Pulau Dokdo atau Takeshima merupakan pulau tandus dan tak berpenghuni yang berada di antara negara Korea Selatan dan Jepang. Meskipun kondisi pulau ini tandus, tetapi di dalamnya menyimpan kekayaan laut yang melimpah dan gas hydrat. Oleh karena itu, kedua negara mengklaim pulau tersebut sebagai wilayahnya hingga menimbulkan konflik antara kedua negara.
Konflik yang terjadi antara Jepang dan Korea mengenai sengketa Pulau Dokdo ini dimulai ketika Jepang berhasil mendapat izin untuk melakukan operasi militer secara hukum di Korea pada tahun 1904 dengan mendesak presiden Korea menandatangani Protectorate of Japan Over Korea.Â
Kemudian, pada 22 Februari1905 Jepang mengambil alih Pulau Dokdo secara diam-diam dan memberi nama Pulau tersebut Pulau  Takeshima. Awalnya hal ini dilakukan Jepang atas keinginan nelayannya agar pulau tersebut dimasukkan dalam wilayahnya karena banyak nelayan Jepang yang menangkap singa laut di perairan sekitar Pulau Dokdo atau Takeshima.Â
Akhirnya hal ini terungkap pada tahun 1906, yang menyebabkan penentangan dari Korea. Akan tetapi, karena Korea masih berada di bawah kekuasaan Jepang dan tidak memiliki Menteri Luar Negeri, maka Korea tidak bisa berbuat apa-apa hingga tahun 1945 (Maulidya, 2022)
Jepang yang menyerah pada sekutu dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, mengakibatkan merdekanya Korea yang kemudian disusul dengan pecahnya Korea. Kekalahan tersebut juga membuat Jepang harus megembalikan wilayah jajahannya kepada pemiliknya termasuk wilayah Korea.Â
Hal ini tertuang dalam pasal 2 Perjanjian San Fransisco 1951 yang memuat pernyatakan bahwa kemerdekaan korea diakui Jepang serta Jepang akan mengembalikan wilayah Korea termasuk Pulau Daglet (Jejudo, Geomudo, dan ullengdo), Quelpart, dan Port Hamilton (Setiawati et al., 2019).
Ketegangan antara Korea Selatan dan Jepang, akhirnya mulai dapat diredam pada tanggal 12 Desember 1956, setelah penandatangan Treaty on Basic Relation (Traktat Hubungan Dasar) di Tokyo sebagai awal hubungan Kerjasama politik Jepang dan Korea Selatan serta Jepang mengakui berdirinya Korea Selatan (Gemilang, 2019).Â
Pada tahun 2005, Jepang menetapkan Pulau Dokdo sebagai bagian dari Perfektur Shimane dan menetapkan 22 Februari sebagai "Takeshima Day" oleh Jepang karena tepat di tanggal tersebut Jepang mendapatkan dan menamai Pulau Dokdo dengan nama Pulau Takeshima. Klaim baru Jepang tersebut membuat hubungan kedua negara kembali tegang.
Pada tahun 2006, Korea Selatan mulai menunjukkan sikap tegasnya pada Jepang degan mengancam jika Jepang masih melakukan rencana survei maritim di Pulau Dokdo maka, Korea Selatan akan mengirim 20 kapal Meriam kepada Jepang.Â
Selain itu, special statement diberikan oleh presiden Korea, Roo-Moo-Hyung dan mendesak Jepang untuk menerapkan permintaan maafnya dalam sebuah Tindakan nyata atas kolonisasi yang telah dilakukan di Korea.Â
Setelah peristiwa tersebut, sebuah organisasi di bawah The Korea Institute of Geoscience & Mineral Resource, mengadakan pengeboran di cekungan Ulleung dengan tujuan menemukan potensi kekayaan alam Pulau Dokdo (Maulidya, 2022).
