Mohon tunggu...
Nadia Ananda Putri
Nadia Ananda Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Hobi saya menyanyi, bermain peran, menari. Saya memiliki ketertarikan mengenai pola pikir manusia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Konselor Baik-Baik Saja? Konselor: Apakah Aku Sudah Siap?

4 Desember 2022   09:50 Diperbarui: 4 Desember 2022   09:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Halo, sahabat kompasiana di mana pun kalian berada!

Salam hangat dari Saya, semoga kalian selalu diberkahi kesehatan dan kebahagaiaan.

Jika kalian mendengar kata konselor, kiranya apa yang terlintas dalam pikiran kalian?

Konselor adalah seorang ahli yang bertugas untuk membantu orang lain (yang dalam hal ini disebut konseli) untuk mengembangkan diri sehingga dapat mengambil keputusan bijak guna menyelesaikan permasalahannya secara mandiri. Tentunya menjadi konselor ini tidak semudah yang diperkirakan. Menjadi konselor haruslah memiliki syarat dan ketentuan yang mengikat. Mulai dari kepribadian, pengetahuan, cara berkomunikasi dan lain sebagainya. Sangat menarik, bukan?

Tapi, bukan itu yang ingin Saya diskusikan kali ini. Pernahkah kalian mendengar bahwa Konselor yang kompeten harus memiliki tingkat pengenalan diri yang baik pada diri sendiri serta memiliki rasa empati yang tinggi? Saya adalah termasuk orang yang setuju dengan pernyataan ini. Jika tidak mengerti dengan diri sendiri dan tidak memiliki rasa empati yang tinggi, bagaimana seorang konselor bisa mengerti dan berempati kepada konselinya? Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa keadaan Konseli, baik perasaan maupun mentalnya benar-benar harus dipahami agar seorang konselor dapat membantu permasalahan yang dimiliki oleh konseli. Lalu seketika muncul pertanyaan dalam diri Saya, jika kondisi Konseli sangat berpengaruh pada proses konseling, lalu bagaimana dengan keadaan Konselor? Apakah kondisi dan mental seorang konselor disini merupakan sesuatu hal yang 'biasa saja'?

Bukan suatu hal yang baru jika dalam keseharian banyak stigma buruk yang mengarah pada konselor atau yang sering ditemukan disini adalah guru BK. Entah polisi sekolah atau sebutan buruk lainnya. Di sisi lain juga terdapat kesalahpahaman yang disematkan pada konselor sekolah khususnya, yaitu petugas administrasi hingga petugas tata tertib. Dimana semua hal yang telah disebutkan itu tidak sesuai dengan tugas guru BK sesungguhnya. Bahkan ketika semua stigma di atas telah disebutkan ada sebutan lain seperti 'Guru BK tidak bekerja', 'Guru BK makan gaji buta' dan lain sebagainya. Saat mendengar stigma ini, bagaimana ya perasaan mereka?

Mari kembalikan pertanyaan ini pada diri kita. Bukankah kita tidak menyenangi stigma buruk yang disematkan pada diri kita? Apalagi stigma tersebut belum tentu sesuatu yang benar. Begitu juga dengan para konselor. Saya yakin mereka adalah seorang manusia biasa yang bisa merasakan ketidaknyamanan saat sesuatu buruk tersemat pada nama mereka. Dan tentunya ketidaknyamanan ini berpotensi mengganggu aktivitas mereka sehari-hari. Meski seseorang sudah memiliki sertifikasi profesi konselor dan sudah pasti memiliki manajemen masalah yang baik, itu bukan berarti mengubah fitrah yang ada diri mereka sebagai seorang manusia. Sama seperti manusia lainnya, konselor juga memiliki batas dalam dirinya. Seseorang bisa berada dalam titik terendah dalam hidup, dan menjadi suatu hal yang normal jika mereka butuh waktu untuk menyelesaikannya atau sekedar menenangkan diri.

Selanjutnya mengenai tugas-tugas yang seharusnya tidak diberikan atau dilakukan oleh konselor, seperti yang sudah disebutkan di atas seperti tugas administrasi dan petugas tata tertib. Mungkin terlihat sepele dan banyak orang yang mewajarkan hal tersebut, tetapi jika dilihat dari Permendiknas Nomor 39 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa beban mengajar  guru BK/Konselor paling sedikit 150 peserta didik per tahun dalam satu satutan pendidikan maka hal ini jelas akan mempersulit konselor/Guru BK. Bukan suatu hal yang mudah untuk menangani 150 peserta didik dalam selama satu tahun. Semua peserta disik pasti memiliki latar belakang dan permasalahan masing-masing, dimana hal tersebut memiliki cara penanganan dan metode pendekatan yang beragam. Ditambah dengan permasalahan pribadi yang juga harus diperhatikan oleh masing-masing konselor. Dari sini apakah sudah terlihat bagaimana kompleksnya tugas seorang konselor?

Saya tidak bermaksud untuk membela konselor, merendahkan kemampuan mereka, atau bahkan menyalahkan keadaan. Saya hanya mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada kenyataannya namun seringkali dihiraukan oleh kebanyakan orang. Masalah keadaan, Saya turut prihatin karena masih banyak sekolah yang menerapkan beberapa kekeliruan untuk tugas konselor sendiri. Tidak dipungkiri hal ini terjadi karena beberapa hal, seperti kurangnya tenaga pendidik, adanya kesalahan persepsi mengenai profesi konselor, dan lain sebagainya. Dan tentunya semua hal yang telah disebutkan tadi sangat berpengaruh pada kondisi mental konselor.

Lalu mengapa jika berdampak pada kondisi mental seorang konselor? Apakah itu berpengaruh pada pelaksanaan konseling?

Sangat berpengaruh. Mengapa? Seorang konselor bertugas untuk membantu konseli dalam menemukan pemecahan masalah yang dialaminya. Salah satu caranya yaitu dengan mendengarkan secara aktif dan ikut merenungkan serta menganalisis masalah yang dialami oleh konseli. Hal tersebut jelas melibatkan pikiran serta perasaan konselor dalam proses empati dan refleksi kasus. Namun, apa yang terjadi jika konselor tidak fokus dalam pelaksanaan konseling dikarenakan Konselor sedang berada di titik terendahnya? Bukankah cara berpikir dan analisis konselor akan terganggu dengan adanya komplikasi pada otak dikarenakan masalah yang dialaminya?

Hal tersebut bukan berarti seorang konselor ini tidak kompeten. Sekali lagi hal tersebut adalah hal normal yang sering terjadi pada manusi dan tidak terkecuali pada seorang konselor. Seorang konselor yang baik adalah konselor yang dapat mengenal dirinya sendiri dengan baik. Maka, konselor harusnya mengerti keadaan dirinya sendiri, apakah hari ini aku siap atau tidak untuk memberika bantuan? Apakah aku baik-baik saja dengan keadaanku hari ini? dengan begitu konselor akan dapat mengkomunikasikan mengenai kesiapan dirinya kepada konseli. Dan bisa melakukan alih tangan dengan mengarahkan konseli kepada konselor lain yang bersedia dan siap serta mampu membantu konseli, tentunya dengan persetujuan konseli.

Dan untuk para konseli, diharapkan kalian juga mengerti bahwa konselor sama seperti kalian, sama-sama manusia yang memiliki batas, dimana mereka juga butuh waktu dan ruang untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi, ketika konselor mengatakan bahwa konselor tidak bisa menerima permintaan bantuan yang kita ajukan, maka sebaiknya kita menghargai keputusan tersebut. bukan berarti jika konselor menolak artinya konselor tidak menyukai konseli atau alasan buruk lainnya. Jadi, jika kita memiliki masalah yang harus diselesaikan saat itu, maka akan lebih baik jika kita meminta bantuan kepada orang lain. Atau memang jika tidak nyaman dengan orang lain, maka kita harus menunggu kesediaan konselor untuk menerima bantuan kembali.

Dari pemaparan yang telah disebutkan di atas, kondisi mental dari kedua pihak antara konselor dan konseli itu sama-sama penting. Karena dalam proses konseling, kondisi mental ini terlibat secara langsung sehingga mempengaruhi kefektifan konseling. Dan selebihnya, aku berharap kita semua menjadi orang-orang yang lebih peduli pada sesama. Entah sebagai konselor maupun konseli. Kita semua manusia biasa yang memiliki batas kewajaran dan tugas kita hanya selalu berusaha dan belajar untuk bertahan dalam kondisi apapun.

Stay Safe semuanya, Saya kira sampai disini diskusi kita kali ini. sekali lagi, saya bukan siapa-siapa yang bisa memberikan pengetahuan yang relevan, Saya disini hanya berusaha untuk menyampaikan apa yang saya temukan di sekitar saya. Sekiranya ada kata-kata atau pendapat saya yang kurang berkenan di hati kalian, Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sampai jumpa di lain waktu,

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun