Puskesmas Dinoyo adalah salah satu dari 15 puskesmas yang ada di Kota Malang, Jawa Timur. Puskesmas Dinoyo merupakan Puskesmas Perawatan dan terletak di Jl. MT. Haryono 9 No. 13, Kec. Lowokwaru, Kota Malang. Puskesmas Dinoyo terletak di bagian barat kota Malang, yang merupakan daerah yang sejuk dan dikelilingi industri keramik Dinoyo yang terkenal dengan keindahannya. Selain itu di kawasan ini banyak terdapat perguruan tingggi terkemuka seperti Unibraw, UM, UMM, ITN, UNISMA, UIN dan perguruan tinggi lainnya. Dengan penduduknya yang padat, Puskesmas Dinoyo hampir tidak pernah sepi dari kunjungan warga yang berobat. Untuk menuju ke lokasi puskesmas Dinoyo tidaklah susah karena dekat dengan banyak jalur angkot.
Slogan dari Puskesmas Dinoyo adalah “Kesehatan Anda adalah Dambaan Kami”. Puskesmas Dinoyo selalu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, tulus, ramah dan sepenuh hati. Hal ini terbukti dengan banyaknya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang mengakses layanan di klinik IMS puskesmas ini. Klinik IMS Puskesmas Dinoyo Malang atau sering disebut “Klinik IMS Dinoyo” adalah klinik yang memberikan pelayanan konsultasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit infeksi menular seksual (IMS, seperti sifilis/raja singa, kencing nanah/GO, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.). Pelayanan yang diberikan tidak dipungut biaya atau gratis. Klinik ini juga memberikan layanan rujukan untuk pemeriksaan tes HIV melalui tes sukarela dengan konseling atau dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT).
Dalam suatu kesempatan saya diberikan waktu untuk wawancara dengan Elief Yuniarti, SKepNs, selaku petugas di Klinik IMS Puskesmas Dinoyo Malang tentang diskriminasi. “Meminimalisir diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) harus dimulai dari sisi layanan terlebih dahulu, baik petugasnya maupun mekanisme pelayanannya,” kata Elief.
Dia juga menyampaikan beberapa cara untuk meminimalisir diskriminasi di Puskesmas Dinoyo. Inilah cara-cara yang dilakukan oleh pihak puskesmas, yaitu: pelatihan terhadap petugas serta evaluasi terhadap hasil pengontrolan IMS, petugas medis harus memakai alat pelindung diri (masker, sarung tangan, dll.) yang sama pada saat memeriksa pasien tanpa membeda-bedakan pasien, semua pasien yang akan mengakses layanan harus “satu pintu” tanpa adanya pengecualian, warna map pendaftaran pasien harus sama yaitu warna putih, retribusi gratis bagi pengguna KTP Kota Malang dan bagi yang ber-KTP luar Malang dikenakan biaya Rp 3.000.
Proses rawat inap diberlakukan sama terhadap pasien, melakukan layanan mobile klinik/jemput bola bagi siapa pun yang merasa beresiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS tanpa ada pembedaan.
Meminimalisir diskriminasi terhadap Odha tidak hanya dilakukan dari sisi layanan, tapi sangat perlu juga dari sisi masyarakat sekitarnya. “Untuk meminimalisir diskriminasi Odha, kita sudah melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat, mulai tingkat kecamatan sampai tingkat rukun tetangga, pemangku kepentingan ini yang akan membantu memberikan informasi pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS,” ujar Elief.
Untuk menindak lanjuti masalah diskriminasi Odha di masyarakat, maka dibentuklah Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang anggotanya adalah kader-kader dari masyarakat. “Di samping dibentuk LKB, juga dibentuk Warga Peduli AIDS (WPA) yang anggotanya adalah tokoh kunci pemegang kebijakan,” kata Elief. Tugas dan tanggungjawab LKB dan WPA yaitu sebagai sumber pemberi informasi kepada masyarakat tentang IMS dan HIV/AIDS. “Inilah bentuk rangkaian yang ada di layanan Puskesmas Dinoyo dan masyarakat sekitarnya untuk meminimalisir diskriminasi terhadap Odha,” ujar Elief dengan nada yakin.
Kita berharap Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dapat duduk bersama-sama dengan pihak puskesmas-puskesmas atau tempat layanan yang ada di Indonesia untuk membicarakan masalah diskriminasi yang berkembang di masyarakat sekitar tempat layanan tersebut. Apabila diskriminasi yang ada di masyarakat tidak dapat diminimalisir, yang ditakutkan akan berdampak negatif terhadap tempat layanan tersebut.
“Komunitas (gay, waria, dan lainnya) harus menyatu dan membantu masyarakat untuk sosialisasi IMS dan HIV/AIDS,” ujar Elief mengingatkan. Dengan membaurnya komunitas dan masyakarkat untuk bersosialisasi tentang IMS dan HIV/AIDS, hal ini akan berdampak positif yaitu meminimalisir diskriminasi yang ada.
Elief juga menambahkan bahwa layanan komunitas, kader komunitas, LKB, WPA, dan LSM harus duduk bersama-sama dengan stakeholder setempat untuk membicarakan masalah diskriminasi yang berkembang di masyarakat. Kita berharap agar di Pernas AIDS V Makassar 2015, pemangku kepentingan untuk masalah HIV/AIDS dapat membuahkan strategi-strategi yang baru untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi terhadap Odha.
“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Biarlah semboyan tersebut juga menjadi semboyan bagi kita semua untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi terhadap Odha. Salam. *
Ilustrasi: Suasana di sebuah puskesmas (Repro: m.joss.today)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H