Selain itu, special statement diberikan oleh presiden Korea, Roo-Moo-Hyung dan mendesak Jepang untuk menerapkan permintaan maafnya dalam sebuah Tindakan nyata atas kolonisasi yang telah dilakukan di Korea.Â
Setelah peristiwa tersebut, sebuah organisasi di bawah The Korea Institute of Geoscience & Mineral Resource, mengadakan pengeboran di cekungan Ulleung dengan tujuan menemukan potensi kekayaan alam Pulau Dokdo (Maulidya, 2022).
Hasil penelitian tersebut diumumkan pada tahun 2007, dengan hasil penemuan adanya gas hydrat di daerah sekitar Cekungan Ulleng Laut Jepang dengan jumlah sekitar 600 ton.Â
Setelah penemuan tersebut, Jepang lebih mempertegas kepemilikannya dengan memasukkan informasi mengenai Pulau Takeshima pada kurikulum sekolah menengah di Jepang tahun 2008 agar siswa Jepang mengetahui bahwa Pulau Takeshima milik Jepang dan tidak seharusnya pulau tersebut diklaim negara lain.Â
Di tahun tersebut, Pemerintahan Jepang juga mengeluarkan brosur yang berisi uraian tentang sengketa Takeshima serta klaim Jepang terhadap pulau tersebut dengan judul "10 Issue of Takeshima" (Setiawati et al., 2019).
Pada 2011, Korea Selatan kedatangan tiga anggota Partai Demokrat Liberal Konvertatif Jepang dan ingin menuju Museum Dokdo di Pulau Ulleungdo dengan tujuan mencari pengetahuan mengenai klaim Korea Selatan atas Pulau Dokdo, tetapi setelah tiba di bandara Gimpo Seul mereka tidak diizinkan keluar demi keselamatannya karena sejumlah warga sipil Korea yang menentang klaim Jepang atas Pulau Dokdo telah menunggu dengan tiga peti mati.Â
Kemudian pada 2012, tepatnya pada 15 Agustus, Korea Selatan kembali menunjukkan taringnya pada Jepang dengan tindakan Presiden Korea Selatan dan anggota Parlemen Komite Pertahanan Nasional mengunjungi Pulau Dokdo yang kembali memicu kemarahan Jepang (Maulidya, 2022).
Pada tanggal 25 Januari 2018, Jepang meresmikan klaim barunya atas Pulau Dokdo sebagai pulau milik teritorialnya pada Buku Putih Jepang Tahun 2018 di Museum Nasional Teritorial dan Kedaulatan di Kota Tokyo yang kemudian kembali menyulut amarah Korea Selatan. Hingga tahun 2018, konflik ini tak kunjung berakhir (Lisbet, 2019). Ada beberapa dasar yang dijadikan kedua negara untuk mengklaim Pulau Dokdo sebagai wilayahnya yaitu :
Dasar klaim yang digunakan Jepang:
- Pernyataan dalam pasal 2 Perjanjian San Fransisco 1951 yaitu Jepang akan mengakui kemerdekaan Korea dan akan mengembalikan hak kepemilikan serta klaim atas Korea termasuk Pulau Duelpart, Degelet, dan Port Hamilton sehingga Pulau Dokdo diakui oleh Jepang sebagai wilayah teritorialnya.
- Perjanjian Aneksasi atas Semenanjung Korea pada 1910, setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut, wilayah Semenanjung Korea resmi menjadi wilayah koloni Jepang, tetapi tidak untuk Pulau Dokdo karena bukan termasuk wilayah Semenanjung Korea sehingga dianggap tidak ada pemiliknya oleh Jepang. Oleh sebab itu, Jepang menduduki pulau tersebut sampai 22 Februari 1905 dan Pulau Dokdo disebut sebagai Pulau Takeshima setelah Jepang memasukkan pulau tersebut dalam Prefektur Shimane (Syafitri & Purba, 2013).
Dasar Klaim yang digunakan Korea Selatan:
- Berdasarkan fakta sejarah dari beberapa dokumentasi pemerintah Korea Selatan yang menyatakan bahwa Dokdo merupakan pulau yang tak berpenghuni (wilayah Ussanguk), dimana sejak awal abad ke-6 atau 512 SM pulau tersebut sudah menjadi sasaran Dinasti Silla. Hal ini tertulis dalam The Annals of The Kingdom of Shilla bahwa waktumerupakan salah satu  itu, Pulau Dokdo dan Ulleungdo telah ditakhlukkan oleh kekuasaan Dinasti Silla.
- Berdasarkan SCAPIN No. 677 tahun 1946, yang menyatakan bahwa Pulau Dokdo merupakan salah satu wilayah yang harus dikembalikan Jepang atas kolonisasinya di Korea Selatan, dimana pulau tersebut masuk dalam 2 pulau lainnya yaitu Pulau Cheju dan Ullung. Selain itu, Pulau Dokdo juga berada di luar kontrol administrasi Jepang.
- Berdasarkan SCAPIN No. 1033, yang menyatakan bahwa Jepang dilarang mengeksploitasi sumber daya laut dekat Kepulauan Liancout Rocks (Pulau Dokdo) (Setiawati et al., 2019)
Upaya penyelesaian sengketa Pulau Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang
- Melalui negosiasi, dimana pada April 2006, setelah Jepang mengumumkan akan melakukan riset ilmiah di sekitar perairan Pulau Dokdo untuk meneliti kondisi geografis bawah laut di Jepang, menimbulkan ketegangan hubungan kedua negara tersebut dan akhirnya kedua negara setuju untuk melakukan negosiasi untuk meyelesaikan sengketa itu tetapi berakhir sia-sia tanpa penyelesaian dan hanya menghasilkan keputusan jika riset ilmiah akan dilakukan bersama kedua negara.
- Tahun 2006, tepatnya bulan Juni, perundingan kembali terjadi antara Korea Selatan dan Jepang mengenai delimitasi ZEE kedua negara sebagai lanjutan dari perjanjian perikanan pada 1998 yang menetapkan zona perikanan masing-masing negara sejauh 35 mil laut. Jepang menggunakan Pulau Dokdo sebagai titik pangkal penarikan garis batas wilayah lautnya dan Korea Selatan menggunakan Pulau Ulleungdo sebagai titik pangkalnya. Akan tetapi, Korea Selatan tidak mengakui bahwa titik pangkal Jepang berada di Pulau Dokdo karena Korea Selatan pada saat itu menyatakan diri bebas dari prosedur wajib UNLOS sebagai penyelesaian sengketa pada tahun 2006.
- Jepang membawa permasalahan mengenai sengketa Pulau Dokdo ke Mahkamah Internasional pada tahun 1954, 1962, dan 2012 tetapi selalu mendapat penolakan dari Korea Selatan (Syafitri & Purba, 2013).