"Assalamualaikum, Ibu"
"Waalaimumussalam, Nak. Sudah pulang rupanya, sana makan dulu habis itu bantu Ibu ya jual gorengan ini!", perintah Ibu. Dari dulu aku tidak bisa menolak permintaan Ibu, selelah apapun aku, sesibuk apapun aku, pasti aku usahakan untuk tidak mengabaikan permintaan Ibu.
Selesai aku makan dan mandi, Ibu sudah mempersiapkan beberapa gorengan yang akan aku jual keliling, aku tidak malu bahkan ini sudah menjadi kebiasaan. Kadang tak sedikit anak-anak meledekku sebab jual gorengan diutamakan tapi tidak masuk sekolah, mereka tidak tahu apa yang aku kerjakan selama bolos, aku hanya ingin membantu yang susah dalam keluargaku, lebih-lebih Ibu sendiri. Ayah dan Ibu berpisah ketika aku berusia 4 tahun, dan aku masih ingat saat aku menangis, merengek minta digendong ayah karena yang kulihat waktu itu ayah mengangkut barang-barangnya dari rumah, sebenarnya aku belum paham apa yang terjadi, namun naluri anak akan mengerti apa yang terjadi antara Ayah dan Ibunya. Sampai saat ini, kenangan aku kecil, hanya itu yang melekat.
. . .
"Gorengan-gorengan....."
"1000 an, mari dibeli-dibeli"
"Gladis, masih hanget gak gorengannya??". Tanya salah satu warga
"Masih Ibu", teriakku
"Sini nak, ibu lagi pengen gorengan".
Tak lupa aku bersyukur atas kemudahan dalam mencari rezeki meskipun hanya sedikit dan cukup untuk makan.
"Gladis, apa kamu tidak lelah tiap hari sepulang sekolah harus menjual gorengan seperti ini?", tanyanya.