Tak mudah untuk kita sadari, saling mendengarkan hati, tak mudah untuk kita pahami, berbagi rasa di hati. Itu sepenggal bait lagu berjudul “Arti Sahabat” (Nidji). Setiap mendengar alunan lagu tersebut, saya jadi teringat dengan teman saya yang bernama Mawar (nama samaran). Dulu dia terkenal dengan canda-tawanya. Dia seorang waria yang mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi, sekarang sudah berubah total., Dia lebih banyak menutup diri dan selalu menjauh bila didekati oleh orang lain.
Sebagai seorang teman, saya berusaha untuk mendekati dan ingin menghibur dia. Mawar sangat menerima kedatangan saya dan kami berdua duduk di sebuah lesehan warung kopi.
Sebatang rokok diisapnya dan sekali-sekali dia menatap mata saya dan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
Sambil saya tepuk pundaknya dan saya bertanya, “Kamu ada masalah apa?”
Saya memberikan senyuman dan dia membalas dengan senyuman. Mawar mulai menceritakan bahwa sejak dia membuka status HIV-nya kepada teman dan beberapa tetangganya, justru dia mengalami diskriminasi (perlakuan yang berbeda). Awalnya dengan membuka status HIV-nya, dia berharap tidak mengalami stigma dan diskriminasi, tapi kenyataannya sangatlah beda. Hal tersebut disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS.
Mawar mulai bercerita tentang keadaan dirinya sekarang. Dan sekali-kali dia menyalahkan dirinya, “Mengapa aku harus membuka status HIV-ku?”
“Sejak aku membuka status HIV-ku, aku selalu dihadapkan dengan sindirian, hinaan bahkan pengusiran dalam bergaulan.” Itu yang Mawar sampaikan kepada saya. Banyak tetangga dekatnya yang tidak mau berbicara dengan dengannya dan teman-temannya mulai meninggalkan dia.
Mawar mengatakan bahwa obat antiretroviral (ARV) yang dia minum tidak ada efeknya bagi kesehatannya, sebab diskriminasi itu yang membuat kesehatannya menurun dan sering sakit-sakitan. Pola istirahat jadi tidak teratur dan nafsu makan sudah tidak ada, semua disebabkan karena banyaknya beban pikiran.
“Aku ingin mati saja!” kata Mawar. Dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi stigma dan diskriminasi yang menimpa kehidupannya. Asap rokok keluar dari bibirnya, dan air matanya mulai menetes.
Siapa, sih, yang tega melihat keadaan teman seperti itu?
Dan, siapa pula yang peduli dengan keadaan teman yang seperti itu?
“Mawar, kamu tidak sendirian dan kamu masih punya banyak teman dan sahabat,” kataku berusaha menghibur dia dan akan memberikan solusi yang terbaik bagi kehidupannya.
Maukah kamu membantu aku? Itu ajakan saya kepada Mawar. Organisasi sosial kemasyarakat yang saya jalankan dengan teman-teman membutuhkan banyak tenaga sosial.
“Saya takut masyarakat akan menghina atau menjauhi kita,” kata Mawar dengan suara parau.
Saya jelaskan bahwa dengan kita terlibat di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, masyarakat akan semakin dekat dengan kita. Ada jawaban yang melegakan hati saya, yaitu Mawar mau membantu di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Tidak terasa hampir dua jam kami berbagi cerita dan semua nya sangat bermanfaat bagi kehidupan Mawar.
Mawar aktif membantuku dalam sosialisasi program-program kemasyarakatan dan banyak membantu masyarakat dalam bidang ketrampilan. Dengan aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan, semangat hidup Mawar semakin meningkat.
Mawar yang dulu hilang, kini sudah kembali lagi. Ada beberapa teman dan warga yang mengetahui status HIV-nya, tapi masyarakat tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Dukungan psikologis dari teman dan masyarakat membuat Mawar sehat kembali. Banyak “Mawar-Mawar” yang lain dan sering kita jumpai di dalam masyarakat, apakah kita peduli dengan mereka atau justru kita menjauhi mereka?
Melibatkan Odha di dalam kegiatan sosial masyarakat akan dapat meminimalisir diskriminasi yang ada di masyarakat. Sudah seharusnya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mulai memikirkan kesehatan psikologis Odha terutama di masyarakat yang tidak paham dengan isu HIV/AIDS.
Di dalam kehidupan seorang Odha, dia memiliki dua pilihan yaitu dengan menutup diri atau membuka status HIV-nya. Kedua hal tersebut menjadi dilema bagi mereka. Kita berharap di Pernas AIDS V Makassar 2015 dibahas pemantapan psikologis Odha. Hal ini bertujuan agar tidak muncul lagi diskriminasi-diskriminasi yang baru.
Batang dan durinya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menikmati harumnya bunga mawar. Salam. *
Ilustasi (Repro: www.marksdailyapple.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H