Ketika kita menelusuri lebih dalam realitas kehidupan perempuan di berbagai belahan dunia, realitanya perempuan seringkali menjadi individu yang paling sering menerima kekerasan baik itu dalam lingkup keluarga, pekerjaan, budaya dan sebagainya. Meskipun banyak kemajuan telah dicapai dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, faktanya, perempuan seringkali mendapati diri mereka ditempatkan di bawah peran laki-laki sehingga menciptakan ketidaksetaraan gender yang merasuki berbagai aspek kehidupan sosial. Ketidaksetaraan gender terkhusus di India menjadi suatu contoh nyata yang mencerminkan ketidakadilan dalam dinamika gender di seluruh dunia. Di negara berkembang, seperti India kekerasan terhadap perempuan muncul dalam berbagai bentuk salah satunya adalam praktik mahar dalam pernikahan yang disebut sebagai "dowry deaths" atau "dowry murder”. Tulisan ini akan membahas bagaimana pemikiran feminisme radikal dalam memandang tradisi ini. Feminisme radikal pada hakikatnya, mengecam struktur sosial yang memberikan kontrol dan kekuasaan lebih kepada laki-laki, dengan melihat tuntutan mahar yang tinggi sebagai simbol penindasan sistematis terhadap perempuan.
Kekerasan Tersembunyi di Balik Tradisi Mahar di India
Dalam realitas sehari-hari, perempuan seringkali ditempatkan di bawah peran laki-laki sehingga menciptakan ketidaksetaraan gender yang mencakup aspek hak, tanggung jawab, peluang, perlakuan, dan hambatan dalam kehidupan sosial mereka. Fenomena ini pada akhirnya menjadi sebuah tantangan global yang menggambarkan ketidakadilan dalam dinamika gender di seluruh dunia. Kekerasan yang diterima oleh perempuan pun dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga bentuk diskriminasi dan penindasan verbal. Kekerasan atau diskriminasi terhadap perempuan cenderung lebih sering terjadi di negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.[1] Sebagai contoh, India termasuk salah satu negara yang mengalami tingkat diskriminasi perempuan yang cukup tinggi karena sistem patriarki yang sudah ada sejak lama. Dalam masyarakat India, adanya sistem patriarki membuat perempuan memiliki posisi yang rendah. Hal ini membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan, terutama dari suami mereka sendiri.[2] Salah satu fenomena nyata kekerasan terhadap perempuan yang seringkali terjadi adalah tradisi mahar dalam pernikahan di India yang menjadikan wanita sebagai korban atau singkatnya fenomena ini dikenal sebagai “dowry deaths” atau “dowry murder”. Dowry deaths merujuk pada tindakan membunuh perempuan seolah-olah dilatarbelakangi oleh ketidakmampuannya memberikan mahar untuk pernikahan. Ketika perempuan meninggal pihak laki-laki tidak dapat dikenai hukuman karena biasanya kematiannya akan disamarkan sebagai kasus bunuh diri.[3]
Dalam pernikahan di India, mahar atau dowry merupakan suatu aspek yang memiliki kebermaknaan besar dalam tradisi dan kebudayaan masyarakat India. Tradisi ini memainkan peran penting dalam melengkapi tradisi pernikahan, di mana keluarga mempelai perempuan memberikan sejumlah harta atau mahar kepada keluarga mempelai laki-laki. Dalam budaya tertentu, umumnya perempuan menerima mahar sebagai tanda lamaran dari pihak lelaki. Namun, tradisi ini berbeda di India, di mana mahar bukan hanya sebagai tanda lamaran, melainkan sebagai harta yang diberikan oleh pengantin perempuan kepada suami dan keluarganya. Uniknya, praktik ini tidak hanya berlangsung sekali, tetapi berlanjut bahkan setelah pernikahan berlangsung.[4] Oleh sebab itu, tradisi ini sering dimanfaatkan oleh pihak laki-laki untuk mendapatkan keuntungan. Keluarga pengantin laki-laki akan meminta mahar dengan jumlah yang melebihi kemampuan finansial keluarga wanita. Dengan begitu, permintaan mahar yang tinggi ini menjadi sumber konflik dan kekerasan yang menjadikan perempuan sebagai korban.[5] Melalui pertanyaan penelitian “Bagaimana pandangan feminisme radikal terhadap tradisi dowry death di India” penulis mencoba untuk menganalisis dan menelusuri bagaimana sistem patriarki yang tertanam dalam tradisi kultural seperti praktik mahar membenarkan dan memperkuat kekerasan terhadap perempuan di India.
Feminisme Radikal: Kritik Terhadap Patriarki dan Institusi Keluarga
Dalam mengeksplorasi kasus dowry death di India, konsep feminis menjadi penting karena kekerasan yang terjadi dalam tradisi tersebut selalu melibatkan perempuan sebagai korban. Oleh sebab itu, hal tersebut sangat erat hubungannya dengan pembahasan tentang gender. Salah satu konsep feminis yang paling sesuai dengan kasus ini adalah feminisme radikal dimana dasar dari pemikiran feminis radikal merujuk kepada keyakinan bahwa penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki bersumber dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri dan disertai dengan ideologi patriarki.[6] Feminisme radikal menitikberatkan pada dimensi biologis sebagai akar masalah ketidakadilan gender. Para aktivis pemikiran ini berpendapat bahwa perempuan merasa dieksploitasi terutama dalam hal-hal biologis seperti peran sebagai ibu dalam kehamilan maupun pekerjaan domestik yang selalu dianggap sebagai tugas perempuan. Oleh karena itu, feminisme radikal memfokuskan serangannya kepada keberadaan insittusi keluarga dan sistem patriarki dimana mereka menganggap adanya keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi pria dalam sistem patriarki untuk menindas perempuan.[7] Melalui hal ini, dapat dipahami bahwa feminisme radikal sangat menolak adanya “keluarga” karena lembaga memberikan celah bagi laki-laki sebagai individu untuk menindas perempuan sehingga feminisme radikal mengajak perempuan untuk mandiri tanpa sosok laki-laki. Selain itu, Millet (1970) juga mengemukakan bahwa di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sering diharapkan untuk menonjol dalam ambisi, penghargaan, dan kepentingan. Sementara perempuan sering dihubungkan dengan peran “domestik” yang berhubungan dengan urusan rumah tangga dan pengasuhan anak.[8]
Perspektif Feminisme Radikal dalam Fenomena Dowry Death di India
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, feminisme radikal melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai akar dari struktur sosial yang didominasi oleh laki-laki, di mana laki-laki memiliki kontrol dan kekuasaan yang lebih besar. Dalam konteks Dowry Death, tuntutan mahar yang tinggi oleh keluarga laki-laki memberikan beban yang besar bagi pihak perempuan. Hal ini menjadi simbol dari penindasan sistematis terhadap perempuan, di mana perempuan hanya dianggap alat bagi laki-laki untuk mendapatkan kekayaan dengan mudah melalui pernikahan. Tuntutan mahar yang tidak terpenuhi pada akhirnya menyebabkan konflik dan kekerasan terhadap perempuan sehingga hal ini semakin memperkuat ideologi patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan rentan. Realita ini sangat sejalan dengan argumen dari feminisme radikal itu sendiri di mana sistem patriarki mengendalikan nasib perempuan dengan mewajarkan atau melegitimasi tradisi mahar yang jelas-jelas setiap tahunnya sudah banyak memakan korban. Fakta ini dapat dilihat melalui data National Crime Records Bureare yang menunjukkan bahwa kasus dowry death di India terhitung cukup besar dengan rata-rata laporan 8000 kasus per tahun. Angka ini semakin menguatkan argumen para feminis radikal bahwa atas nama budaya masyarakat di India seolah menutup mata tradisi yang menindas perempuan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa praktik dowry dalam pernikahan di India mencerminkan ketidaksetaraan gender yang mendalam dan menjadi sumber konflik serta kekerasan terhadap perempuan. Pendekatan feminisme radikal memberikan pemahaman bahwa akar masalahnya terletak pada sistem patriarki yang mengendalikan nasib perempuan dan membenarkan penindasan dalam nama tradisi. Dalam konteks Indonesia, kita dapat mencermati beberapa tradisi lokal yang mungkin memiliki kesamaan tema dengan fenomena dowry death di India. Meskipun Indonesia memiliki keberagaman budaya yang kaya, beberapa daerah masih mempertahankan tradisi yang melibatkan pertukaran harta sebagai bagian dari pernikahan. Sebagai contoh, beberapa daerah di Indonesia, seperti Padang Pariaman, memiliki tradisi yang sering dianggap sebagai bentuk patriarki, di mana perempuan diharapkan memberikan mahar kepada pihak laki-laki sebagai bagian dari pernikahan. Meskipun tujuan di balik tradisi ini mungkin berbeda dengan praktik dowry di India, tradisi tersebut dapat menciptakan dinamika yang mirip dengan kasus dowry death di India. Jika mahar yang diminta oleh pihak laki-laki tidak terpenuhi, bisa saja memicu konflik dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan memperhatikan hal ini, Indonesia dapat menjadikan kasus dowry death di India sebagai pembelajaran. Penting untuk memastikan bahwa tradisi atau praktik tertentu tidak menjadi alat untuk menindas perempuan atau menciptakan ketidaksetaraan gender. Masyarakat perlu terus membuka dialog mengenai nilai-nilai kesetaraan gender, mengevaluasi tradisi-tradisi yang merugikan perempuan dan berusaha untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keadilan dan kesetaraan.
Catatan Kaki: