkan cerita tentang lobak yang tidak diinginkan ini? Jess juga mencontohkan kisah petani di Jepang, mereka hanya menempatkan paket lobak seperti yang terlihat pada gambar. Kemudian ada begitu banyak cerita seperti lobak itu tersenyum dan lobak itu menangis. Cerita yang dibuat tersebut akhirnya menyentuh hati konsumen, konsumen menyukai cerita lobak itu sehingga penjualan lobak yang tidak diinginkan sebelumnya menjadi melonjak.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Jess menceritakan kisah lain dari jepang, berupa kisah Kumamon. Ini merupakan maskot dari kota kecil bernama Kumamoto di bagian selatan Jepang. Sebelumnya, kota ini tidak begitu populer, tidak banyak diketahui, itu hanyalah Kumamoto, sebuah kota kecil tak dikenal. Lalu, Gubernur kota itu memiliki ide bahwa mereka harus berdandan selayaknya maskot guna menarik perhatian orang-orang untuk mengunjungi dan mengenal lebih banyak tentang kota mereka, Kumamoto. Maka, Gubernur menciptakan beruang hitam dengan pipi merah yang disebut Kumamon. Kumamon menjadi sangat populer dan berhasil menarik orang-orang untuk berbondong-bondong mengunjungi kota kecil yang sebelumnya bahkan tak dikenal itu menjadi kota populer dan ramai, serta banyak menghasilkan pendapatan untuk Kota Kumamoto.

Berbicara tentang story telling, dalam hal tentang Thailand. Jess bercerita ketika ia pergi ke Malaysia, ia bertanya pada siswa dan orang-orang seperti media apa atau image semacam apa yang Anda pikirkan tentang Thailand? Sebelum adanya pandemi Covid-19, Jess pergi ke Medan, Indonesia. Ketika ia memberitahu bahwa dirinya adalah orang Thailand, mereka (orang Medan) mengatakan pada Jess bahwa lagu "Wik Wik" dari Thailand sangat populer. Jess membalas dan bertanya apa yang dimaksud dengan lagu "Wik Wik", karena ia benar-benar tidak mengetahui lagu tersebut. Banyaknya orang-orang yang bertanya pada Jess tentang lagu itu, yang kemudian membuat Jess akhirnya mencoba bertanya pada temannya yang merupakan Dosen di Universitas di Medan. Jess mendapatkan jawaban dan akhirnya memahami bahwa lagu tersebut merupakan story telling. Itu merupakan cerita tentang seorang gadis yang dipaksa menikah dengan pria yang sebenarnya tidak dia cintai. Jadi, lagu itu benar-benar dibangun atas sebuah cerita.

Ketika berbicara mengenai series atau konten Thailand, Anda mungkin berpikir tentang cerita hantu. Jess beranggapan bahwa media Thailand sangat kuat dalam hal ini, yakni cerita yang berkaitan dengan hantu. Seperti Pee Mak atau Nang Nak, yang merupakan urban legend di Thailand. Kisah itu merupakan urband legend yang telah terjadi pada masa ratusan tahun sebelumnya, tetapi telah ditafsirkan ulang, direvisi, direvitalisasi menjadi film yang benar-benar merupakan bentuk baru dari sebuah cerita. Itu merupakan cara baru dari story telling dan akhirnya menjadi sangat populer meskipun berulang kali diproduksi. Konten Thailand lain seperti Bad Genius, dan film horor Thailand The Medium yang diproduksi bersama dengan produser Korea Selatan, dan terakhir ialah seri Boys Love yang sangat populer sekarang di Thailand. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa itu menjadi soft power dan new soft power. Jika di Korea mereka memiliki K-Pop, maka di Thailand sekarang memiliki Boys Love sebagai genre yang sangat terkenal. Seri ini juga sangat populer di Jepang, Jess bahkan terkejut melihat bahwa orang-orang di Jepang berbaris mengantri untuk menonton film tersebut bahkan sebelum film itu diluncurkan di Thailand sendiri. Jadi, segala hal ini telah dibangun atas dasar story telling. Tidak peduli jika itu di era hybrid, atau era sebelum pandemi Covid-19, atau bahkan di era disrupsi/gangguan, story tyelling masih sangat penting. Itu merupakan teknik dan keterampilan seni serta sebagai media personal yang wajib kita miliki.

Jess mengatakan, jika Anda ingin bercerita, tentu Anda harus memiliki teknik story telling yang baik. Namun, sekarang Anda harus melihat tren di seluruh dunia. Jess juga mengingatkan jika Anda ingin bercerita, Anda juga harus memikirkan konteks, tidak hanya konten. Jess mengambil konteks "Global Citizen and Wokeism" atau yang berarti Warga Dunia dan Wokeism (merujuk pada gerakan kesadaran akan isu-isu sosial). Jess menuturkan bahwa saat ini, Anda tidak dapat benar-benar membatasi diri Anda hanya sebagai orang Indonesia. Tetapi, Anda adalah warga negara global. Wokeism merupakan tren bagi orang-orang yang berjalan, keluar, dan mereka mencoba untuk berkomunikasi dan mengekspresikan suara mereka dalam jenis konten dan konteks. Dalam hal ini, sebagai warga negara global, Anda harus menjadi bagian dari komunitas global. Wokeism, yakni ketika Anda berjalan dan menyuarakan, berkata tegas tentang apa saja kata-kata yang ingin Anda katakan. Semua orang equal atau memiliki hak yang sama. Ada beberapa topik yang memenuhi tren Global Citizen, Wokeism, dan Inclusiveness. Misalnya, perubahan iklim, rasisme, seperti kasus populer Black Lives Matter sebelumnya. Maka, jika Anda ingin memproduksi konten apapun, Anda harus memikirkan apakah itu termasuk rasis atau tidak, dan juga berpikir mengenai kesetaraan gender, kesetaraan seksual. Di antara orang-orang, terdapat orang dengan atau tanpa kecacatan. Dari segi banyak hal tersebut, di era ini, Anda perlu hati-hati dalam membuat konten.

Hal lain yang juga sangat penting sekarang ialah tentang Media Literacy. Anda memiliki smarthphone dan Anda dapat melakukan apa saja dengan itu. Ketika Anda melakukan suatu hal tanpa tanggung jawab atau dengan niat buruk, Anda harus sangat berhati-hati. Anda perlu memiliki akses yang baik, analisis yang baik, evaluasi yang baik, dan di atas segala hal tersebut, Anda harus dapat membuat karya yang baik dengan memperhatikan literasi media.

Pentingnya literasi media adalah ketika Anda memahami dan ketika Anda menjadi melek akan media, maka Anda dapat mengelola media dengan baik dan Anda tidak akan menjadi korban dari berita palsu. Juga, Anda perlu pandai dalam menganalisis media. Seperti yang dapat kita ketahui, teknologi saat ini dapat dipergunakan untuk melakukan apapun, orang dapat membuat berita palsu, bahkan orang dapat menirukan suara orang lain, sehingga Anda perlu berhati-hati. Jess kemudian beralih menjelaskan tentang clickbait. Clickbait merupakan hal yang dapat memikat Anda. Itu dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan klik dan mendapatkan "likes". Jess beranggapan bahwa di Indonesia, maupun di Asia termasuk Thailand dapat ditemukan banyak clickbaits sehingga kita harus melek dan pandai dalam mengelola media.

Anda dapat menonton Opening Ceremony Youth Communication Day 2021 secara full di bawah ini:


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun