UNESCO menyatakan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001, yang artinya dari 1000 orang penduduk Indonesia hanya ada satu orang yang memiliki ketertarikan terhadap literasi. Fakta ini tentu bukanlah kabar yang bagus karena indeks minat baca masyarakat berhubungan dengan kualitas SDM suatu bangsa. Negara yang dikatakan maju dapat dilihat dari budaya membaca yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakatnya.
Meningkatkan budaya literasi bukanlah hal yang dapat diubah secara instan, butuh waktu beberapa tahun agar indeks minat baca suatu negara dapat meningkat. Oleh karena itu, ketertarikan terhadap literasi harus dimulai sejak dini. Anak-anak merupakan objek kelompok masyarakat yang tepat dalam upaya meningkatkan indeks minat baca suatu negara.
Alasan itulah yang membuat terlaksananya Big Bad Wolf (BBW) di Indonesia, BBW dapat dikatakan sebagai salah satu objek wisata literasi yang rutin diadakan tiap tahun. BBW menghadirkan berbagai jenis buku internasional maupun nasional yang dijual dengan harga miring dari aslinya.
Sebagai event yang rutin diadakan tiap tahun, BBW sempat hiatus selama 2 tahun karena pandemi COVID-19 dan baru diadakan kembali tahun ini di ICE BSD Tangerang pada tanggal 25 November hingga 5 Desember 2022. Kehadirannya setelah hiatus membuat antusiasme para pecinta buku melambung tinggi, banyak pengunjung yang datang dari luar Tangerang untuk menghadiri salah satu bazar buku terbesar di Indonesia.
Salah satu pengunjung yang datang dari Pasar Minggu Jakarta Selatan, Fia, mengatakan bahwa tahun ini pertama kalinya ia mengunjungi BBW dan kesan pertama saat memasuki BBW adalah takjub karena buku-buku yang dihadirkan sangat bervariatif. Tempatnya pun sangat luas meskipun tidak lebih luas dari BBW yang dilaksanakan terakhir kali.
“Cukup luas ya tempatnya terus katanya biasanya yang dipakai hall 6-10, ternyata cuma hall 9-10 saja kan tapi ini juga cukup luas sih dan variatif bukunya,” ujar Fia saat diwawancarai di ICE BSD pada Rabu (30/11/22).
Fia mengatakan bahwa masih banyak orang yang menyukai buku fisik, meskipun buku online atau ebook lebih mudah didapatkan dan harganya pun jauh lebih terjangkau. Faktor utama yang membuat eksistensi buku fisik tetap bertahan di tengah banyaknya buku online yang tersedia adalah karena kenyamanan para pembaca dan perasaan yang didapat ketika menyentuh langsung fisik buku, tentunya hal itu tidak bisa didapatkan jika mengakses buku online.
“Kalau buku fisik enak ya kita bisa, apa ya beda feel-nya gitu antara buku fisik sama buku digital, ebook. Kalau buku fisik kita bisa merasakan langsung kan kertasnya kayak ada sensasi gimana gitu. Selain itu juga lebih enak dibaca sih di mata lebih nyaman, kalau ebook jujur aku pribadi kurang nyaman bacanya cepat lelah,” ungkap Fia.
Hal yang sama diungkapkan oleh Zahira, salah satu staf yang baru tahun ini bergabung di BBW, Zahira berpendapat bahwa buku fisik merupakan salah satu hal yang autentik, dan hal-hal yang sifatnya autentik memiliki poin lebih di mata para kolektor. Zahira pun menambahkan, dengan memilih buku fisik dibandingkan buku online orang menjadi lebih merasa bertanggung jawab terhadap buku yang dimiliki karena buku fisik lebih rentan rusak dan harus dijaga dengan baik.
“Kalau kita pakai buku fisik bisa mengajarkan kita untuk menjaga barang, buku kan harus dijaga karena kalau tidak dijaga bisa sobek, bisa rusak, warnanya bisa berubah,” tutur Zahira saat diwawancarai di ICE BSD pada Rabu (30/11/22).
Sesuai dengan fokus utamanya, BBW lebih banyak menghadirkan buku-buku anak dengan konsep motorik yang harapannya dapat menarik minat anak-anak terhadap buku sehingga mereka tidak hanya mengandalkan gadget sebagai objek kreativitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Fia, bahwa dengan terselenggaranya BBW diharapkan banyak anak-anak dan pemuda yang menjadi lebih tertarik dengan budaya literasi.
“Harapannya mudah-mudahan dengan adanya BBW, tidak cuma BBW saja tapi wisata-wisata literasi yang lain pemuda-pemuda bisa lebih tertarik sih buat baca buku, dan mungkin bisa dibuat lebih menarik lagi dengan ada wahana-wahana atau tambahan wisata lain,” ungkap Fia.
Di sisi lain, Defa, salah satu mahasiswi anggota reading club Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), berpendapat bahwa tidak masalah kalau anak-anak lebih banyak belajar melalui gadget dibanding buku karena setiap orang memiliki cara tersendiri untuk belajar. Defa menambahkan, tidak semua orang yang suka membaca buku memiliki wawasan luas dan tidak semua orang yang tidak membaca buku adalah orang yang bodoh.
“Sebetulnya setelah dengar banyak sudut pandang orang lain, tidak semua orang bisa belajar pakai tulisan jadi sejujurnya aku tidak mempermasalahkan orang yang jarang baca buku. Cara belajar orang kan beda-beda ya, yang rajin baca buku belum berarti dia pintar dan wawasannya luas. Soalnya dilihat di zaman sekarang ini ilmu bisa didapat dari mana saja tidak hanya buku, buku juga banyak yang dikutip jadi video di youtube kan ya,” ujar Defa saat diwawancarai secara online pada Kamis (1/12/22).
Defa mengungkapkan pandangannya terhadap ketertarikan orang lain yang masih tinggi pada buku fisik dikarenakan ada rasa kepemilikan tersendiri jika menyimpannya. Ia mengatakan bahwa buku fisik dapat menjadi tempat istirahat dari rutinitas sehari-hari yang saat ini lebih banyak menggunakan media online.
"Soalnya kalau ada fisiknya lebih 'memiliki' gitu, terus kan sekarang zaman sudah serba digital ya capek kalau lihat layar terus. Buku fisik bisa untuk tempat istirahat kalau sehari-hari terlalu banyak berkutat di laptop, handphone," ujarnya.
Penulis: Nadia Nur Fadilah, NIM: 11210511000144, Mahasiswi Program Studi Jurnalistik Semester 3, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H