Sebagai program studi yang ingin terus berinovasi, tentu saja Program Studi Ahwal Syakhsiyah (AS) di SETIA WS masih memerlukan pembenahan diri, dan masih memerlukan acuan terhadap komponen-komponennya. Untuk itu, SETIA WS mengadakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) sekaligus bersilaturrahim ke DESA ADAT PANGLIPURAN KABUPATEN BANGLI BALI.
Agar mahasiswa mengetahuhi lebih mendalam mengenai kegiatan akademis di program studi yang bersangkutan, serta sarana prasarana yang dibutuhkan mahasiswa dan dosen dalam kegiatan belajar mengajar, membantu mahasiswa dan dosen mengenai sistematika dan acuan penulisan skripsi secara langsung mengenai tinjauan kepustakaan, mengajak mahasiswa untuk terlibat langsung dalam kegiatan perkuliahan melalui kuliah umum, diskusi dan pengenalan kegiatan kampus lainnya. Hal ini nantinya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas alumni dan akreditasi program studi yang berpatok pada hal-hal di atas. Pesatnya persaingan kerja dan kebutuhan tenaga kerja mayoritas di lihat dari akreditasi program studi yang bersangkutan tersebut, sehingga dapat di simpulkan KKL dapat membantu mepercepat proses tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana profil desa Panglipuran?
Apa fungsi dan peran Ketua adat di Desa Panglipuran?
Bagaimana pengangkatan dan mekanisme serta syarat-syarat untuk menjadi ketua adat didesa panglipuran?
Bagaimana pelaksanaan perkawinan di desa Panglipuran?
TUJUAN PENULISAN
Mengetahui profil desa Panglipuran
Mengidentifikasi aplikasi dan implementasi peraturan hukum adat oleh Ketua adat atau bandesa terkait dengan perkawinan.
Menganalisa hasil dari pengumpulan data yang telah diperoleh didesa adat panglipuran sehingga dapat menidentifikasikan aplikasi dan implementasi peraturan hukum adat oleh ketua adat mengenai perkawinan adat.
PEMBAHASAN
Profil Desa Panglipuran
Nama Desa: Panglipuran
Kecamatan: Bangli
Kabupaten: Bangli
Provinsi: Bali
Luas wilayah: 112 hektar
Wilayah pertanian: 50 hektar
Hutan bambu: 45 hektar
Hutan kayu: 4 hektar
Pemukiman: 9 hektar
Tempat suci: 4 hektar
Ketinggian 500-625 meter di atas permukaan laut
Suhu udara : 18 -- 32 derajat celcius
Desa Penglipuran terletak pada koordinati 08 08 30' - 08 32 07' Lintang Selatan dan 115 13 43'- 115 27 24' Bujur Timur
Batas wilayah Desa Penglipuran di sebelah timur desa adat Kubu, di sebelah selatan Desa Adat Gunaksa, di sebelah Desa Adat Cekeng, dan di sebelah utara Desa Adat Kayang.
MOTTO
BERWAWASAN LINGKUNGAN MENJADI KEBANGGAAN UNTUK BERSAMA-SAMA MENJAGA DAN MELESTARIKAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN
Fungsi dan peran ketua adat di desa Panglipuran
Di dalam desa adat Panglipuran, untuk pemimpin adat tidak dikenal dengan sebutan Kepala Desa,  melainkan Ketua Adat atau tetua adat. Jika menggunakan istilah sebutan Kepala Desa maka gaya kepemimpinannya akan beda, jika kepala lebih otoriter dalam menjalankan roda pemerintahan, akan tetapi jika Ketua Adat dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengikuti kehendak dari warga desanya yang dituangkan dalam aturan -- aturan. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah awig -- awig. Secara garis besar awig -- awig  mengatur hubungan anggota masyarakat adat dalam keyakinannya terhadap tuhan yang maha esa Sanghyang widhi wasa, hubungan antar sesama anggota masyarakat adat dan hubungan anggota masyarakat dengan wilayah dan lingkungannya.
Di desa adat tidak ada yang namanya keputusan ketua adat atau peraturan ketua adat, karena ketua adat tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu aturan. ketua adat merupakan suatu jabatan sosial bukan suatu jabatan politik yang utuh artinya tidak ada suatu kepentingan yang memaksakan kehendak dalam membuat suatu aturan. Di desa adat penglipuran yang mempunyai kewenangan membuat aturan adat adalah warga. Sedangkan  Pemimpin adat tugasnya melakukan pengabdian, melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah di buat dan disepakati dari hasil rapat masyarakat adat setempat.
Secara umum jabatan jabatan dalam Prajuru Desa Adat adalah sebagai  berikut  :
Bendesa Adat atau Kelian Adat sebagai ketua desa adat.
Petajuk Bendesa sebagai wakilnya.
Penyarikan sebagai juru tulis.
Sinoman atau Kesinoman sebagai juru arah.
Jero mangku, mangku desa atau jero gedeuntuk jabatan Pimpinan pelaksana upacara di Pura Kahyangan Desa.
Pekaseh atau Kelian Subak untuk jabatan yang mengurusi pengairan subak.
Desa adat penglipuran memiliki peraturan adat yang berlaku di wilayah adat setempat. Sepanjang itu sudah menjadi keinginan masyarakat adat, tidak boleh ada orang yang intervensi. Jadi warga adat bebas dari intervensi pemerintah lurah, camat sekalipun bupati. Jadi dengan demikian, desa adat ini untuk mencapai keinginannya memiliki aturan-aturan adat yang disebut dengan awig-awig. Karena syarat berdirinya desa adat yang pertama ada unsur tuah, ada catur muka desa yang harus dilengkapi dan dipenuhi, yaitu empat unsur yang harus di penuhi :
Unsur Tuah yaitu perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa, kepercayaan, keyakinan.
Unsur Datuh, Datuh adalah ratu atau pemimpin yakni desa adat memiliki pemimpin.
Memiliki wilayah, namanya pari mandala yakni ada wilayah kerjanya.
Memiliki kraman atau memiliki penduduk.
Memiliki aturan adat yang disebut dengan awig-awig.
Unsur nomor satu sampai dengan empat adalah harus dan ditambah dengan awig-awig. Jadi ada tuah atau memiliki keyakinan akan perlindungan dari Tuhan. Kemudian pari mandala atau wilayah kerja dan datuh atau pemimpin dan kraman ( masyarakat adat). Jangan sampai ada raja tidak punya wilayah kerja, tidak punya penduduk, jadi empat unsur itu harus. Untuk melakukan tugasnya, awig-awig atau aturan adat ini dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana, jadi pandangan hidupnya orang adat, falsafahnya orang adat, misinya orang adat itu adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna Tri berarti tiga itu lalu ada harmoni, damai, bahagia, seimbang, sejahtera yang merupakan makna dari Hita serta Karana itu sendiri memiliki arti sumber penyebabnya. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga sumber yang menyebabkan kita bahagia, damai, sejahtera, dan harmonis di dunia ini yang ingin dicapai, dilaksanakan oleh orang adat.
Lalu untuk mencapai Hita itu sendiri selanjutnya aturan adat akan dibagi menjadi tiga bage atau tiga bagian atau tiga bab. Bab pertama akan membahas bagaimana hubungan harmonis manusia dengan tuhan yang disebut dengan falsafah Parahyangan. Karena sebutan Tuhan orang Hindu adalah Sang Hyang Widhi yaitu falsafah berketuhan yang merupakan syarat pertama desa adat. Dalam hal ini desa adat Penglipuran adalah msayrakat yang beragama Hindhu. Parahyangan disini artinya untuk mencapai suasana damai desa adat memiliki tugas pembentukan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Maka dalam pertemuan dengan yang bukan pemeluk yang sama menyampaikan salam dengan berbagai sebutan karena makna dari salam maupun doa adalah supaya kita selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai macam bahasa atau agamanya masing-masing seperti aum swastiyastu itu bermakna bahwa semoga kita mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Hal ini Aum adalah aksara suci nya Hindhu yang merupakan simbolis dari Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Jadi untuk kita, bukan berdoa untuk diri sendiri meskipun mengucapkan doa nya menggunakan adat Bali. Tidak ada doa yang mendoakan dirinya sendiri, doa itu berdimensi untuk kita semua. Maka itulah sebuah upaya untuk mengharmoniskan diri walaupun berbeda-beda agama, menghargai salam dan agama orang-orang lain. Dengan demikian dalam unsur Parahyangan akan dijabarkan agamanya, tempat ibadah, kemudian hari-hari suci dan lain sebagainya.
Orang Hindhu merupakan masyarakat yang percaya dengan adanya satu Tuhan (Monotheisme). Mungkin bagi sebagian orang tidak paham dan mengetahui apa makna dari yang orang Hindhu laksanakan sehingga banyak yang berpikiran penganut agama Hindhu adalah penganut Polytheisme terlebih lagi Bali dijuluki sebagai Pulau Dewata. Hindhu memiliki banyak sekte atau aliran yang meyebabkan masing-masing aliran atau sekte tersebut menyebut dewa yang berbeda. Sebutan Sang Hyang Widhi berbeda setiap sekte contohnya dalam sekte Brahma dia menyebut dengan Dewa Brahma jadi sebutan Tuhan nya adalah Dewa Brahma, sekte Waisynawa dengan Dewa Wisnu dan lain sebagainya. Tetapi dewa tidak sama dengan Sang Hyang Widhiatau Tuhan.
Dewa berasal dari bahasa sansekerta deep yang artinya sinar suci, dewa yakni sinar suci nya Tuhan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa memang sekte di Hindhu banyak tetapi tetap percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widhi itu sendiri. Dalam kitab suci sutasoma karangan Mpu Tantular di abad 12 sudah ada, sudah diciptakan buku itu disana disebutkan untuk menyatukan sehingga Hindhu bisa terhindar dari konsep chauvinisme dan  sekterian. Disana disebutkan Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangru artinya berbeda-beda sebutan Tuhan tetapi tidak ada Tuhan yang kedua atau banyak. Dharma adalah kebenaran yaitu Tuhan itu sendiri, jadi menyebut Dewa, Wisnu, Siwa, Durga, dan lain-lainnya adalah manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangru. Sehingga penganut Hindhu hidup rukun, damai kembali lagi ke makna Hita yang merupakan keharmonisan karena kita berbeda maka kita harmonis. Secara interndidalamnya masyarakat yang sekte-sekte nya berbeda saling akur, tidak saling gusur, tidak saling hilangkan, tidak saling hina. Secara eksteren makna ini filosfinya pada jaman tersebut tidak mungkin hanya ada agama Hindhu saja
Pengangkatan dan mekanisme serta syarat-syarat untuk menjadi ketua adat di desa penglipuran.
Di desa penglipuran terdapat dua system dalam pemerintahan yaitu menurut system pemerintah atau system formal yaitu terdiri  dari RT dan RW, dan system yang otonom atau desa  adat. Pimpinan tertinggi di desa penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar  I Wayan Supatdan memiliki masa jabatan yang ditentukan .Terhadap tata cara pemilihan kepala adat di desa ini dilakukan dengan pemilihan dan cara pemilihan dilaksanakan secara voting (dijudi) didasarkan atas suara terbanyak. Sebelum dilakukan dengan cara votingmasyarakat adat berhak untuk menunjuk siapapun yang menjadi ketua adat tanpa terkecuali. Calon prajuru atau ketua adat diajukan oleh prajuru adat terdahulu dan prajuru hulu apad, kemudian calon ini dipilih oleh krama adat pengarep yang berjumlah 76 KK. Prajuru tersebut dipilih dari dan oleh krama desa adat dalam suatu rapat (sangkepan). Masa jabatan dari prajuru di Desa Adat Penglipuran adalah lima tahun setelah itu dapat dipilih kembali.
Adapun syarat-syarat agar dapat menduduki suatu jabatan prajuru di Desa adat Penglipuran adalah:
Bertaqwa kepada tuhan YME
Berkelakuan baik.
Mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas secara umum.
Memiliki pengetahuan tentang agama dan adat istiadat setempat.
Dapat hidup bermasyarakat.
Perkawinan dan sanksi poligami di desa adat  panglipuran
Desa ini di Indonesia telah dibentuk hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yakni Undang-Undang No 1 tahun 1974. Â Menurut pasal 2 ayat (1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing -- masing agamanya dan kepercayaanya itu. Yang dimaksud hukum masing -- masing agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang- undang ini (UU No 1 tahun 1974). Dan disamping itu tiap -- tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Â Begitupun dengan pelaksanaan perkawinan yang ada di desa penglipuran kabupaten Bangli. Hanya saja yang membedakan dalam pelaksanaan perkawinan di desa adat penglipuran ini tradisi leluhur nya sangat kental dan wajib dilaksanakan dengan upacara sesuai dengan tradisi adat yang telah dibuat dan di sepakati Bersama serta mewajibkan untuk menghadirkan kepala adat dalam prosesi perkawinan nya.
Menurut hukum desa, setiap pria yang berpoligami harus pindah ke Karang Memadu. "(Pihak) desa akan membangun sebuah gubuk bagi si pelanggar untuk tinggal bersama istrinya," kata Budiarta, pengurus Desa Adat Penglipuran. Meskipun si pelanggar masih boleh berbicara dengan warga desa lainnya, mereka tidak diizinkan melintasi jalan di sisi utara balai kulkul (bangunan tinggi tempat kentongan). Ia hanya boleh melintasi jalan di selatan balai kulkul. Sanksi keras juga diberlakukan dalam bentuk pengucilan adat. Orang yang ngemaduang (poligami), pernikahannya tidak disahkan oleh desa. Upacara pernikahannya tidak diselesaikan oleh Jero Kubayan, pemimpin tertinggi dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Akibatnya, orang itu juga dilarang bersembahyang di pura desa adat. Rupanya, dengan sanksi adat yang begitu keras, tidak ada lelaki di Penglipuran yang berani berpoligami. Lahan di Karang Memadu tersebut masih kosong. Warga menyebut tanah di situ berstatus leteh atau kotor sehingga apa pun yang ditanam di atas tanah Karang Memadu dianggap tidak suci dan tidak bisa digunakan untuk sesaji.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil laporan KKL dapat kami simpulkan bahwa :
Desa penglipuran terdapat dua system dalam pemerintahan yaitu menurut system pemerintah atau system formal yaitu terdiri  dari RT dan RW, dan system yang otonom atau desa  adat. Pimpinan tertinggi di desa penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar  I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang telah ditentukan.
Di desa adat penglipuran memiliki aturan adat mengenai perkawinan yaitu melarang  para lelaki berpoligami atau memiliki istri lebih dari satu. Hal ini merupakan bentuk penghargaan pada wanita dimana wanita harusnya dijunjung dan dihargai bukan untuk di permainkan dan harus dijaga  kesuciannya. Adapun sanksi bagi orang/masyarakat desa penglipuran yang memiliki istri lebih dari satu atau berpoligami yaitu  karang memadu, yaitu tempat lokalisir yang gunanya untuk menempatkan orang yang berpoligami. Dimana di tempat lokalisir tersebut di beri fasilitas namun belum ada yang mau menempati pekarangan tersebut karena beratnya sanksi tersebut. Sanksi tersebut dilakukan bersama istri mudanya.
Aturan adat mengenai perkawinan antara warga penglipuran dan desa adat lainya bisa dilakukan dengan ketentuan bila mempelai laki-laki dari penglipuran maka mempelai perempuan dari desa lain harus masuk menjadi bagian dari desa adat penglipuran. Apabila mempelai perempuan yang dari penglipuran mempelai laki-laki bisa masuk menjadi bagian dari desa penglipuran dengan ketentuan dianggap wanita oleh warga lain.
pria yang berpoligami harus pindah ke Karang Memadu yaitu sebuah gubuk bagi si pelanggar untuk tinggal bersama istrinya. mereka tidak diizinkan melintasi jalan di sisi utara balai kulkul (bangunan tinggi tempat kentongan). Ia hanya boleh melintasi jalan di selatan balai kulkul. Sanksi keras juga diberlakukan dalam bentuk pengucilan adat. Dan pernikahannya tidak di sahkan oleh desa.
Pemilihan prajuru atau ketua adat dilakukan dengan pemilihan atau voting (dijudi) dengan syarat:
Bertaqwa kepada tuhan YME
Berkelakuan baik
Mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas secara umum
Memiliki pengetahuan tentang agama dan adat istiadat setempat
Dapat hidup bermasyarakat.
Kata Penutup
Demikian laporan kegiatan KKL kami Program Studi Ahwal Syakhsiyah (AS) yang telah kami selesaikan. Tentu dalam hal ini masih ada kekurangan dari kami dalam kegiatan tersebut. Kami akan menerima saran dan kritik dari semua pihak demi terwujudnya kegiatan-kegiatan KKL yang lebih baik kedepannya nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Wawancara I Wawan Budiarta
Alit, I. K. (2004). Morfologi pola mukiman adati bali. Jurnal Permukiman Natah, 2(2), 56--107.
Arismayanti, N. K., Ariana, N., Sudana, I. P., Sukana, M., Suwena, I. K., & Rahyuda, I. (2015). Pelatihan Pengemasan Paket "Petasan" (Produk Wisata Pedesaan) Di Desa Wisata Penglipuran Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli Bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata-STP Trisakti, 20(2), 1-- 12. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Arnawa, I. K., Runa, I. W., Astuti2, P. S., Palgunadi, P., Raka, I. D. N., & Martini, L. K. B. (2015). Pengembangan Desa Wisata Bayung Gede Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Bali. Statewide Agricultural Land Use Baseline 2015, 1, 76--83. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Budihardjo, E. (1986). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Ching, D. K. (2008). Arsitektur: Bentuk, Ruang, dan Tatanan Edisi Ketiga. Cetakan I. Terjemahan Hanggan Situmorang. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kompas.com  "Penglipuran, Desa Anti Poligami di Bali "https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q+motto+desa+adat+panglipuran
Kompas.com  "Desa Penglipuran di Bali, Asal-usul dan Desa Wisata"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H