Hasil penelitian tersebut diumumkan pada tahun 2007, dengan hasil penemuan adanya gas hydrat di daerah sekitar Cekungan Ulleng Laut Jepang dengan jumlah sekitar 600 ton.Â
Setelah penemuan tersebut, Jepang lebih mempertegas kepemilikannya dengan memasukkan informasi mengenai Pulau Takeshima pada kurikulum sekolah menengah di Jepang tahun 2008 agar siswa Jepang mengetahui bahwa Pulau Takeshima milik Jepang dan tidak seharusnya pulau tersebut diklaim negara lain.Â
Di tahun tersebut, Pemerintahan Jepang juga mengeluarkan brosur yang berisi uraian tentang sengketa Takeshima serta klaim Jepang terhadap pulau tersebut dengan judul "10 Issue of Takeshima" (Setiawati et al., 2019).
Pada 2011, Korea Selatan kedatangan tiga anggota Partai Demokrat Liberal Konvertatif Jepang dan ingin menuju Museum Dokdo di Pulau Ulleungdo dengan tujuan mencari pengetahuan mengenai klaim Korea Selatan atas Pulau Dokdo, tetapi setelah tiba di bandara Gimpo Seul mereka tidak diizinkan keluar demi keselamatannya karena sejumlah warga sipil Korea yang menentang klaim Jepang atas Pulau Dokdo telah menunggu dengan tiga peti mati.Â
Kemudian pada 2012, tepatnya pada 15 Agustus, Korea Selatan kembali menunjukkan taringnya pada Jepang dengan tindakan Presiden Korea Selatan dan anggota Parlemen Komite Pertahanan Nasional mengunjungi Pulau Dokdo yang kembali memicu kemarahan Jepang (Maulidya, 2022).
Pada tanggal 25 Januari 2018, Jepang meresmikan klaim barunya atas Pulau Dokdo sebagai pulau milik teritorialnya pada Buku Putih Jepang Tahun 2018 di Museum Nasional Teritorial dan Kedaulatan di Kota Tokyo yang kemudian kembali menyulut amarah Korea Selatan. Hingga tahun 2018, konflik ini tak kunjung berakhir (Lisbet, 2019). Ada beberapa dasar yang dijadikan kedua negara untuk mengklaim Pulau Dokdo sebagai wilayahnya yaitu :
Dasar klaim yang digunakan Jepang:
- Pernyataan dalam pasal 2 Perjanjian San Fransisco 1951 yaitu Jepang akan mengakui kemerdekaan Korea dan akan mengembalikan hak kepemilikan serta klaim atas Korea termasuk Pulau Duelpart, Degelet, dan Port Hamilton sehingga Pulau Dokdo diakui oleh Jepang sebagai wilayah teritorialnya.
- Perjanjian Aneksasi atas Semenanjung Korea pada 1910, setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut, wilayah Semenanjung Korea resmi menjadi wilayah koloni Jepang, tetapi tidak untuk Pulau Dokdo karena bukan termasuk wilayah Semenanjung Korea sehingga dianggap tidak ada pemiliknya oleh Jepang. Oleh sebab itu, Jepang menduduki pulau tersebut sampai 22 Februari 1905 dan Pulau Dokdo disebut sebagai Pulau Takeshima setelah Jepang memasukkan pulau tersebut dalam Prefektur Shimane (Syafitri & Purba, 2013).
Dasar Klaim yang digunakan Korea Selatan:
- Berdasarkan fakta sejarah dari beberapa dokumentasi pemerintah Korea Selatan yang menyatakan bahwa Dokdo merupakan pulau yang tak berpenghuni (wilayah Ussanguk), dimana sejak awal abad ke-6 atau 512 SM pulau tersebut sudah menjadi sasaran Dinasti Silla. Hal ini tertulis dalam The Annals of The Kingdom of Shilla bahwa waktumerupakan salah satu  itu, Pulau Dokdo dan Ulleungdo telah ditakhlukkan oleh kekuasaan Dinasti Silla.
- Berdasarkan SCAPIN No. 677 tahun 1946, yang menyatakan bahwa Pulau Dokdo merupakan salah satu wilayah yang harus dikembalikan Jepang atas kolonisasinya di Korea Selatan, dimana pulau tersebut masuk dalam 2 pulau lainnya yaitu Pulau Cheju dan Ullung. Selain itu, Pulau Dokdo juga berada di luar kontrol administrasi Jepang.
