Kehidupan politik Indonesia mulai mengalami kerancuan. Nampaknya, perseteruan sejak Pilkada DKI 2017 silam, hingga kini masih terasa imbasnya. Khususnya isu SARA yang belum menemukan titik terang sejak penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) serta peristiwa Bela Islam, atau yang sering disebut "Peristiwa 212".
Masihkan anda ingat dengan "Peristiwa 212"? Bermula dengan geramnya umat muslim akibat pidato Ahok di Pulau Seribu yang dinilai menodai agama Islam. Semenjak itu, Aksi Bela Islam sudah dilakukan beberapa kali, tak terkecuali Peristiwa 212 yang sangat kontroversial tersebut. Meski Peristiwa 212 sudah lampau terjadi, namun hal itu kembali muncul di publik. Belakangan ini, "Garda 212" menjadi isu panas di dunia politik Indonesia. Garda 212 sendiri masih berkaitan dengan Peristiwa 212, namun hal ini lebih mengarah ke politik.
Garda 212 merupakan wadah yang diperuntukkan untuk alumni Aksi Bela Islam 212 yang ingin terjun ke politik praktis. Garda 212 rencananya akan memilih satu calon legislatif dari tiap daerah yang dulunya ikut berpartisipasi dalam Aksi Bela Islam 212. Organisasi pimpinan Ansufri Idrus Sambo ini mengaku dapat merekomendasikan alumni atau anggota 212 sebagai caleg ke partai-partai besar seperti  Partai Gerindra, PAN, PKS, dan PBB.
Meskipun Garda 212 berikatan erat dengan Peristiwa 212, namun Presidium Alumni 212 membantah gerakan ini berhubungan dengan mereka. Hal tersebut menimbulkan keanehan, sebab pada Aksi Bela Islam 212, dua golongan tersebut terlihat sangat kompak menyuarakan aspirasi mereka berhubungan dengan agama Islam. Kini, keduanya mulai pecah haluan, Garda 212 mengincar politik, sedangkan  Presidium Alumni 212 masih fokus dengan ajaran Islam.
Mungkin sebagian besar masyarakat menilai  bahwa "wujud" asli para penggerak Aksi Bela Islam sudah nampak. Tidak seperti apa yang selalu diteriakkan saat aksinya bahwa mereka hanya memiliki tujuan agamis, ternyata di balik itu, ada maksud terselubung untuk mendapat kursi di legislatif. Bukan hanya itu saja, Garda 212 bahkan menawarkan "politik praktis" bagi alumni 212. Pasti kita sudah paham apa yang dimaksud politik praktis tersebut. Memanfaatkan isu SARA yang sedang berkembang subur di Indonesia, Garda 212 menggunakan agama Islam sebagai pelicin jalan menggapai posisi nyaman di pemerintahan.
Salah satu partai besar yang diyakini mendukung Garda 212 adalah Partai Gerindra. Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, memberikan tiga syarat utama bagi alumni 212 yang ingin terjun ke politik praktis, yakni dana, elektabilitas, serta dukungan untuk Prabowo dalam Pilpres 2019. Berkaitan dengan masalah La Nyalla tentang uang mahar 40 miliar, Prabowo menyatakan bahwa uang 40 miliar adalah jumlah yang sedikit bagi para caleg  untuk maju dalam Pilkada. Beliau menegaskan bahwa para caleg harusnya memiliki kesiapan dana untuk bertarung memperebutkan suara rakyat. Menurut saya sendiri, terdapat aspek kecurangan, lebih tepatnya politik uang.
Tidak asing lagi bila kita selalu mendengar tentang pembelian suara saat Pilkada ataupun Pilpres. Ditambah isu SARA yang sedang marak, kaum mayoritas memiliki peluang besar memenangkan Pilkada, sedangkan kaum minoritas makin surut hatinya melawan kaum adidaya di negeri ini. Politik uang mengarahkan Indonesia menuju ambang kehancuran. Seharusnya kita sebagai pemilih punya kehendak bebas menentukan pemimpin kita masing-masing. Terlepas dari dukungan sepihak karena caleg berasal dari suku, ras, dan agama yang serupa. Jika politik uang dan isu SARA terus menjadi halangan memperoleh pemimpin yang berintegritas, KKN dan korupsi akan terus berkembang pesat di Indonesia.
Jangan biarkan isu SARA dan kepentingan suatu golongan menjatuhkan martabat Bangsa Indonesia. Karena sampai kapan pun, NKRI harga mati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H