Di tengah berlangsungnya pandemi covid-19, Hari Buku Nasional tahun ini bersamaan dengan terancamnya industri perbukuan di Indonesia. Banyak industri buku yang mengalami kemerosotan pendapatan. Kondisi ini diperkeruh dengan banyaknya toko buku yang memutuskan untuk tutup.
Sebenarnya, penurunan omset industri perbukuan juga terjadi di banyak negara. Namun, penurunan omset yang dialami tidak sama. Menurut Laura Bangun Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional 2016-2019 dalam diskusi daring Menyelamatkan Perbukuan Saat Pandemi, penerbitan Indonesia banyak yang mengalami penurunan omzet sekitar 40- 90%.Â
Kondisi ini jauh berbeda dengan negara-negara di Eropa, termasuk Amerika yang industri perbukuannya, termasuk e-book dan buku audio hanya  mengalami penurunan sebanyak 20-30%.
Penurunan drastis omset perindustrian buku di tengah pandemi tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah budaya masyarakat Indonesia dalam mencari informasi. '
Jika mayoritas masyarakat Eropa mencari informasi dari buku dan media massa yang dapat dipertanggung jawabkan, mayoritas masyarakat Indonesia saat ini lebih suka mencari informasi lewat media sosial.
Laura mengatakan, menurut JVP Venture, 80% warga Indonesia menerima informasi lewat sosial media, sedangkan  47% dari Whats App. Hal ini tentu sangat menghawatirkan mengingat tidak semua media sosial memberikan informasi yang akurat. Apalagi ditambah hoaks yang masih menjadi problem sampai saat ini.
Selain budaya mencari informasi, penurunan ini juga didukung dengan beredarnya e-book bajakan berupa  karya yang seharusnya dibukukan. Apalagi di tengah pandemi, banyak sekali broadcast whatsapp yang menyebarkan link buku bajakan dalam bentuk pdf.Â
Penyebaran e-book ilegal dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan secara tidak langsung memutus hak para penulis dan penerbit. Tindakan ini disoroti oleh berbagai penulis, seperti Tere Liye  yang mengecam penyebaran ebook ilegal di status facebooknya.
Dengan adanya berbagai ancaman terhadap industri perbukuan selama pandemi, pemerintah harus mengambil langkah kongkrit untuk menyelamatkan industri ini.Â
Jika pemerintah mau berguru dengan negara-negara yang literasi masyarakatnya tinggi, seperti negara UK, Inggris, Irlandia, atau Cheko, pemerintahnya memberikan dukungan dana bagi perpustakaan, lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat untuk membeli buku.
Dalam diskusi daring, Laura juga menegaskan bahwa pekerjaan pelaku perindsutrian buku bukan semata-mata hanya mencari keuntungan, melainkan passion mereka terhadap perbukuan, literasi dan budaya  yang dapat mendukung literasi bangsa. Memang, masalah utama di tengah wabah ini adalah persoalan perut.Â
Jangankan membeli buku, membeli bahan makanan saja sulit. Namun, perlu diingat, masalah literasi sama sekali tidak bisa dinomor duakan. Di sinilah pemerintah harus segera mengambil tindakan. Jangan sampai pelaku perbukuan menyerah, dan tidak ada industri perbukuan setelah pandemi.
Semoga di tengah pandemi ini, pemerintah tidak lupa untuk memperhatikan kondisi berbagai pihak yang mendukung perkembangan literasi bangsa, terutama industri perbukuan.Â
Karena, walaupun pandemi berlangsung, masyarakat memiliki hak untuk menjadi cerdas. Sebagai masyarakat Indonesia, kita juga harus mulai berhenti membaca buku bajakan dan menghargai karya literasi. Selamat Hari Buku Nasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H