Diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat Muslim sering diperkuat oleh interpretasi konservatif hukum agama. Namun, aktivis perempuan Muslim telah menafsirkan ulang Al-Qur'an dan Hadits secara progresif, menunjukkan bahwa Islam mendukung kesetaraan gender melalui pendekatan yang lebih inklusif dan adil.
Aktivis Amina Wadud menyoroti penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an oleh penafsir laki-laki yang menciptakan hierarki gender dan membatasi peran perempuan. Melalui hermeneutika, ia mengkaji bahasa dan konteks ayat, menawarkan tafsir alternatif yang egaliter, mempertanyakan klaim seperti laki-laki "di atas" perempuan dan hak poligami, serta menolak pembenaran untuk memukul istri (Webb, n.d).
Aktivis perempuan asal Maroko, Fatima Mernissi juga menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara feminis, menunjukkan bahwa Islam mengajarkan keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mernissi mengomentari tentang hadits misogini yang banyak digunakan dalil sebagai legitimasi suksesi politik kaum elit laki-laki. Mernissi menggunakan pendekatan sejarah dalam meneliti hadits-hadits yang terkesan misogini. Fatima Mernissi menggunakan pendekatan sejarah dalam memahami hadis yang terkesan misogini dan pada akhirnya dia menyimpulkan, "Jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki modern, hal itu tidak berasal dari Alquran dan hadits, bukan pula karena tradisi Islam, melainkan semata mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki - laki" (Krisdiana, 2021).
Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite secara tajam menganalisis bagaimana ulama patriarki menyalah tafsirkan teks-teks hadits untuk membatasi hak-hak perempuan dalam masyarakat Muslim. Salah satu hadits yang sering dijadikan dasar adalah pandangan bahwa perempuan adalah "fitnah" atau godaan bagi laki-laki. Hadits ini, menurut Mernissi, tidak hanya diseleksi secara selektif, tetapi juga dipakai untuk membenarkan subordinasi perempuan dan meminggirkan mereka dari ruang publik, dengan alasan bahwa perempuan membawa potensi ancaman moral dan sosial bagi laki-laki. Ulama-ulama patriarki mengukuhkan narasi ini untuk mempertahankan hierarki kekuasaan yang berbasis gender, yang menguntungkan posisi laki-laki dalam masyarakat (Mernissi, 1991).
Fatima Mernissi berpendapat bahwa Al-Qur'an mendukung kesetaraan perempuan, seperti dalam QS An-Nisa' 4:1 dan Al-Ahzab 33:35. Ia menekankan bahwa hadits yang membatasi perempuan sering disalahgunakan dan perlu ditafsirkan secara dinamis sesuai konteks modern. Hadits-hadits ini sering disalahgunakan untuk mendukung kekuasaan patriarki. Karena itu, Mernissi berargumen bahwa penafsiran teks agama harus dinamis dan sesuai konteks, bukan statis atau literal.
Pemikiran Mernissi juga mendorong revisi atas beberapa hukum keluarga (family law) di negara-negara Muslim. Di Maroko, gerakan feminis yang terinspirasi dari pemikiran Mernissi berkontribusi pada reformasi Moudawana (Undang-Undang Keluarga) pada 2004, yang memberikan perempuan lebih banyak hak dalam perkawinan, perceraian, dan hak asuh anak. Pendekatan progresif ini menginspirasi berbagai gerakan feminis Muslim lainnya yang berupaya mengadvokasi kesetaraan gender melalui kerangka hukum Islam (Outaleb & Sadiqi, 2020).
Data yang mendukung tesis diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat Muslim dapat dilawan melalui penafsiran progresif Al-Qur'an dan Hadits, yang mendukung kesetaraan gender, Â keadilan sosial, serta menantang interpretasi patriarki yang dominan, dapat dilihat dari dikeluarkannya Reformasi Moudawana (Undang-Undang Keluarga Maroko) tahun 2004, terpengaruh oleh pemikiran Fatima Mernissi, memperkuat hak-hak perempuan dalam pernikahan, perceraian, dan hak asuh anak. Raja Mohammed VI menegaskan bahwa reformasi ini sesuai dengan prinsip Islam dan hak asasi manusia, menciptakan keseimbangan antara nilai Islam dan modernitas. Beberapa hasil reformasi tersebut yang dicakup dalam Moudawana adalah menaikkan usia minimum pernikahan perempuan menjadi 18 tahun, dari sebelumnya 15 tahun, memperketat poligami, mewajibkan persetujuan istri pertama serta keputusan pengadilan untuk memastikan keadilan. Perempuan juga mendapat hak untuk mengajukan perceraian, dengan prosedur yang lebih jelas dan adil dalam hal pembagian properti dan hak asuh anak. Setelah perceraian, perempuan memiliki hak yang lebih besar atas hak asuh anak, yang sebelumnya otomatis jatuh ke ayah (Outaleb & Sadiqi, 2020).
Dalam FGD di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang dilaksanakan oleh Ibu Chusnul Mariyah dan peserta lainnya, dihasilkan beberapa data kualitatif penting. Muhammadiyah telah menerbitkan buku fiqih tentang perempuan yang berlandaskan ayat-ayat yang mendukung kesetaraan gender, sehingga memperkuat hak-hak perempuan sesuai dengan teks Islam seperti Al-Qur'an dan Hadits. Dalam diskusi, juga ditegaskan bahwa narasi Barat yang menyatakan bahwa Islam mengekang wanita adalah kesalahan, karena sebenarnya Islam melindungi hak wanita dan menempatkan mereka setara dengan laki-laki, seperti dalam QS Al-Ahzab 33:35. Pada FGD "Women and Islam" yang dilaksanakan di FISIP UI, dewan dakwah juga telah menyusun daftar ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan peran perempuan, termasuk Hadits yang menekankan tingginya kedudukan seorang ibu. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan Shahih Bukhari, Hadits tersebut menyebutkan bahwa penghormatan kepada ibu diutamakan tiga kali sebelum ayah (Chusnul Mariyah Official, 2024). Penekanan pada kedudukan ibu ini mengakui pentingnya peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat Muslim sering kali dipertegas oleh interpretasi hukum dan norma agama yang konservatif. Namun, pendekatan progresif terhadap penafsiran Al-Qur'an dan Hadits membuka peluang signifikan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan sosial. Pemikiran aktivis perempuan seperti Fatima Mernissi dan Amina Wadud telah menciptakan ruang untuk menantang pandangan patriarkis yang menghambat hak-hak perempuan. Reformasi Moudawana di Maroko, yang terinspirasi oleh penafsiran ini, membuktikan bahwa perubahan struktural dalam hukum keluarga dapat meningkatkan status perempuan dan memberikan mereka hak yang lebih kuat dalam berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H