Mohon tunggu...
Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Mohon Tunggu... Freelancer - Menulislah seperti dirimu sendiri

We don't know what we don't know

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Ibu: Kearifan Lokal yang Mulai Terpinggirkan

22 Juli 2014   20:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dalam pada itu, perhatian yang rendah dan minat yang kurang kuat terhadap bahasa daerah, makin mempercepat penggusuran bahasa daerah itu oleh bahasa-bahasa kuat lainnya. Jadi kekalahan bahasa daerah demikian inilah yang terjadi alamiah. Kekalahan karena rekayasa cenderung disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang ‘merekayasa’ keberadaan bahasa daerah. (Kunjana Rahardi, 2009: 178)

Sepenggal paragraf dari buku Bahasa Prevoir Budaya benar adanya menggambarkan kondisi kebahasaan masyarakat kita sekarang ini. Terlebih perlakuan terhadap bahasa ibu yang semakin hari semakin dianggap ‘tidak penting’, terkesan ndeso serta menjadi urutan kesekian penguasaan bahasa di tengah tuntutan penguasaan bahasa asing karena sebuah arus yang disebut globalisasi. Sudah tepatkah anekdot yang demikian itu. Ah rasanya kita akan semakin meninggalkan khazanah bangsa sendiri

Sekilas Bahasa Ibu

Bahasa ibu (bahasa asli, bahasa pertama; secara harafiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Dan  orangnya disebut penutur asli dari bahasa tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka. Kepandaian dalam bahasa asli sangat penting untuk proses belajar berikutnya, karena bahasa ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir.1

Sejak 17 November 1999 UNESCO telah menetapkan 21 Februari sebagai hari bahasa ibu internasional. Penetapan tanggal ini dilakukan berdasarkan peristiwa Hari Gerakan Bahasa yang dilakukan di Bangladesh. Hari Gerakan Bahasa merupakan hari nasional di Bangladesh untuk mengenang demonstrasi dan pengorbanan untuk melindungi Bahasa Bengali sebagai bahasa nasional selama kekuasaan Pakistan pada 1952. Pergerakan ini memicu perang kemerdekaan Bangladesh hingga memerdekakan negara tersebut pada 1971.



Peran dan Fungsi Bahasa dalam Kehidupan

Di Indonesia terdapat tiga jenis bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah, serta bahasa asing. Masing-masing dari ketiganya memiliki fungsi dan kedudukan yang telah diatur. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan atau bahasa nasional yang berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Kedudukan ini dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dicetuskannya sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa daerah digunakan sebagai sarana penghubung dan pendukung kebudayaan di daerah, lambang kebanggaan daerah, serta identitas daerah. Sementara bahasa asing berfungsi sebagai alat perhubungan antar bangsa dan sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan pembangunan nasional.

Permasalahan saat ini timbul ketika ketiga jenis bahasa itu tidak digunakan sesuai dengan fungsinya. Terutama soal bahasa daerah –yang notabene merupakan bahasa ibu- yang mulai berdarah-darah mempertahankan eksistensinya di tengah gerusan zaman. Penulis menyebutnya sebagai bahasa ibu sebab –seharusnya- bahasa itu lah yang menjadi bahasa pertama seorang anak, sekaligus sebagai bahasa yang paling dekat dengan lingkungannya. Lalu perlulah kita menilik kembali ihwal pengajaran bahsa ibu. Masih seberapa banyak masyarakat yang mempertahankan bahasa ibunya, apalagi kehidupan urban semakin menjejal di tengah masyarakat tradisional.

Anekdot-anekdot yang tercipta di masyarakat bahwa bahasa ibu tidak lagi penting adalah faktor besar yang menghambat pelestariannya. Anak-anak cenderung dibiasakan berbahasa Indonesia sejak dini. Sementara orang tua memberikan porsi yang sangat kecil dalam menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) ketika bercakap-cakap dengan sang anak. Terlebih kekhawatiran orang tua apabila sang anak tidak dapat berbahasa secara santun dengan bahasa Indonesia di sekolah.

Faktor lingkungan tak kalah memberikan dampak besar. Masyarakat dan sekolah yang semakin heterogen tidak lagi menempatkan keberagaman dalam berbahasa. Bahasa Indonesia terkesan lebih efektif digunakan. Kita tahu sendiri semakin berkembang zaman, semakin berkembang pula penduduknya. Sebagai contoh, sekarang tidak hanya masyarakat berbahasa ibu bahasa jawa saja yang tinggal di daerah jawa. Apabila dilihat dari pengaruhnya, lingkungan sangat bisa mengalahkan orang tua yang seharusnya berperan sebagai seorang ‘guru’ yang digugu dan ditiru.

Orang tua tak dapat lagi membandingkan zamannya dan zaman ketika anak-anaknya tumbuh dewasa. Pada saat si orang tua itu kecil –mungkin di tahun 70an- kontrol dari orang tuanya masih sangat berfungsi. Hal itu dikarenakan sang anak memiliki kedekatan personal yang ‘lebih’, sehingga mereka mampu menjadikannya sebagai ‘guru’ termasuk ‘guru’ dalam kesantunan berbahasa, karena penulis meyakini di era itu jarang sekali orang tua yang berbahasa Indonesia kepada anaknya. Sekarang, coba hitung kapasitas seorang anak bergaul dengan lingkungan katimbang bergaul dengan orang tua sendiri. Lingkungan yang gencar tentu akan menang dalam memberikan pengaruh –termasuk didalamnya pengaruh sekolah- dibanding dengan pengaruh keluarga dan orang tua.

Lalu permasalahan yang timbul selanjutnya adalah bagaimana sikap berbahasa dari sebuah lingkungan sosial dan pengaruhnya bagi pelestarian bahasa ibu. Hal ini bisa menjadi dilematis tatkala kita yang masih ingin mempertahankan bahasa ibu tak bisa dengan egois memaksakannya di lingkungan sosial ketika melihat perkembangan penduduk yang heterogen. Ditambah pula dengan sistem pendidikan yang semakin maju, yang menuntut seorang anak berbahasa secara luas, tak sekadar bahasa ibu.

Menemukan Solusi yang Efektif

Mengutip dari Atmosudiro (2003), Kunjana Rahardi (2009: 175)  beranggapan bahwa penyebab pokok dari fakta kejenuhan mahasiswa belajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi adalah lantaran bahasa daerah tidak pernah digunakan untuk mengawali proses pemelajaran tingkat awal sekolah dulu. Idealnya, untuk belajar berbahasa, dan juga mata pelajaran lain di tingkat awal, harus digunakan bahasa lisan yang juga bahasa ibu, yang lazimnya pula adalah bahasa daerah.

Dari pernyataan di atas penulis dapat menarik kesimpulan betapa pentingnya pengajaran bahasa ibu di sekolah. Fakta lain pun menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian para ahli linguistik seorang anak yang sudah dijejali kemampuan berbahasa terlalu banyak –terutama bahasa asing- akan kesulitan dalam menggunakan sebuah bahasa secara baik dan benar dalam tataran tulis maupun lisan.

Hal yang seharusnya pertama dilakukan adalah mengubah sistem dalam pendidikan seorang anak. Utamanya di pendidikan formal dan lingkungan sosial. Penulis beranggapan bahwa untuk melestarikan bahasa ibu secara efektif perlu ada kerjasama dengan pihak instansi pendidikan untuk menambah jam mata pelajaran tersebut. Selain itu jam pelajaran untuk bahasa asing dapat dikurangi di taraf pendidikan dasar. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Bahasa daerah, yang menjadi bahasa pertama seorang anak justru dianggap muatan lokal sebagai pemenuhan kewajiban pendidikan berbasis kearifan lokal. Sudah semakin jarang orang menganggapnya dengan serius. Akibatnya, pembelajaran tak dilaksanakan dengan serius. Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang semakin menghilang. Sementara itu, bahasa asing semakin digadang-gadang sebagai pemecahan masalah segala urusan yang berkaitan dengan globalisasi. Akibatnya banyak sistem pendidikan kita yang justru mengesampingkan bahasa sendiri demi kebutuhan bahasa asing ini.

Kemudian lingkungan yang kondusif juga sangat mempengaruhi pola berbahasa sang anak. Di sini orang tua memegang peranan sentral dalam pengawasan terhadap anak tersebut, terutama dalam kontrol tindakan dan kata-kata. Jangan sampai hanya karena pengaruh sahabat karib, seorang anak kehilangan kesantunannya dalam berbahasa.

Masih ingat di benak saya, dulu ketika kecil bapak selalu marah ketika anak-anaknya tidak berbahsa krama saat berbicara dengan orang yang lebih tua, terutama simbah. Pernah suatu ketika, karena kehabisan kata-kata krama alus, saya yang waktu itu masih berusia tujuh tahun berkata “ aku ra pak mangan”2kepada simbah layaknya berkata pada teman sepermainan.

Ya, pendidikan dan lingkungan. Sudahkah kita lebih memperhatikannya. Sudahkah kita menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan berbahasanya. Sudah pula kah kita menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menyelaraskan kehidupan tradisional dengan laju modernisasi.Bahasa sebagai sebuah contoh kearifan lokal sangat perlu untuk dijaga. Semoga melalui tulisan ini bahasa ibu tidak lag semakin dinomor duakan. Jangan sampai pula kita selalu menjadikan rumput tetangga lebih hijau. Ya, semoga.

1http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_ibu

2saya tidak mau makan (penulisan dalam bahasa jawa disesuaikan dengan dialek penulis)

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Alwi dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa.

Kunjana Rahardi. 2009. Bahasa Prevoir Budaya. Yogyakarta: Pinus Book.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun