Mohon tunggu...
Nadiah Zhalifa
Nadiah Zhalifa Mohon Tunggu... -

It's just I am

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Hati

24 Juni 2012   05:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sorry, kamu itu siapa sih??Koq panggilan keluar, panggilan masuk, pesan masuk ma pesan keluarnya Gilang tuh nomer kamu semua. Kamu siapanya Gilang?”

Sender : Gilang

Sent : Sabtu, 13-09-2008

“Huft…Pasti ini Vani yang sms pake nomernya Gilang.”

Aku merebahkan kepala dilantai ruang tengah yang tertutup karpet coklat bergambar panda. Suara TV masih terdengar. Aku memang sedang nonton TV saat hp ku berdering menandakan ada sms masuk.

Gilang Anggara, cowok yang namanya disebut-sebut dalam sms itu adalah teman sekelasku. Seminggu yang lalu, Gilang meminta bantuanku untuk membangunkannya sahur. Gilang menjelaskan kalo biasanya Vani, -pacarnya Gilang, setahun dibawah kita dan beda sekolah ma kita- yang bangunin dia selama ramadhan ini. Tapi sekarang mereka putus, jadi Gilang minta bantuan aku yang emang terkenal kurang kerjaan suka ngirim sms broadcast tiap sahur.

“Apa salahnya sih kalo aku bantuin temen sekelasku? Apa salahnya sih bangunin orang lain sahur di bulan ramadhan ini? Kalo panggilan masuk di hp nya ada nomerku, itu karna Gilangnya aja yang susah dibangunin. Ditelpon aja, baru diangkat pada panggilan ke-4. Mana mungkin dia bisa bangun kalo cuma di smsin aja!! Panggilan keluarnya itu pasti waktu dia ngeluh gak bisa tidur dan nelp aku jam 2 malam. Apa itu salah ku?? Pesan keluarnya paling waktu dia ngucapin met berbuka dan ucapan makasi karna udah dibangunin sahur, dan kubalas ucapan met berbuka juga. Apa aku salah karna balas sms dia?? Apa seharusnya aku abaikan aja?? “ Aku ngomel panjang lebar dengan suara lirih, hampir tak terdengar.

Dan sekarang, dia udah baikan ma Vani. Jujur aku senang banget. Itu artinya tugas pengganti ku udah selesai. Tapi, Vani malah cemburu ma aku. Aku udah coba jelasin situasinya ke Vani, tapi dia malah makin curiga. Menurutnya, sebagai teman sekelas biasa, aku terlalu perhatian ma Gilang. Aarrrgghhh…..ingin rasanya aku teriak. Dimana salahku??

“Woii…Alya…” Teriakan Raisya membuyarkan lamunanku.

Raisya Ridwan adalah sahabat dekatku. Kita bersahabat sejak SMP, dan meskipun sekarang kita beda SMA tapi kita selalu meluangkan waktu bersama.

“Tuh yank pesananmu. Ngapain sih pake ganti nomer segala?” Raisya melemparkan kartu perdana yang masih tersegel ke arah ku.

“Thanks ya cintaaa… Udah bosen di terror nih aku. Maklum seleb. Eh, kenapa suaramu sok seksi gitu yank?” Aku balik bertanya. Suara Raisya agak beda dari biasanya, kedengaran kayak orang flu.

“Biasa, abis konser akbar tadi malam. Aku cabut dulu ya. Disuruh beli gula nih aku, kabur kesini bentar. Hahaha…” Jawab Raisya sambil menyalakan motornya.

“Yup…hati-hati yo. Thanks banget nih bantuannya.”

“Ok. Ok. Aku tunggu cerita lengkapnya besok ya.” Raisya mengedipkan mata sambil berlalu.

-----------------------------------------------------------------

Tiik…tiik…tiik…

Bunyi jarum jam bergeser detik demi detiknya. Kuarahkan pandanganku ke jam yang bertengger indah di meja belajarku, pukul 1 pagi dan otakku masih terus terjaga tidak mau diajak istirahat meskipun tubuhku sudah sangat lelah.

“Yakin yank mau ganti kartu? Sayang loh, udah banyak yang tau nomer itu kan. Gak perlu ditanggapin lah. Ntarjuga lama-lama pada bosen trus diem sendiri.”

Terngiang tanggapan Raisya tadi sore saat kita keliling-keliling kota hanya sekedar untuk menghindari curhatan-curhatan kita didengar orang-orang rumah. Kulihat lagi kartu perdana ditanganku, masih terbungkus rapi. Aku memang masih ragu dengan keputusanku untuk ganti kartu.

“Berlebihan banget gak sih kalo sampai aku ganti kartu?” Aku semakin ragu.

Tak lama kemudian, aku memutuskan harus ganti kartu. Bungkus kartu perdana ditanganku ku robek asal. Sim-card lama ku lemparkan ke tempat sampah. Aku kembali merebahkan diri di kasur. Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan sambil menutup mata sebelum aku berhasil tertidur.

-------------------------------------------------------------------

“Wuidih…pagi-pagi udah ngelamun aja nih. Liat pe-er kimia mu donk.” Sapa Irina Fadhila, sahabat dekatku disekolah.

“Ha’…emang ada pe-er kimia Rin??” Aku balik bertanya. Tanganku mulai sibuk ngacak-ngacak tas nyari buku kimiaku.

“Oii non…abis kepentok pintu ya? Amnesia dadakan dia.” Ledek Irina.

“Matiii…aku lupa ngerjain Rin.” Aku melongo melihat dua soal kimia dibuku ku seolah tersenyum manis menunggu diselesaikan.

“Jangan bercanda deh. Masa’ sih seorang Alya Zyana lupa ngerjain pe-er?? Aku udah ngerjain yang nomer 1 nih, tapi yang nomer 2 nya bikin mumet. Liat punya mu donk, jangan pelit gitu Al.” Cerocos Irina.

“Idih…beneran belum ngerjain tau. Tadi malam tuh aku sibuk berperang, jadi lupa kalo ada pe-er.” Jelas ku sambil mulai ngerjain.

“Perang melawan pasukan tikus maksudnya?? Dongeng Nutcracker kali Al. Ya udah, kamu ngerjain yang nomer 2 tuh. Aku aja yang ngerjain tugas nomer 1 mu.” Irina langsung mengambil buku pe-er ku.

“Oh iya, nomer mu koq gak aktif Al?” Tanya Irina disela-sela kesibukannya ngerjain pe-er ku.

“He’em,aku ganti nomer Rin. Baru ganti tadi malem sih, makanya belum sempat kasi tau kamu.” Jawabku.

“Loh, emang nomer lama mu kenapa? Di blokir? Makanya isi pulsa donk Al. Hahaha..” Ledek Irina.

“Enak aja kamu Rin, ntar aja deh ceritanya.” Jawabku singkat.

Bel masuk pun berdering. Aku dan Irina segera menutup buku kimia yang belum selesai dikerjakan dan memasukkan kembali ke dalam tas. Pelajaran kimia masih jam kedua habis istirahat nanti, masih ada waktu. Tak lama, pak Gunawan masuk membawa gelas aqua yang berisi gulungan kertas-kertas kecil. Pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia. Pak Gunawan membagi kelas jadi 5 kelompok dan tiap kelompok mendiskusikan satu masalah sesuai tema yang tertulis di gulungan kertas undian. Aku dapat kelompok 1 dan Irina di kelompok 3. Sampai jam pelajaran berakhir, aku dan Irina sibuk dengan kelompok masing-masing. Saat jam pelajaran berakhir, aku dan Irina langsung menuju tempat favorit kita, selasar depan lab komputer.

“Maaf Al, tolong jangan ganggu aku lagi. Aku udah balikan ma pacar aku. Aku gak mau dia salah paham ma kamu. Selama ini aku udah sering bikin dia kecewa. Aku gak mau kalau sampai dia ninggalin aku, aku sayang banget sama dia.”

Sender : Gilang

Sent : Minggu, 14-09-2008

“What?? Yang minta tolong dia, kenapa kamu yang dibilang mengganggu, Al??” Teriak Irina saat aku memperlihatkan sms yang dikirim Gilang.

“Entahlah Rin. Aku juga bingung. Vani juga terus-terusan nelpon dan sms akuminta penjelasan. Semakin aku jelasin, eh, vani nya malah ngotot bilang aku terlalu perhatian. Gak ngerti aku Rin.” Jelasku.

“Pantesan kamu sampai nekat ganti nomer.”

“Iya Rin. Udah bingung aku harus gimana lagi ngadepin mereka.”

“Ya udahlah, gak perlu dipikirin lagi. Trus, Alex udah tau nomer barumu?” Tanya Irina mengalihkan pembicaraan. Alex adalah seniorku disekolah. Dia setahun diatasku. Baru lulus tahun ini dan sedang melanjutkan study nya diluar kota.

“Gak aku kasi tau, Rin.” Jawabku singkat.

“Loh, kalian gak jadian? Bukannya dia udah nembak kamu Al?” Tanya Irina penasaran.

“Udah aku tolak sih Rin. Tapi dia masih seringnelpon. Katanya mau nungguin aku. Gak tau ah, bingung.”

“Bingung kenapa? Sebenarnya gimana perasaan kamu ke dia, Al?”

“Gak tau Rin. Aku senang sih kalo Alex nelpon. Asyik juga ngobrol sama dia. Tapi cuma saat itu aja aku ngerasa senang. Kalo dia gak nelpon aku juga biasa aja, gak nungguin, gak kangen juga. Ya gak ngaruh apa-apa. Udah aku coba buat mikirin dia terus, ato hal-hal yang gitu lah. Tapi percuma Rin. Aku gak bisa jatuh cinta.”

“Alya…Alya…Apa itu juga yang memperkuat alasanmu buat ganti nomer?”

“Iya Rin.”

“Ya udahlah. Ntar juga ada masanya kamu nemuin seseorang yang gak bisa kamu tolak, Al. Siap-siap aja deh kamu.” Irina mengedipkan mata sambil mendorong tubuhku dengan bahunya. Aku cuma bisa meng-Aamiin-kan kata-katanya.

---------------------------------------------------------------------------------

Hari-hari terus berlalu, sekarang sudah memasuki hari ke-5 bulan syawal. Aku masih sibuk membongkar daftar kontak di hp ku, memilah-milah nama yang belum sempat kukirimi ucapan selamat lebaran. Sampai pada nama Vani. Aku terdiam. Ada terbersit perasaan bersalah padanya. Mungkin tidak seharusnya aku ganti nomer begitu saja sebelum menyelesaikan permasalahan itu, seolah lari dari masalah.

“Aku harus minta maaf padanya.” Gumamku.

Dengan cepat aku menuliskan kalimat singkat khas lebaran.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Mohon maaf lahir dan bathin. Alya Zyana.”

Sent To : Vania Larisa

Sent : Senin, 06-10-2008

Ada perasaan sedikit takut setelah mengirim sms itu. Semoga Vani tidak salah paham dengan niatku. Tanpa sadar aku menunggu balasan dari Vani dengan perasaan kacau. 10 menit, vani tidak membalas. Masih ku tunggu. 20 menit, 35 menit, 1 jam, tidak ada balasan. Aku berpikir mungkin saja Vani sudah tidak mengingat namaku, karna memang kami tidak pernah berkenalan secara resmi.

Menjelang siang hp ku berdering, ada sms masuk.

Dasar cewek gatel. Kirain udah mundur. Ternyata kamu ganti kartu biar bisa terus gangguin Gilang tanpa sepengetahuan aku. Gitu kan? Trus maksud kamu apa ngirim sms ke aku? Mau nunjukkin kalo kamu masih eksis dan siap ngambil Gilang dari aku?”

Sender : Vania Larisa

Sent : Senin, 06-10-2008

Aku langsung terduduk lesu. Tidak menyangka akan dapat kata-kata seperti itu dari seseorang yang bahkan belum pernah aku temui. Butuh beberapa menit untuk ku bisa menenangkan diri sebelum membalas sms Vani. Aku tidak mau masalah ini semakin berlarut-larut. Mungkin jika aku harus menemui gadis ini, aku bisa lebih leluasa menjelaskan permasalahannya. Aku memintanya menemuiku ditaman kota sore ini pukul 5, Vani menyetujuinya.

“Ah bodohnya aku. Bagaimana mungkin aku janjian dengan seseorang yang belum pernah ku temui di taman kota yang jelas-jelas tempat umum. Bagaimana caraku mengenali Vani?” Aku baru tersadar dengan kecerobohanku saat sudah setengah jalan menuju taman kota. Dan malangnya lagi pulsa ku lagi habis sedangkan aku tidak bawa dompet. Aku sudah biasa ketaman kota setiap sore, hanya sekedar untuk olahraga. Itu sebabnya aku terbiasa tidak membawa dompet. Sampai ditaman kota aku memarkirkan sepedaku dan mataku langsung berkeliaran mencari-cari.

Untungnya sore itu di taman kota sedang tidak ramai orang. Mungkin karena masih suasana lebaran, orang-orang lebih memilih mengunjungi sanak keluarga dari pada mengunjungi taman kota. Hanya ada sebuah keluarga sedang jogging bersama, sepasang kakek nenek, seorang anak perempuan dengan ibunya, segerombolan anak laki-laki bermain bola, dua orang wanita sedang mengajak anjingnya jalan-jalan, dan seorang gadis sedang duduk di kursi memandang ke arah danau di depannya.

“Itu pasti Vani.” Tebakku. Aku segera menuju ketempat Vani duduk.

“Hai. Vani ya? Aku Alya.” Sapa ku sambil tersenyum manis.

Vani diam saja. Memandangku sejenak dan kembali menatap danau. Dia agak menggeser duduknya, memberiku tempat untuk duduk. Aku tak tau harus memulai dari mana, akhirnya aku memilih untuk diam menunggu pertanyaan terlontar dari Vani.

“Kakak suka sama Gilang ya?” Kata itu terucap dari Vani. Dia memandangku.

“Aku sayang banget sama Gilang kak. Aku tau sikapku kemarin-kemarin ke kakak itu kekanak-kanakan banget, tapi itu karna aku gak mau Gilang pergi kak. Aku takut kalau Gilang suka sama orang lain. Kakak jangan ambil Gilang dari aku ya kak, Please.” Vani melanjutkan kata-katanya. Dia masih memandangku, air mata mengalir di pipinya.

“Kamu manis banget sih.” Kataku sambil mencubit pipinya. Aku tak bisa menyembunyikan senyumku saat mendengar kata-katanya. Memang ya, wanita itu akan jadi sangat manis dan cantik saat jatuh cinta, dan rasa cemburu seorang wanita itu sangat berbahaya apabila tidak bisa mengendalikannya.

“Mencintai seseorang itu memang sangat indah. Merasakan bahagia saat berada di dekatnya, merasa rindu ketika tidak bersama, cemburu saat seseorang mendekatinya, khawatir hatinya berpaling, semuanya itu sangat indah. Aku juga punya seseorang yang sangat aku rindukan. Tapi orang itu bukan Gilang. Seseorang yang sudah aku kenal sejak dulu, bahkan sebelum aku mengenal Gilang. Aku menyayanginya. Dan mengetahui bahwa aku punya keistimewaan dihatinya membuatku bisa bertahan dengan rindu ini.“ Jelasku.

“Aku sama Gilang itu cuma teman sekelas koq. Aku tau kamu juga karna Gilang yang cerita waktu dia minta tolong ke aku. Katanya kamu yang biasanya bangunin dia, kalau dengar suara kamu tuh dia bisa langsung bangun. Dia sempat gak puasa lho waktu kalian putus, gak bisa bangun katanya.”Aku melanjutkan kata-kataku. Vani mengalihkan pandangannya dariku, dia tersenyum. Aku merasa lega melihat senyum itu.

“Aku tau kakak orang yang baik. Sebenarnya sejak awal juga Gilang udah jelasin ke aku. Tapi logikaku lumpuh oleh rasa cemburu yang besar. Maafin aku ya kak.” Kata Vani.

Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. Akhirnya kesalahpahaman ini terselesaikan juga. Hidup ini penuh misteri. Siapa yang menduga kesalahpahaman ini malah membuatku mempunyai seorang teman lagi. Aku tidak pernah menyangka pertemananku dengan Vani diawali dengan sebuah masalah, dan aku tidak pernah mengira aku bisa menceritakan rahasiaku pada orang baru seperti Vani. Rahasia yang selama ini tidak pernah aku ceritakan bahkan kepada Raisya dan Irina. Rahasia tentang ‘dia’ yang tidak akan pernah bisa aku miliki. ‘Dia’ yang telah mengajarkan aku untuk selalu ikhlas menjalani hidup. ‘Dia’ yang telah mengenalkan aku dengan indahnya cinta. ‘Dia’ yang tidak akan melupakanku. Ya, ‘dia’ yang kini sudah menemukan dunianya. Dan suatu saat nanti aku juga akan menemukan seseorang yang akan menjadikanku dunianya.

Alunan lagu First Love terdengar dari hp ku.

“Halo bang.” Aku menjawab panggilan masuk itu.

“Adeekk, lagi dimana?” Terdengar suara dari sebrang.

“Lagi di taman kota bang, biasa jogging.” Jawabku santai.

“Kakak iparmu mau melahirkan koq kamu malah sempat-sempatnya jogging sih dek??”

“Ha’? Kakak udah di rumah sakit bang? Kapan?”

“Setengah jam yang lalu. Abang gak ngerti harus nyiapin apa nih. Tristan juga malah mondar-mandir gak jelas, bikin pusing aja. Kamu cepat kesini ya dek.”

“Siap bang. On the way. Udah ngabarin keluarga bang?”

“Oh iya, abang gak kepikiran dek.”

“Ya udah, biar Alya aja yang nelp.”

“Makasi dek. Kalau gak ada kamu abang pasti kerepotan. Maklum selama ini abang cuma tinggal berdua sama Tristan. Makasi ya adekku sayang.”

“Santai aja bang. Kaya’ ngomong sama siapa aja. Papa mama juga udah nganggap abang dan Tristan sebagai anak. Sekalian Alya bawain makanan buat ntar malam ya.”

“Makasi banyak ya dek. Kamu cepat kesini.”

“Ok. Ok.”

Satu lagi berita gembira untuk menutup hari yang indah ini. Aku melajukan sepedaku menyusuri jalan. Tak sabar ingin mengabarkan berita gembira ini kepada papa mama. Tak terasa sudah setahun aku mengikhlaskan dirimu. Aku turut bahagia untukmu.

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun