Mohon tunggu...
Nadia Kamila
Nadia Kamila Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Politik UNSOED Purwokerto\r\n\r\na hijab-diplomat-woman someday :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menata Ulang Pondasi Sistem Pemilu 2014

13 Desember 2013   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:59 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13869018901379607137

Sistem pemilu merupakan salah satu dasar penting bagi terselenggaranya pesta demokrasi rakyat Indonesia atau yang sering disebut dengan pemilihan umum ( pemilu ). Pemilu diadakan baik dalam rangka pemilihan calon presiden, legislatif, maupun gubernur. Dengan adanya sistem pemilu yang terbuka dan merata ke seluruh lapisan masyarakat dianggap menjadi suatu keadilan demokrasi sehingga masyarakat dapat mengaspirasikan pilihannya atau menjustifikasi keterwakilan mereka untuk dapat berbuat lebih banyak dalam pembangunan dan perkembangan negeri ini. Para calon pemimpin dan wakil rakyat tersebut diharapkan mampu menjalankan kekuasaan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dengan adanya sistem pemilu yang adil, terbuka, serta dinamis sudah selayaknya mampu menciptakan iklim demokrasi yang stabil serta adanya peran aktor di dalamnya yang berafiliasi sesuai pembagian kerja.

Dewasa ini, Pemerintah belum juga menyerahkan Daftar Inventaris Masalah RUU Pemilu yang harus dibahas dengan Pansus RUU Pemilu di DPR. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah belum juga memastikan secara resmi sistem seperti apa yang akan diterapkan pada pemilihan umum tahun 2014. Namun demikian, kabar adanya pengambilan sistem baru pada pemilu 2014 sudah memenuhi headline dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Oleh karena itu, isu penggantian sistem pemilu Indonesia pada pemilu sebelumnya dianggap penting karena adanya berbagai fakta dan data di lapangan bahwa banyak terjadi pelanggaran baik dari kampanye (pra-pemilu), keberlangsungan pemilu, hingga pasca-pemilu.

Sistem pemilu di Indonesia pada pemilu tahun 2004 hingga 2009 menganut sistem proporsional terbuka. Di mana sistem ini mengacu pada tatanan pengaturan elemen sistem mayoritas-pluralitas (atau di Indonesia sering disebut dengan sistem distrik). Saat itu, selain memilih tanda gambar partai, pemilih juga berhak atas pemilihan langsung calon legislatif. Namun ternyata, dengan adanya evaluasi ulang mengenai sistem pemilu, sistem ini sangatlah rumit. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pertentangan yang terjadi antar sesama caleg maupun antar partai dengan KPU yang tak semuanya fasih menjalankan tahap-tahap penghitungan. Bahkan, sempat tersiar adanya surat palsu yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa hasil pemilu. Selain itu, tidak banyak masyarakat juga mengetahui dan mengenal lebih dalam siapa wakil dari daerah pemilihannya. Dengan demikian, eksperimen adanya sistem pemilu proporsional terbuka inipun perlu dipertanyakan dan dikaji ulang keefektifannya.

Pada tahun 2014 nanti, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pemilu serentak sebanyak dua kali, yaitu Pemilu Legislatif ( pada tanggal 09 April 2014 ) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pada tanggal 09 Juli 2014) sehingga tahun 2014 pun menjadi tahun politik. Selain itu, kesiapan masyarakat dinilai menjadi sangat penting di mana mereka harus proaktif untuk mengenal wakil dari daerah pemilihannya dan mengetahui latar belakang pendidikan serta kapasitas calon sehingga dapat meminimalisir tindakan money-politik. Dengan adanya sistem proporsional terbuka seperti pemilu tahun 2009 kemarin, terlihat jelas bahwa masyarakat datang ke TPS tanpa pengetahuan apa-apa mengenai kandidat calon sehingga membuka peluang bagi adanya money politik di TPS bersangkutan oleh para tim sukses. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa pembenahan sistem pemilu harus segera dilakukan karena Indonesia dengan sistem keterwakilan seperti ini harus mempunyai wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan mengedepankan kepentingan rakyat sehingga penulis tidak akan melihat lagi para wakil-wakil rakyat yang hanya dapat mengajukan rumah dan mobil mewah sebagai hak dinas serta tanpa perasaan bersalah tertidur saat sidang paripurna yang membahas RUU kebijakan publik berlangsung.

Alternatif Sistem Pemilu Bagi Pemilu 2014

Sidang paripurna DPR pada tahun 2012 telah mengesahkan adanya RUU Pemilu menjadi Undang-Undang menggantikan Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang pemilu. Beberapa peraturan pemilu 2014 juga cukup berbeda dengan pemilu tahun 2009. Parliementary Threshold dari 2,5 % dinaikkan menjadi 3,5 %. Hal ini juga cukup mengundang pro-kontra karena diperkirakan akan ada banyaknya suara-suara minoritas yang terbuang. Nampaknya Indonesia juga sudah terlanjur memilih varian dalam sistem Representasi Proporsional ( RP ). Sistem ini ada empat jenis, yaitu Pertama, daftar tertutup. Kursi yang dimenangkan parpol diisi oleh kandidat dengan rangking dalam daftar kandidat yang diajukan parpol. Kedua, daftar terbuka. Pemilih memilih parpol yang disukai dan mengisi kandidat yang mereka inginkan. Ketiga, daftar bebas. Pemilih dapat memilih parpol seadanya atau mencoret (mengurangi/mengulangi/membagi) dengan membuat daftar mereka sendiri pada sebuah surat suara kosong. Keempat, daftar tetap. Proporsional daftar tertutup dan tetap hampir mirip yaitu pemilih hanya memilihtanda gambar partai saja. Jika opsi-opsi tersebut dapat dikerucutkan, maka dapat diambil kesimpulan yang terbaik untuk pemilihan sistem pemilu yang baru adalah pertama, penggabungan sistem proporsional tertutup dengan terbuka ( campuran ) atau sistem proporsional tertutup dengan distrik. Kedua, tetap dengan sistem proporsional terbuka ( pemilihan suara terbanyak ). Memang, tidak ada sistem pemilu yang disetujui paling baik. Semua opsi sistem pemilu memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat maupun partai politik itu sendiri. Tetapi, dengan adanya pengkajian ulang mengenai sistem pemilu dan meminimalisirtiap pelanggaran yang ada saat pemilu dinilai menjadi penyempurnaan demokrasi yang berkeadilan dan merata. Suatu negara dapat dikatakan berhasil melaksanakan pemilunya dengan baik jika sistem pemilu yang diterapkan sesuai dengan sosio-historis dan konteks yang dimiliki negaranya secara khas. Maka, penulis menyarankan digunakannya sistem pemilu yang proporsional campuran sehingga tidak adanya suara minoritas yang terbuang sia-sia dan tidak terulang lagi keadaan pemilu 2009 yang ambigu, di mana dikatakan terbuka tetapi tidak ada penetapan dengan suara terbanyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun