“Aku ingin berbicara banyak padamu,” kata lelaki disampingku membuka percakapan setelah sekian waktu hening.
“Kau tau, sudah lima tahun kita bersama, semuanya terlewati. Aku tak pernah menyakitimu. Tak pernah mendua apapun godaan di luar sana. Aku yang menjagamu ketika kamu sehat ataupun sakit,”
Aku menoleh untuk memandangnya,”Lalu?”
“Lalu, aku ingin menikahimu segera. Dengarkan aku, saat aku meninggalkanmu, aku tak sungguh-sungguh melakukannya. Itu kesalahanku, tapi itu yang pertama dan terakhir kalinya.”
Aku mendadak tergugu dan beku. Keheningan kembali menjadi lagu.
“Jadi, apakah kamu siap jadi istriku?”
Aku masih hening dalam lamunan.
“Begini, jika kamu masih terluka, santai saja. Kita hadapi semuanya bersama. Jangan khawatir, aku tak akan meninggalkanmu apapun yang akan terjadi nanti. Bagaimana ?”
“Aku masih ... tidak percaya,” akhirnya bibirku mampu mengucapkan kata
“Kau mencintainya ? Masih ?” dia mencari manik mataku, mencari kebenarannya sendiri. Lalu bahunya sudah memeluk tubuhku erat.
“Kau tau, kadang masalah yang kita hadapi adalah hal yang klise. Orang yang kita cintai berbeda dengan orang yang mencintai kita, begitu misalnya.”
“Tapi perasaanku padamu tak pernah berubah. Aku selalu menyayangimu,” imbuhnya lagi
Mataku basah karena air mata.
“I love you more. I love you, so much,” dan aku eratkan pelukanku padanya.
“Jadi, maukah kamu menjadi istri dari seorang petani yang hidupnya di desa ? yang tidak pintar dan tidak open minded seperti katamu ?”
Aku hanya mengangguk dua kali, tapi aku belum pernah merasa seyakin ini sebelumnya.
“kamu tau gak, Mas ?” kataku pada akhirnya
“Apa ?”
“Orang yang pinter dan open minded itu penting, dan aku selalu suka berada di sekitar mereka. Nyatanya, aku tidak butuh orang seperti itu. Materi itu penting, ternyata kita bisa nyari itu berdua nanti. Tapi, orang yang setia sama kita apapun keadaannya, akan selalu membuat kita nyaman. Maaf aku terlambat menyadarinya,”
“Ternyata aku perlu kehilangan kamu biar aku bisa menurunkan egoku. Dengan segala kemampuanku, aku akan selalu membahagiakan kamu, aku janji. Dan, aku suka wangi ini,”
“Wangi ? Wangi apa ?” aku menarik diriku menjauh dari pelukannya untuk mencari harum yang dimaksud, yang saat itu juga langsung ditahannya.
“Hei, jangan dilepas. Aku suka wangimu, yang asli. Yang belum mandi,” katanya
Dan kita tertawa bersama.
“Aku pengen makan oseng-oseng bekicot, Mas. Beliin,” pintaku manja.
“Yaudah yuk, siap-siap. Kamu makan yang banyak ya. Setelah itu kita bicarain soal pernikahan kita,”
“Oke, aku mandi dulu,”
“Eh, Dek. Apa kamu bahagia ?”
“Aku bahagia,”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H