Mohon tunggu...
Nadia Nazzih
Nadia Nazzih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar, Sarang Rembang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Santet Menurut Hukum di Indonesia

2 Mei 2024   12:00 Diperbarui: 2 Mei 2024   12:03 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Santet Menurut Hukum di Indonesia

Oleh: Nadia Nazzih Bashirotana

Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, semuanya bertumpu pada ketentuan hukum. Seperti yang dikutip dari Soemarsono di dalam jurnalnya yang berjudul “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan Negara” menyatakan bahwa eksistensi dari hukum adalah dapat memberikan warga negaranya keadilan. 

Cicero, seorang tokoh filsuf berkata “Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi Crimen” (ada masyarakat, ada hukum, ada kejahatan. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah masyarakat pasti ada tindak kejahatan walau hanya remeh. Jadi dibutuhkan keadilan, tidak bagi korban kejahatannya saja, namun juga keadilan bagi pelaku dan bagi masyarakat secara umum. Di sanalah kemudian hukum berperan menjadi pengontrol di antara keduanya.

Selain dikenal dengan negara hukum, Indonesia juga terkenal akan keanekaragaman budaya, adat istiadat, serta kebiasaannya. Indonesia juga sangat kental dengan keyakinan beragama atau kepercayaan  yang menjadi sumber spiritual terlestarikan dari dulu hingga sekarang. 

Menurut I Gusti Agung Gede Asmara dan Ngurah AA. Wirasila dalam jurnalnya yang berjudul “ Tinjauan Yuridis Terhadap Delik Santet dalam Prespektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia” menyebutkan bahwa ketinggian nilai spiritual yang ada di Indonesia terhadap Tuhan maupun roh-roh membuat beberapa orang memiliki kemampuan sihir. Adanya kemampuan spiritual yang tidak dimiliki oleh semua orang ini biasanya dilakukan untuk memenuhi kepentingan dengan cara yang tidak benar oleh  beberapa pihak. Dalam satu istilah terkenal dengan nama santet.

Santet menurut bahasa jawa (tenung,teluh) adalah upaya seseorang untuk mencelakai orang lain dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu hitam. Santet dilakukan menggunakan baerbagai macam media antara lain rambut, foto, boneka, dupa, rupa-rupa kembang, dan lain-lain. Seseorang yang terkenal santet akan berakibat cacat atau meninggal dunia.” Kata Imaniar dalam tulisannya “Politik Santet: Konflik Sosial dan Peran Pemerintah Kabupaten Banyuwangi”. 

Menurut I. G. A. G. A. Putra, tidak hanya di Indonesia saja, santet juga berkembang bahkan sampai di negara-negara lain. Sedangkan di Indonesia sendiri, Faisal dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia “Pemaknaan Kebijakan Kriminal Perbuatan Santet dalam RUU KUHP” berpendapat bahwa santet menjadi suatu kejadian sosial yang menciptakan perdebatan dilematis berkepanjangan karena belum ada hukum positif yang mengaturnya sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dalam masyarakat.

Isu mengenai santet dapat menjadi rumit dalam pandangan hukum di Indonesia karena banyaknya hal yang harus dipertimbangkan. Mulai dari persoalan kebebasan beragama atau kepercayaan, keamanan publik, dan perlindungan hak asasi manusia. Memang, hukum di Indonesia mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan mereka tanpa ada pembedaan pemberlakuan (diskriminasi) atau gangguan dari individu lain bahkan pemerintah. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap individu juga mempunyai kebebasan melakukan perbuatan yang bisa merugikan sampai menyelakai orang lain termasuk praktik santet yang dapat digunakan untuk tindak kejahatan.

Dalam menyikapi santet ini, masyarakat biasanya menganggap hukum belum dapat memberikan perlindungan. Hal ini kemudian membuat para korban santet umumnya mengambil jalan pintas dalam menghukumi sang pelaku, yang justru keputusan ini akan membuahkan tindakan kriminal lainnya seperti pengeroyokan, penganiayaan, pengasingan, bahkan pembantaian (Nitibaskara, 2003). Pemikiran seperti ini tidak lain karena kalaupun mereka para korban santet melaporkan kasus seperti ini nantinya dalam proses pembuktian perkara akan sulit dilakukan.

Dalam KUHP dan RUU KUHP, perbuatan magis seperti santet memang sudah diakui. Untuk memenuhi bukti-bukti yang sah seperti yang disyaratkan Pasal 183 KUHAP agar bisa membawa kasus-kasus seperti ini ke atas meja pengadilan sangatlah sulit dilakukan. Seorang dukun bisa saja menjadi terdakwa lalu dijatuhi hukuman dengan alat bukti seperti yang ada pada pasal 184 KUHAP. Selain ketentuan-ketentuan di atas, keyakinan seorang hakim terhadap keputusannya juga sangat berperan besar, sedangkan seperti yang diketahui bahwa  santet merupakan perbuatan magis yang sifatnya di luar nalar dan tidak masuk akal. Hal ini kemudian membuat para hakim tidak berani memutuskan pidana karena takut keyakinannya tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun