Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya kemajuan teknologi, dunia sastra yang dahulu hanya bisa dibaca pun sekarang ikut bertumbuh dan berkembang secara signifikan.
Salah satu bukti nyata yang dapat memperkuat pernyataan tersebut adalah semakin banyak dan menjamurnya karya sastra, seperti buku, yang diangkat ke layar lebar untuk difilmkan, seperti “Bumi Manusia”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, dan masih banyak lagi karya-karya sastra yang akhirnya diangkat menjadi film.
Salah satu yang menjadi warna baru dalam kancah perfilman Indonesia adalah serial “Gadis Kretek” yang diangkat bukan hanya menjadi film, tetapi menjadi serial sebanyak lima episode.
Serial “Gadis Kretek” yang dibintangi oleh sejumlah artis papan atas seperti Dian Sastrowardoyo dan Ario Bayu, sukses menghidupkan kembali perfilman Indonesia dan membawanya hingga kancah internasional. Bukan hanya dalam kancah internasional, netizen-netizen dalam negeri pun turut mewarnai suksesnya serial tersebut. Pasalnya, serial “Gadis Kretek” mengangkat cerita yang cukup unik dan belum banyak dibuat oleh film-maker Indonesia, di mana romansa dan sejarah disatukan.
Serial tersebut bercerita tentang perjalanan seorang anak laki-laki bernama Lebas yang diperintahkan ayahnya, yaitu Soeraja, untuk mencari seseorang bernama Dasiyah di detik-detik terakhir hidup sang ayah. Setelah pencarian yang lebih dalam, Lebas menemukan bahwa Dasiyah adalah kekasih masa lalu sang ayah, Soeraja. Lewat pencariannya tersebut, Lebas mengetahui bahwa antara Soeraja dan Dasiyah, memiliki hubungan yang sangat dalam di masa lalu.
Dasiyah merupakan anak dari seorang pemilik usaha kretek terbesar di Kota M pada saat itu. Ia perempuan yang sangat ambisius, tegar, mandiri, berwibawa, memiliki harapan untuk masa depannya, dan hidup sangat nyaman bersama keluarganya yang berisi Ayah, Ibu, dan Adiknya.
Tidak seperti adiknya, Dasiyah sangat tertarik dengan usaha kretek milik ayahnya dan berkeinginan untuk melanjutkan usaha ayahnya. Untuk itulah setiap harinya Dasiyah membantu ayahnya di pabrik dari mulai melinting sampai mempelajari berbagai jenis kretek. Namun satu yang disayangkan, ia tidak boleh menyentuh ruang saus karena dirinya seorang perempuan.
Ayahnya dan koleganya percaya bahwa saus untuk kretek hanya boleh dibuat oleh laki-laki, tidak boleh perempuan. Jika perempuan yang membuat saus kretek, rasanya pahit, tidak enak. Tetapi tidak semudah itu Dasiyah menyerah. Ia selalu mencari cara agar dapat meracik saus dan membuktikan kepada seluruh dunia bahwa saus buatan perempuan tidak kalah enaknya.
Nilai perempuan yang tinggi (high value woman) terlihat betul dalam setiap langkah yang diambil oleh Dasiyah. Kegigihan dirinya sangat terukur jelas dari semangatnya untuk meracik saus kretek buatannya sendiri. Pengaruh lingkungan, khususnya dalam konteks latar belakang Jawa, sangat mempengaruhi bagaimana Dasiyah berperilaku, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa ada berbagai pembatasan dalam lingkup sosial di mana Dasiyah tidak diperbolehkan untuk memasuki ruang sasu, namun Dasiyah justru memilih untuk bersikeras menciptakan saus yang diyakininya akan sukses suatu saat nanti. Ia ingin sekali menyampaikan pesan bahwa rokok tidak memiliki identitas gender, di mana bukan hanya laki-laki saja yang dapat menikmatinya, dan seharusnya wanita sudah sepatutnya terlibat juga dalam industru kretek yang melesat cepat pada zaman itu.
Kaum pria memandang bahwa perempuan ada “di bawah” mereka dan tidak seharusnya mencampuri urusan atau memahami pekerjaan pria. Kaum perempuan dianggap hanya cocok mengurusi suami dan rumah, tak selayaknya kerja di luar. Dalam budaya Jawa, perempuan yang ideal adalah perempuan yang memiliki. Serial drama ini berlatar di sebuah kota di pulau Jawa, dalam budaya Jawa yang masi kental dengan patriarkinya, perempuan dianggap ideal jika memiliki sifat lemah lembut, penurut, dan tidak diperbolehkan untuk melampaui laki-laki. Pada akhirnya kerap kali peran yang melekat pada perempuan ideal adalah mengelola rumah tangga, pendukung karir suami, istri yang patuh dengan suami dan ibu bagi anak-anaknya(Rabbaniyah & Salsabila, 2022).
Di situlah Soeraja muncul dan turut membantu Dasiyah untuk masuk ke ruang saus yang khusus untuk laki-laki. Soeraja selalu membantu Dasiyah secara diam-diam, sampai akhirnya Dasiyah bisa meracik saus buatannya sendiri. Padahal Soeraja hanyalah seseorang yang bukan siapa-siapa, hanya seseorag yang dibawa oleh ayah Dasiyah dari pasar untuk membantu di pabrik ayah Dasiyah. Namun seiring berjalannya waktu, Soeraja semakin sering membantu Dasiyah untuk membuat kretek buatan Dasiyah sendiri, hingga semakinsering mereka bertemu sehingga muncul benih-benih cinta di antara mereka berdua, dan muncullah Kretek Gadis, kretek buatan Soeraja dan Dasiyah.
Tak lama dari situ, keluarga Dasiyah diterpa badai, di mana keluarganya terdampak oleh peristiwa pembantaian pada tahun 1965. Rumahnya dijarah, ayahnya meninggal akibat berusaha memberikan perlawanan kepada tentara-tentara yang berusaha untuk memenjarai ia dan keluarganya. Sejak saat itu, Dasiyah terpisah dengan keluarganya dan juga Soeraja. Mimpi Dasiyah yang besar untuk membuat Kretek Gadis bisa diketahui oleh banyak orang sirna, dan mimpinya untuk bisa hidup bersama dengan kekasihnya, Soeraja, juga sirna. Mulai dari situ, hidup Dasiyah begitu menyedihkan. Ia sempat dipenjara, dan tak berapa lama kemudian bertemu dengan Ibu dan adiknya, walaupun semua kekayaan, jabatan, dan segalanya yang ia miliki dulu sudah hilang. Mereka bertiga memulai hidup baru dari awal tanpa seorang ayah.
Sementara itu, Soeraja yang juga berpisah dengan Dasiyah karena kejadian mencekam itu turut bersedih hati. Ia mencari Dasiyah ke berbagai tempat, namun hasilnya nihil. Ia tak menemukan Dasiyah di manapun. Karena sudah melalui pencarian yang panjang, akhirnya Soeraja berpikir untuk tetap melanjutkan hidupnya karena tidak ada pilihan lain selain itu. Ia pun akhirnya menikahi anak dari Bapak Djagat. Djagat adalah kompetitor ayah Dasiyah, yang usaha kreteknya tidak terdampak oleh kejadian di tahun 1965 itu. Pernikahan tersebut membuat hidup Soeraja sejahtera, karena ia turut membantu Djagat untuk memasarkan bisnis kreteknya hingga ke luar negeri. Sangat amat disayangkan, kretek yang dijual oleh Djagat dan Soeraja dan membuat usaha mereka meroket adalah Kretek Gadis, kretek yang dahulu Soeraja buat bersama dengan Dasiyah. Sejak saat itu, Soeraja melanjutkan hidup dengan menjadi pebisnis rokok yang sukses bersama istrinya, dan ketiga anaknya, yang salah satunya bernama Lebas.
Apa yang dilakukan Soeraja kepada Dasiyah adalah pengkhianatan terbesar. Begitu mudahnya ia melupakan Dasiyah dan menikah dengan anak dari musuh ayah Dsiyah. Yang lebih parahnya lagi, ia membantu usahanya dengan mencuri resep Kretek Gadis yang dahulu ia buat bersama dengan Dasiyah. Karena hal itu, banyak sekali penonton serial ini yang mengutuk Soeraja. Tentunya semua orang melihat apa yang dilakukan Soeraja adalah kejahatan mutlak. Tetapi, bila tokoh Soeraja diulas lebih dalam dengan pendekatan psikologi, ia belum tentu sepenuhnya melakukan kejahatan. Teori disonansi dari kognisi sosial dapat menjelaskan mengapa Soeraja melakukan hal yang sedemikian jahatnya kepada Dasiyah.
Apa itu Teori Disonansi?
Pada awal abad ke-20, istilah behaviorisme (faktor eksternal), sangat laris untuk menjelaskan mengapa manusia berlaku demikian. Namun di pertengahan abad ke-20, para psikolog mulai memikirkan ulang mengenai pendekatan kognitif (faktor internal) untuk memahami perilaku seseorang, dan tidak hanya berfokus kepada faktor eksternal saja. Salah satu teori kognitif yang dapat menjelaskan perilaku manusia adalah Teori Disonansi Kognitif yang digagas oleh Leon Festinger pada tahun 1951.
Pada buku Theories of Human Communication dijelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi konsep dalam teori disonansi kognitif, yaitu kognitif dan disonansi. Kognitif adalah elemen-elemen yang terdiri atas sikap, persepsi, pengetahuan, dan keyakinan. Di sisi lain, disonansi adalah konflik atau perdebatan atau ketidak konsistenan. Gagasan pada teori ini adalah bahwa setiap orag memiliki elemen-elemen kognitif, di mana elemen tersebut tidak terisolasi, namun berhubugan satu sama lain. Hubungan antar elemen tersebut terbagi ke dalam tiga hubungan, yaituL 1) hubungan tidak relevan, 2) hubungan saling memperkuat (konsonan), 3) dan hubungan yang saling bertabrakan (disonan).
Teori disonansi milik Festinger mengatakan bahwa disonansi kognitif merupakan perasaan yang dimiliki seseorang ketika mereka melihat bahwa dirinya sedang melakukan apa yang tidak sesuai dengan pendekatan atau pemahaman yang mereka pegang. Brown mengatakan bahwa disonansi kognitif adalah keadaan ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi untuk melakukan usaha-usaha agar tercapai konsonansi (keseimbangan).
Dalam bukunya “A Theory of Cognitive Disonance”, Leon Festinger (1957) mengemukakan bahwa teorinya banyak dipengaruhi oleh pemikiran teori psikologi lapangan (field theory) milik Kurt Lewin, yang merupakan pengembangan dari konsep konsistensi dalam kognisi manusia yang dikenalkan oleh Jean Piaget. Kemudian, inti dari pemikiran Kurt Lewin tersebut kembali kembangkan oleh Festinger untuk menjadi dalil utama teori disonansi. Disonansi kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi ketika individu ”menemukan diri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang diyakini”. Dengan kata lain, teori disonansi kognitif berkaitan dengan dua jenis inkonsistensi perilaku sikap tertentu, yang timbul karena dilakukannya perilaku yang tidak sesuai dengan sikap dan yang timbul karena pengambilan keputusan. Dalam hal terjadinya disonansi maka akan timbul ketegangan psikologis, atau ketidaknyamanan (Festinger, 1957:3; Sears, et.al, 1985:156157; Littlejohn & Foss, 2005:77; Griffin, 2006:228,237; Perloff, 2010:238; Tankard dan Werner, 2008:165)
Selain itu, Solomon (1992) juga menyatakan bahwa disonansi kognitif adalah sebuah pendekatan yang sangat penting untuk melihat perilaku berdasarkan prinsip kekonsistenan. Solomon menyatakan bahwa individu sangat termotivasi untuk mengurangi disonansinya dengan cara menyelaraskan pemahamannya dengan yang lain. Menurutnya, cara mereduksi disonansi bisa dilakukan dengan cara menghapuskan, menambahkan, atau mengganti elemen-elemen kognitif tertentu. Di sisi lain, East (1997) menyebutkan bahwa disonansi adalah kondisi yang membingungkan seseorang, di mana pemahaman atau kepercayaannya tidak sejalan dengan yang seharusnya.
Penyebab disonansi kognitif yang dialami oleh pasangan beda agama terdiri dari berbagai sumber. Festinger (1957) mengemukakan sumber-sumber disonansi kognitif yaitu logical inconsistency yaitu disonansi yang terjadi karena ketidaksesuaian antara elemen kognitif dengan hal-hal yang logis di lingkungan, culture mores yaitu perbedaan budaya yang menyebabkan terjadinya disonansi kognitif, opinion generality yaitu disonansi yang terjadi ketika opini yang dianut banyak orang dipaksakan pada opini individu, dan past experience yaitu ketika kognisi individu tidak sesuai dengan pengetahuan masa lalu individu, maka akan muncul disonansi.
Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi disonansi?
Pada dasarnya, cara termudah untuk menghilangkan disonansi kognitif ini adalah dengan mengubah tindakan atau perasaan kita terhadap elemen perilaku, karena perilaku dan perasaan individu sering sekali berubah tergantung kepada informasi baru yang didapatkan (Festinger, 2957). Namun umumnya, ada tiga cara yang dapat dilakukan seseorang untuk bisa mengurangi disonansi kognitif yang dialaminya, 1) mengubah perilaku agar sejalan dengan pemahaman yang ia percaya, 2) membenarkan perilaku dengan mengubah pemahaman yang dipercaya, dan 3) merubah perilaku dan menambahkan pemahaman baru.
Ketika individu mengalami disonansi kognitif, maka individu tersebut berusaha untuk mengurangi disonansi kognitif tersebut. Festinger (1957) mengemukakan bahwa cara individu untuk mengurangi disonansi kognitif adalah dengan mengubah elemen kognitif perilaku, mengubah elemen kognitif lingkungan, dan menambah elemen kognitif baru. Kesimpulan dari pemaparan di atas adalah disonansi kognitif yaitu kondisi individu memiliki dua atau lebih pemikiran yang berasal dari dirinya sendiri dan dari lingkungan sekitar dan individu dituntut untuk memilih pemikiran tersebut.
Soeraja dan Disonansi Kognitif
Contoh yang relevan untuk menggambarkan disonansi kognitif adalah situasi yang dialami oleh Soeraja, yang dianggap sebagai orang jahat atau dicap sebagai “laki-laki red-flag” karena tindakannya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang percaya bahwa seharusnya Soeraja terus mencari Dasiyah apapun yang terjadi. Mereka berpendapat bahwa jika Soeraja tidak dapat bertemu dengan Dasiyah, seharusnya ia tetap setia dan tidak menikah dengan orang lain bahkan hingga memiliki tiga anak. Orang-orang beranggapan bahwa tindakan Soeraja tersebut adalah tindakan paling kejam yang bisa dilakukan terhadap orang yang ia sayangi. Bukan hanya menikah dan memiliki anak dengan orang lain, tetapi juga menggunakan resep kretek buatan Dasiyah untuk keuntungan pribadinya yang ia gunakan untuk melakukan ekspansi bisnis keluarga barunya dan menyukseskan keluarganya.
Jika dilihat sekilas, semua itu tampak benar. Namun, ketika kita menerapkan pendekatan teori disonansi kognitif, kita dapat melihat bahwa sebenarnya Soeraja mengalami disonansi kognitif yang sangat kompleks. Pada awalnya, ia pun tidak menerima kenyataan bahwa ia harus hidup terpisah dari Dasiyah. Ia berusaha mencari Dasiyah dengan harapan bisa hidup kembali bersamanya, walaupun usahanya tidak membuahkan hasil. Setelah berbagai upaya tidak berhasil, Soeraja memutuskan untuk mereduksi disonansi yang ia alami dengan merubah salah satu kognisinya. Ia menerima kenyataan bahwa ia harus melanjutkan hidup tanpa Dasiyah dan meyakini bahwa menikahi putri Djagat adalah pilihan terbaik. Dengan cara ini, ia berharap suatu hari bisa bertemu lagi dengan Dasiyah, dan dalam prosesnya, ia bisa mencapai kesuksesan dengan Kretek Gadis. Banyak orang mungkin melihat hal ini sebagai kesalahan besar atau bahkan tindakan kriminal, namun kenyataannya adalah bahwa keputusan tersebut merupakan cara paling realistis yang bisa diambil dalam situasi tersebut. Realitas ini tidak selalu dapat diterima oleh semua orang.
Dengan demikian, tindakan Soeraja tidak sepenuhnya jahat jika dipahami dari perspektif yang lebih luas dan realistis. Ia melakukan apa yang secara alami dilakukan oleh manusia ketika menghadapi kesulitan besar: melanjutkan hidup dengan apa yang ada di depannya. Soeraja tidak hanya berusaha dan menyesali keadaan, tetapi ia juga berusaha untuk tetap memaksimalkan kehidupannya di masa sekarang "make the best out of it." Setiap orang berhak memilih cara mereka sendiri untuk mereduksi disonansi yang dialaminya, dan dalam kasus Soeraja, ia memilih cara yang menurutnya terbaik untuk menghadapi situasi yang sangat sulit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suatan, A. T., & Irwansyah, I. (2021). Studi Review Sistematis: Aplikasi Teori Disonansi Kognitif dan Upaya Reduksinya pada Perokok Remaja. JURNAL LENSA MUTIARA KOMUNIKASI, 5(1), 72–82. https://doi.org/10.51544/jlmk.v5i1.1556
Achmad, R. A., & Firdayati, A. (2019). DISONANSI KOGNITIF PADA PEREMPUAN PECANDU PORNOGRAFI. Jurnal Ecopsy, 6(1). https://doi.org/10.20527/ecopsy.v6i1.6028
Aronson, E., Wilson, T. D., Akert, R. M., & Sommers, S. R. (2020). Social psychology, global edition.
Dewanti, I. N., & Irwansyah, I. (2021). Disonansi kognitif dalam perilaku konsumen masyarakat indonesia terhadap pembelian produk tanpa logo halal. JURNAL LENSA MUTIARA KOMUNIKASI, 5(1), 99–109. https://doi.org/10.51544/jlmk.v5i1.1657
Umar, M. F. R., & Suryanto, . (2018). Our different differences: Qualitative study of cognitive dissonance on different religion spouses. Proceedings of the 3rd International Conference on Psychology in Health, Educational, Social, and Organizational Settings. http://dx.doi.org/10.5220/0008584800260033
Hutagalung, I. (2016). DISONANSI KOGNITIF PADA PERILAKU SEKS PRANIKAH. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1(2), 71. https://doi.org/10.25008/jkiski.v1i2.52
Pratiwi, N. K., & Darni, D. (2024). Mimikri dalam Hegemoni pada Film Serial Gadis Kretek. Deiksis, 16(1), 44. https://doi.org/10.30998/deiksis.v16i1.22074
Natasia Febiani, C. (2024). Cah Wedok Dolanane Rokok. Wacana Teologika: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Teologi Duta Wacana, 1(1).
Meisabillah, B., Anisa Pujianti, N., Sabilla, N., Siswoyo, M., & Dian Lestari, A. (2024). The role of “Jeng Yah” in gender equality in the Gadis Kretek series. Asian Journal of Social and Humanities, 2(8), 1629–1642. https://doi.org/10.59888/ajosh.v2i8.299
Hakim, L. N., Rosario, T. M., Marta, R. F., & Panggabean, H. R. G. (2024). Wacana Multimodalitas Budaya: Tautan Peran Gender dan Akomodasi Komunikasi dalam Film Serial Gadis Kretek. Jurnal Riset Komunikasi, 7(1), 57–71. https://doi.org/10.38194/jurkom.v7i1.965
Wahyuningratna, R. N. (2024). Representasi Budaya Patriarki dalam Serial Drama “Gadis Kretek.” Cakrawala - Jurnal Humaniora, 24(1), 7–14. https://doi.org/10.31294/jc.v24i1.20890
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H