Hal ini menyebabkan otak memiliki persepsi bahwa bagian tubuh tersebut masih ada sehingga seringkali ketika kita menyentuh anggota tubuh lain, bagian tubuh yang sudah diamputasi akan ikut pula merasa disentuh .Â
Lalu hipotesis yang kedua menyatakan bahwa sejak awal otak kita sudah memiliki peta/ representasi internal anatomi tubuh kita, dimana hal ini akan membantu kita dalam bergerak/ memposisikan tubuh.Â
Hipotesis ini juga memvalidasi pernyataan bahwa seorang tuna daksa sejak lahir pun memiliki kemungkinan untuk dapat merasakan phantom limb syndrome karena sejak awal otaknya sudah ter-setting mengenai peta tubuh yang lengkap.Â
Namun jika kondisinya adalah pasien amputasi atau ketika ada anggota tubuh yang hilang secara mendadak, otak kita juga tetap mengingat tubuh kita sebagai suatu keadaan yang masih lengkap sehingga menyebabkan asumsi alam bawah sadar bahwa anggota tubuh yang hilang masih ada. Â
Lalu yang ketiga adalah faktor psikologis dimana seseorang yang kehilangan anggota tubuhnya akan merasakan kesedihan atau stress yang mendalam karena kejadian tersebut sehingga mempengaruhi saraf simpatiknya.
Pada rutinitas sehari hari, penderita phantom limb syndrome menyatakan  bahwa serangan rasa nyeri, gatal, kebas, dan lainnya dapat dipicu oleh beberapa kegiatan.Â
Diantaranya adalah sentuhan pada area yang diamputasi, stress, kebiasaan merokok, melakukan hubungan seks, buang air kecil atau besar, paparan udara dingin, ataupun perubahan udara secara signifikan. Namun meskipun serangannya dapat dengan mudah terpicu tapi penanganannya justru tergolong sulit.Â
Sampai saat ini, setelah dilakukan penelitian survey besar pada pasien amputasi, perawatan rasa nyeri ini rupanya tidak berjalan secara efektif. Upaya optimal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan anastesi anestesi lokal, simpatektomi, dorsal-root, lesi entry-zone, kordotomi dan rhizotomy, metode neurostimulasi, atau farmakologis Intervensi seperti antikonvulsan, barbiturat, antidepresan, neuroleptik, dan relaksan otot.Â
Tak hanya itu, prosedur non-obat pun seperti  terapi fisiologis, hipnosis, dan terapi cermin juga menjadi salah satu upaya untuk menyembuhkan sindrom ini. Cara kerjanya adalah dengan cara mempengaruhi pemahaman otak mengenai sinyal sinyal atau stimulus dari anggota tubuh yang sudah hilang ini.Â
Selain itu penggunaan anggota tubuh palsu atau prostesis fungsional juga dinilai dapat membantu mengurangi rasa nyeri dengan melatih otot otot bagian tubuh yang diamputasi. Namun meskipun sindrom ini mengganggu, menurut penjelasan medis sindrom ini tidak berbahaya bagi keselamatan penderitanya.Â
Daftar Pustaka :