Mohon tunggu...
Nadia Shafa Huwaida
Nadia Shafa Huwaida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Teknologi Informasi dan Komunikasi dari Perspektif Film "The Social Dilemma"

15 Juli 2021   21:21 Diperbarui: 23 Juli 2021   13:12 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teknologi Informasi dan Komunikasi merupakan kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, pengelolaan dan penyampaian atau pemindahan informasi antar sarana/media. Perkembangan teknologi yang semakin maju dari zaman ke zaman menuntut masyarakat untuk mengikuti kemajuan perkembangan teknologi tersebut, semata agar masyarakat setidaknya tidak tertinggal informasi, atau alasan sederhana lainnya ialah tidak ketinggalan zaman. Adanya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih memengaruhi kehidupan dan kepribadian para penggunanya. Teknologi melahirkan media sosial yang kini banyak menjadi candu bagi masyarakat yang menggunakannya. Kecanduan tersebut membentuk atau mengubah bagaimana mereka berinteraksi dalam kehidupan sosial serta bagaimana mereka mengaplikasikan media sosial tersebut dalam hal positif atau justru jatuh tersesat dalam hal negatif.

Dalam pembahasan artikel kali ini, saya Nadia Shafa Huwaida, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, akan menceritakan sedikit pengalaman saya dalam menggunakan media sosial sebagai hasil dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dengan sedikit banyak menghubungkan dengan film "The Social Dilemma", sebab film tersebut memiliki keterkaitan dengan tema artikel yang saya tulis kali ini. "The Social Dilemma" merupakan film drama dokumenter Amerika Serikat tahun 2020 yang disutradarai oleh Jeff Orlowski dan ditulis oleh Orlowski, Davis Coombe, dan Vickie Curtis. Film ini menampilkan wawancara dengan banyak mantan karyawan, eksekutif, dan profesional lainnya dari perusahaan papan atas dan platform media sosial seperti Facebook, Google, Twitter, dan YouTube. Orang-orang yang diwawancarai tersebut memanfaatkan pengalaman utama mereka di perusahaan untuk mendiskusikan bagaimana platform semacam itu telah menyebabkan konsekuensi sosial, politik, dan budaya yang bermasalah dan negatif, di samping platform media sosial dan perusahaan besar juga telah memberikan beberapa perubahan positif bagi masyarakat. Wawancara ini disajikan dengan menambahkan dramatisasi skrip dari remaja yang kecanduan media sosial.

Saya merupakan pengguna yang aktif dalam bermedia sosial, terutama dalam menonton YouTube, mendengarkan musik di Spotify, berselancar di Twitter, menonton film atau drama di platform streaming, dan membaca cerita melalui platform Google Play Buku atau Wattpad. Dibilang kecanduan, saya tidak bisa mengelaknya, saya bisa menghabiskan waktu dalam bermain smarthphone lebih dari 5 jam sehari-harinya, jadi, kesimpulannya, ya, saya kecanduan. Remaja-remaja seumuran saya, atau anak-anak di bawah umur, bagi mereka yang sudah mengenal smarthphone dan media sosial, saya yakin kebanyakan dari mereka juga kecanduan dan menghabiskan lebih dari 3 atau 5 jam sehari-harinya dalam bermain gadget. Tak terkecuali adik saya yang saat ini akan naik menuju kelas 6 SD. Adik saya yang masih kecil saja, sudah sangat kecanduan bermain game melalui gadget. Rasa-rasanya dia bahkan bisa seharian hanya bermain game tanpa merasa lapar atau bahkan haus, serius.

Melalui media sosial, saya mendapatkan banyak sisi positif, seperti pembelajaran daring akibat pemberlakuan pembatasan di masa pandemi, teknologi menghadirkan aplikasi seperti WhatsApp, Zoom, Google Meet, Google Classroom untuk saya dan mahasiswa lain dapat tetap menerima pembelajaran di antara keterbatasan. Saya juga dapat menemukan banyak hiburan yang bertebaran di media sosial. Di saat saya sedang stress, saya dapat membuka media sosial, lalu menemukan postingan lucu, mendengarkan musik menenangkan lewat Spotify, atau membaca cerita melalui novel digital, yang akhirnya menghibur dan mengurangi stress saya. Saya juga dapat mengetahui update terbaru melalui media sosial dari idola favorit saya, salah satunya Zhang Yixing, mendengarkan musiknya, atau menonton video-video lucu yang berkaitan dengannya, kemudian saya akan merasa tenang dan happy kembali. Terkadang, Anda dapat menemukan ketenangan dari hal-hal random, seperti mengidolakan sesuatu atau seseorang, atau sekedar mendengarkan musik, menonton film atau drama, membaca cerita, hal-hal sederhana yang bisa mengobati atau mengurangi stress yang Anda hadapi.

Sering kali di saat malam hari menjelang tidur, saya akan bertekad saya hanya akan menghabiskan satu part dalam novel digital (e-book) lalu saya akan tidur. Tapi, ketika saya sudah selesai membaca satu part, saya akan mengulang tekad kembali, "mari baca satu part lagi, lalu aku akan benar-benar tidur." dan itu terulang terus menerus sampai secara tidak sadar saya sudah menghabiskan keseluruhan penuh novel dan baru tertidur menjelang pagi hari.

Hal tersebut juga berlaku ketika saya menonton drama atau series melalui platform streaming. Dari siang sampai dengan malam, saya bisa menghabiskan waktu hanya untuk menonton drama atau series, saya akan beralasan mari menonton cukup lima episode saja, namun sebab di ujung episode sudah terlanjur terlalu penasaran dan seru, saya akan menambah satu episode, lalu menambah satu episode lagi, dan itu terulang terus menerus, dan berujung saya baru akan tertidur di pagi hari. Saya terbiasa begadang, dan itu kebanyakan karena saya selalu mengulur waktu tidur untuk membaca cerita atau menonton drama/series.

Berbagai media sosial tidaklah benar-benar gratis untuk digunakan para penggunanya. Seperti ketika menonton YouTube, atau ketika membaca Wattpad, jika tidak berlangganan premium, ketika tengah asyik menonton video YouTube atau membaca cerita di Wattpad, akan muncul iklan di tengah-tengah aktivitas. Mengutip dari Aza Raskin, mantan karyawan Perusahaan Firefox dan Mozilla, Co-Founder dari Center for Humane Technology, Penemu Infinite Scroll, melalui film "The Social Dilemma", mengatakan bahwa "Karena kita tak membayar produk yang kita gunakan, pengiklan membayar produk yang kita gunakan. Pengiklan adalah pelanggannya, kitalah yang dijual." Sederhananya, seperti yang dikatakan oleh Tristan Haris, mantan pakar Etika Desain Google, Co-Founder dari Center for Humane Technology, bahwa "Pepatah klasiknya adalah, jika kau tak membayar produknya, berarti kaulah produknya."

Justin Rosenstein, mantan Insinyur Facebook dan Google serta Co-Founder Asana, menjawab mengenai "Mengapa pengiklan membayar perusahaan itu?" bahwa, "Mereka membayar untuk menampilkan iklan kepada kita. Kitalah produknya. Perhatian kita adalah produk yang dijual ke pengiklan." kemudian Jaron Lanier, Bapak Pendiri Virtual Reality Computer Scientist, menambahkan, "Perubahan perlahan, kecil, dan tidak nampak dalam perilaku dan persepsi kita, itulah produknya. Mengubah perilaku, cara berpikir, dan jati diri kita. Perubahannya perlahan dan kecil."

Soshana Zuboff, PhD, seorang Profesor Emeritus dari Harvard Business School dan Penulis 'The Age of Surveillance Capitalism', menimpali, "Hal tersebut lah yang selalu diimpikan oleh bisnis, untuk menjamin keberhasilan saat iklannya dipasang. Seperti itulah bisnis mereka. Mereka menjual kepastian. Agar sukses dalam bisnis itu, maka haruslah mempunyai prediksi yang bagus. Prediksi besar dimulai dengan satu hal penting, yakni membutuhkan banyak data." kemudian Tristan Harris mengatakan, "Hal tersebut banyak dianggap sebagai kapitalisme pengawasan. Kapitalisme yang mengambil untung dari jejak tak terbatas dari semua tempat yang semua orang kunjungi oleh perusahaan teknologi besar yang model bisnisnya ialah memastikan pengiklan bisa sesukses mungkin."

Melalui film "The Social Dilemma" juga dijelaskan bahwa setiap apa yang pengguna lakukan di internet diawasi, dilacak, dan diukur. Setiap tindakan dipantau dan direkam dengan hati-hati. Misalnya gambar yang kita lihat dan berapa lama kita melihatnya. Mereka punya lebih banyak informasi soal kita sebagai penggunanya daripada yang pernah dibayangkan dalam sejarah manusia. Semua data yang kita berikan setiap saat dimasukkan ke sistem yang nyaris tak diawasi oleh manusia, yang terus membuat prediksi yang makin membaik mengenai apa yang kita lakukan dan siapa kita.

Banyak orang salah memahami bahwa data kita yang dijual. Aza Raskin mengatakan bahwa memberi data secara gratis bukanlah minat bisnis Facebook. Lalu, mereka apakan data itu? Mereka membuat model yang memprediksi tindakan kita sebagai penggunanya. Semua yang pernah kita lakukan, semua klik yang kita buat, semua video yang kita tonton, semua tombol suka, semua hal tersebut diolah untuk membangun model yang lebih akurat. Setelah modelnya ada, hal-hal yang dilakukan orang dapat diprediksi. Seperti video apa yang akan terus pengguna tonton bisa diprediksi. Hal-hal semacam rekomendasi yang sesuai dengan tipe atau emosi pengguna.

Kita beralih dari memiliki lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis kecanduan dan manipulasi. Media sosial bukanlah alat yang menunggu untuk digunakan. Ia punya tujuan dan cara sendiri untuk memperolehnya menggunakan psikologimu melawan dirimu. Bak pepatah Erward Tufte, "Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka 'pengguna' yakni Narkoba dan Peranti Lunak." Dan, peranti lunak ibaratkan narkoba. Adiktif dan membuat candu terlampau dalam.

Saya dengan kecanduan saya dalam menonton di platform streaming dan membaca novel digital, adik saya dengan kecanduannya bermain game, teknologi memengaruhi saya dan orang-orang sekitar dalam menghabiskan waktu sehari-harinya, kebanyakan dihabiskan untuk hal yang sebenarnya sia-sia belaka. Bangun tidur, yang pertama dilakukan adalah mengecek ponsel. Sampai dengan menjelang tidur, yang dilakukan tetap mengecek ponsel yang berujung memainkan ponsel sampai larut atau bahkan pagi. Seperti ketika bertemu dengan teman-teman, waktu yang seharusnya dihabiskan untuk berkumpul, bercerita, seru-seruan bersama, secara sadar atau tidak sadar, justru kebanyakan dari kita malah sibuk bermain ponsel dan mengabaikan sesama. Maka dari itulah, ketika berkumpul dengan teman, akan lebih baik jika masing-masing ponsel disimpan atau dikumpul menjadi satu agar waktu yang ada benar-benar dihabiskan untuk berkumpul dan tidak saling mengabaikan dengan sibuk bermain ponsel. Waktu tidak dapat terulang kembali. Ada kalanya, Anda perlu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan orang yang Anda kasihi seperti keluarga, teman, atau pasangan, untuk menciptakan kenangan baik yang bisa Anda kenang di kemudian hari dengan hati bahagia. Ketika Anda sudah lanjut usia, Anda akan mengingat bahwa Anda memiliki kenangan yang baik, Anda memiliki hari-hari yang dimanfaatkan dengan baik, dan Anda bisa menceritakan kenangan tersebut pada anak-anak atau cucu-cucu Anda, atau sekedar menyimpannya sendiri dan mengingatnya di waktu yang Anda inginkan.

Jonathan Haidt, PhD, Psikolog Sosial dari NYU Stern School of Business dan Penulis 'The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion', dalam film "The Social Dilemma", menjelaskan bahwa ada banyak peningkatan besar dalam depresi dan kecemasan bagi remaja Amerika yang dimulai antara tahun 2011 dan 2013. Jumlah gadis remaja dari 100.000 gadis di negara tersebut dirawat di rumah sakit setiap tahun karena menyayat atau melukai diri sendiri. Angka itu cukup stabil sampai sekitar tahun 2010-2011, lalu mulai naik pesat. Meningkat 62% untuk gadis remaja lebih tua, 189% untuk gadis pra-remaja yang menunjukkan kenaikan hampir tiga kali lipat. Lebih mengerikan lagi, kasus bunuh diri alami tren yang sama. Gadis remaja lebih tua, usia 15 sampai 19 tahun mengalami peningkatan 70% dibandingkan dekade pertama abad ini. Para gadis pra-remaja yang awalnya berada di tingkat sangat rendah naik 151%. (Source : Centers for Disease Control and Prevention). Pola tersebut mengarah ke media sosial. Mengindikasikan bahwa media sosial memiliki efek yang sangat dalam yang dapat menyebabkan penggunanya alami depresi dan kecemasan berat.

Seperti ketika bermain media sosial Instagram, Anda mengunggah foto, lalu terdapat orang mengomentari foto Anda, komentar tersebut cenderung menyinggung atau menyakiti hati Anda, sehingga Anda akan memikirkannya sepanjang waktu kemudian mulai memengaruhi mental Anda, selanjutnya Anda akan merasa rendah diri sampai cemas setiap kali akan mengunggah foto lagi. Atau ketika Anda mencuitkan suatu hal di Twitter, yang menarik pendapat berbeda orang lain terhadap cuitan Anda, sehingga menjadi perdebatan dan mayoritas orang tidak menyetujui apa yang Anda utarakan, berujung serangan ramai-ramai terhadap Anda. Posisi Anda adalah sebagai minoritas yang tidak mempunyai cukup bala-bala untuk membela Anda. Seolah Anda adalah seekor domba yang terjebak di sekumpulan serigala.

Sering kali hal-hal kecil di media sosial bisa menyebabkan perdebatan, atau kesalahan kecil dapat menyerang Anda. Kita menggunakan media sosial yang di dalamnya terdapat ribuan atau bahkan jutaan orang dengan pemikiran berbeda dan emosional yang berbeda. Kita tidak dapat mengontrol bagaimana pendapat setiap orang terhadap kita, namun kita dapat mengontrol perasaan dan jari kita sendiri, untuk hati-hati dalam setiap apa yang kita ketik agar tidak menjadi boomerang, mengontrol untuk mengabaikan hal-hal apa saja yang berpotensi menyakiti kita dengan menghindarinya, dan melatih diri sendiri untuk tidak ambil pusing dengan apa yang orang pikirkan tentang kita. Dalam hidup, kita tidak berkewajiban untuk selalu menyenangkan orang lain. Ada kalanya kesenangan diri kita sendiri, atau yang lebih sederhananya, mempertahankan kewarasan jauh lebih penting daripada sekedar memikirkan orang lain yang belum tentu memikirkan kita juga.

Media sosial juga menjadi alasan merebaknya berita hoax atau propaganda, atau menjadi alasan adanya peperangan atau demo besar-besaran yang berawal dari adanya polarisasi politik. Pendukung fanatik suatu kelompok atau partai menggunakan berbagai alasan dalam menyebarkan suatu hal di internet untuk mengesahkan perilaku mereka demi tercapainya satu tujuan.

Sering kali di media sosial ditemukan perdebatan mengenai hal-hal yang sebenarnya sepele, seperti "Apakah bumi datar atau bulat?" yang berujung menyebabkan pertengkaran sengit antar dua kubu, dengan masing-masing kubu saling menimpali segala teori mereka untuk mendapatkan validasi atau memenangkan perdebatan. Kebanyakan masyarakat senang memercayai teori konspirasi, seperti yang sedang ramai diperbincangkan atas pandemi COVID-19 yang masih terjadi saat ini, terdapat dua kubu masyarakat, mereka yang percaya bahayanya virus Corona dan mendukung vaksinasi, serta mereka yang menganggap COVID-19 adalah virus yang dilebih-lebihkan dan menolak vaksinasi, mereka termasuk golongan dalam anti-vaksin. Kita dapat menemukan banyaknya teori konspirasi yang bertebaran di media sosial yang memengaruhi pikiran masyarakat dan menyebabkan perdebatan antar banyak kubu.

Melalui film "The Social Dilemma", Cathy O'Neil, PhD, seorang Data Scientist, Penulis 'Weapons of Math Destruction', menentang bahwa IA dapat digunakan sebagai alat untuk menemukan pola penggunaan layanan yang mustahil dilakukan orang sungguhan atas segala masalah yang terjadi akibat segala hal di internet. Ia mengutarakan pemikirannya bahwa, "Orang-orang membahas IA seolah-olah itu akan memahami kebenaran. IA takkan menyelesaikan masalah ini. IA takkan memecahkan masalah berita palsu. Google tak punya pilihan untuk bilang, 'Apakah ini konspirasi? Apa ini kebenaran?' Karena mereka tak tahu kebenaran. Mereka tak punya proksi kebenaran yang lebih baik dari klik." Dan saya setuju dengan pemikirannya.

Alat yang dihasilkan dari teknologi, tak dapat dengan mudah menentukan apa yang benar dan apa yang salah begitu saja. IA hanyalah kecerdasan teknologi yang tidak memiliki emosional, akal, pikiran dan berbeda dengan kecerdasan otak manusia. IA hanyalah alat yang sudah di-setting oleh manusia dan bertindak otomatis sesuai setting, berbeda dengan manusia yang bisa menggunakan akal dan pikirannya untuk memroses informasi yang diterimanya. Kebenaran hanya dapat ditentukan dari masing-masing pemikiran manusia. Manusia yang dapat memilih dan menentukan, bahwa hal ini benar, hal itu salah. Manusia yang harus pandai dalam memilah informasi, sehingga mereka tidak akan begitu saja terperdaya dalam memercayai informasi yang salah.

Teknologi Informasi dan Komunikasi akan selalu mengalami perkembangan sesuai dari zaman ke zaman. Kita hidup dalam perangkap teknologi yang bisa memperdayai kita dan membuat kita kecanduan bagaikan mengonsumsi narkoba. Pilihan untuk tetap menggunakan teknologi sesuai batas yang kita atur agar kita tidak akan terperangkap dan terperdaya sehingga kita tetap dapat menikmati dunia luar. Dunia yang di mana kita hidup dalam kenyataan yang semestinya, bukanlah dalam dunia virtual yang membuat kita melupakan dunia tempat kita berpijak seharusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun