Suatu pagi di Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya baru selesai mengantar anak-anak ke sekolah. Awalnya saya dan seorang teman berencana melancong ke Blok M hari ini, sambil menunggu jam pulang sekolah. Kami ketagihan bakmi dengan style chinese food dan donat viral yang terbuat dari labu.
Sayangnya rencana itu batal karena teman ada urusan mendadak. Saya pun banting setir… setir motor saya ke sebuah cafe di dekat sekolah.
Sesampainya di sana, saya buka tablet dan coba menulis tentang ketahanan pangan, sesuai tema lomba dari Natgeo Indonesia.
Waktu saya buka link-link terkait lomba ini, munculah materi-materi tentang pangan yang cukup njlimet buat saya, perempuan yang jadi sudah 7 tahun terakhir ini memutuskan jadi ibu rumah tangga. Saya bingung kok saya tidak paham ya soal ketahanan pangan, padahal hidup saya itu pangan banget.
Sehari-hari saya masak untuk keluarga, memikirkan variasi menu agar anak-anak saya tumbuh baik dan cukup nutrisinya. Diluar waktu masak, sambil menunggu waktu jemput anak-anak, saya dan teman-teman keliling dari 1 cafe ke cafe lain, mencoba berbagai variasi… ya variasi pangan.
Selain untuk memasak dan makan, waktu saya juga habis memikirkan biaya pangan. Pengalaman 7 tahun sebagai ibu rumah tangga membuat saya sadar pentingnya menentukan menu seminggu ke depan, demi meminimalisir food waste dan tentu saja biaya groceries. Nah, kan, pangan lagi.
Sayangnya isu ketahanan pangan ini jauh dari kami para ibu-ibu kaum urban. Saya enggak tahu berapa banyak import beras kita dari Thailand. Yang saya tahu, kalau ke Bangkok saya enggak akan bawa pulang beras, tapi bawa pulang milk bun.
Beberapa waktu lalu ada berita mantan mendag terjerat kasus korupsi impor gula. Reaksi saya, “lho kita tuh impor gula?” Tapi kalau soal perdebatan sengit antara stevia vs gula, nah saya paham, tuh.
Yah, kami para ibu-ibu rumah tangga memang tidak banyak yang paham betul tentang ketahanan pangan. Tapi ibu-ibu ini lah yang akan kena dampaknya.
Said Abdullah, National Coordinator of People Coalition for Food Sovereignty, Indonesia and Fellow of CTSS — IPB University, dalam materinya menekankan pentingnya keragaman makanan. Soalnya menurut data, keragaman karbohidrat kita berubah cukup drastis. Data menunjukkan konsumsi beras naik dari 53% di 1954 ke 81% di 2017. Sementara itu, konsumsi singkong turun dari 22% ke 8%.
Masih dari Said Abdullah, beberapa varian karbohidrat bahkan tidak masuk data terbaru saking kecilnya, seperti jagung dan sagu.