- Berdasarkan SCAPIN No. 1033, yang menyatakan bahwa Jepang dilarang mengeksploitasi sumber daya laut dekat Kepulauan Liancout Rocks (Pulau Dokdo) (Setiawati et al., 2019)
Upaya penyelesaian sengketa Pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang
- Melalui negosiasi, dimana pada April 2006, setelah Jepang mengumumkan akan melakukan riset ilmiah di sekitar perairan Pulau Dokdo untuk meneliti kondisi geografis bawah laut di Jepang, menimbulkan ketegangan hubungan kedua negara tersebut dan akhirnya kedua negara setuju untuk melakukan negosiasi untuk meyelesaikan sengketa itu tetapi berakhir sia-sia tanpa penyelesaian dan hanya menghasilkan keputusan jika riset ilmiah akan dilakukan bersama kedua negara.
- Tahun 2006, tepatnya bulan Juni, perundingan kembali terjadi antara Korea Selatan dan Jepang mengenai delimitasi ZEE kedua negara sebagai lanjutan dari perjanjian perikanan pada 1998 yang menetapkan zona perikanan masing-masing negara sejauh 35 mil laut. Jepang menggunakan Pulau Dokdo sebagai titik pangkal penarikan garis batas wilayah lautnya dan Korea Selatan menggunakan Pulau Ulleungdo sebagai titik pangkalnya. Akan tetapi, Korea Selatan tidak mengakui bahwa titik pangkal Jepang berada di Pulau Dokdo karena Korea Selatan pada saat itu menyatakan diri bebas dari prosedur wajib UNLOS sebagai penyelesaian sengketa pada tahun 2006.
- Jepang membawa permasalahan mengenai sengketa Pulau Dokdo ke Mahkamah Internasional pada tahun 1954, 1962, dan 2012 tetapi selalu mendapat penolakan dari Korea Selatan (Syafitri & Purba, 2013).
Dampak konflik Korea Selatan dan Jepang akibat sengketa Pulau Dokdo
- Terputusnya perjanjjian Cerrency Swap pada tahun 2015 sebagai penolakan aktivitas politik kedua negara sebagai akibat sengketa Pulau Dokdo. Yang mana perjanjian ini  ditandatangani pada tahun 2001 di bawah Chiang Mai Initatives sebagai Kerjasama ekonomi antara Jepang dan Korea Selatan.
- Munculnya masyarakat anti Korea Selatan dan anti Jepang di kedua negara akibat propaganda yang dilakukan oleh Korea Selatan (seperti membuat brosur atau poster mengenai Pulau Dokdo yang disebar luaskan di tempat umum agar masyarakat Korea Selatan ingat bahwa Dokdo merupakan wilayahnya) dan Jepang (seperti memasukkan informasi mengenai Pulau Dokdo dalam kurikulum pendidikan tahun 2008). Â
- Pelarangan pemain sepak bola Korea Selatan naik podium untuk mendapat mendali perunggu pada Olimpiade London 2012 cabang sepak bola berdasarkan keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) (Setiawati et al., 2019).
- Terhambatnya perkembangan Hallyu di Jepang (Gemilang, 2019)
Rujukan:
- Gemilang, A. T. (2019). Dampak Sengketa Pulau Dokdo/Takeshima Korea Selatan-Jepang Terhadap Perkembangan Hallyu di Jepang. Global Political Studies Journal, 3(1), 32-51
- Lisbet. (2019). Ketegangan Hubungan Jepang-Korea Selatan dan Implikasinya. Bidang Hukum Internasional: Info Singkat, 11(14), 7-12
- Maulidya, A.D. (2022). Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pulau Takeshima/Dokdo Melalui Jalur Non-Yuridis. Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 5(1), 70-88
- Setiawati, N., Mangku, G.S., & Yuliartini, N. P.R. (2019). Penyelesaian Sengketa Kepulauan Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus Sengketa Perebutan Pulau Dokdo Antara Jepang-Korea Selatan). E-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum, 2(3), 168-180
- Syafitri, U.G., & Purba, D. (2013). Sengketa Pulau Dokdo Antara Jepang dan Korea Selatan. Journal of Internasional Law, 1(2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H