perempuan bukanlah aktor politik yang dominan dalam ranah politik nasional maupun internasional. Dapat dilihat dalam politik minim nya perempuan yang mengambil peran dalam bangku politik. Hal tersebut menimbulkan beberapa faktor hambatan yang mana menjadi penghambat perempuan untuk berjuang lebih dalam peran politik.
Saat iniDalam pandangan masyarakat masih menilai perempuan tidak seharusnya untuk terjun dalam politik dan seharusnya mengatur urusan rumah tangga saja seperti mengurus rumah dan mengurus anak maupun suami.Â
Dari pemikiran tersebut mengakibatkan perempuan tidak mendapat dukungan di berbagai langkahnya dalam memasuki ranah politik sehingga dukungan calon perempuan rendah dan dinilai dinilai tidak layak untuk menjadi pemimpin.
Pemilu bukanlah kegiatan yang murah yang mana modal ekonomi untuk pemilu sangat besar dalam aspek kampanye. Modal ekonomi yang tinggi inilah yang mungkin enggan bagi perempuan untuk mengeluarkan untuk mencoba terlebih tidak ada jaminan uang yang digunakan akan kembali pada akhirnya.
Dari hambatan tersebut sedikit banyaknya permasalahan yang dirasakan perempuan dalam mendobrak realita politik yang ada. situs MPR menyebutkan bahwa berdasarkan hasil pemilu 2019, keterwakilan perempuan dalam di lembaga legislatif (DPR - RI) Berada pada angka 20,08% atau 120 anggota legislatif anggota perempuan dari 576 anggota DPR - RI. Inna Junaenah mengungkapkan bahwa telah banyak penelitian dan regulasi yang berkaitan dengan hubungan antara perempuan dan pengambilan keputusan dalam tata kelola pemerintahan.Â
Pada tahun 1995, Konferensi Perempuan se - Dunia keempat diBeijing mendorong upaya internasional dan menghasilkan rekomendasi yang disebut sebagai Beijing Platform for Action. Hal ini memicu rencana aksi di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen hingga 33,3 persen. Tujuannya adalah untuk memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, posisi perempuan di parlemen diyakini mempengaruhi secara langsung pembentukan hukum.
Sesuai data diatas, bahwa perempuan dalam parlemen masih di bawah 30%. Riset State of The World's Girls Report (SOTWG) yang dipublikasikan Plan Indonesia awal tahun ini mencatat, sebanyak 9 dari 10 perempuan percaya bahwa partisipasi politik itu penting, namun para perempuan itu juga mengakui adanya berbagai hambatan dalam proses partisipasi tersebut.
Menurut saya, perempuan memiliki peran penting dalam parlemen dan keikutsertaan dalam ranah politik karena kehadiran perempuan dalam parlemen membawa pandangan dan pemahaman yang berbeda yang dapat membawa pengambilan keputusan serta memperluas isu yang relevan bagi perempuan dan masyarakat umum.Â
Selain itu, Perempuan dalam parlemen dapat berperan dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan mempromosikan kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan.Â
Dalam Penelitian menunjukkan bahwa ketika ada lebih banyak perempuan dalam parlemen, kebijakan yang mendukung kesejahteraan perempuan, pendidikan, kesehatan, dan isu - isu sosial lainnya lebih mungkin diutamakan.Â
Perempuan yang aktif dalam politik dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda, terutama perempuan muda, untuk terlibat dalam proses politik dan berani memimpin. Melalui kehadiran mereka dalam parlemen, perempuan dapat memotivasi perempuan lain untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam politik dan mencapai posisi kepemimpinan.