Dari kasus tersebut, Ika didoktrin dan direkrut oleh kelompok yang berada di home country-nya sendiri. Kepercayaan Ika terhadap JAD pun berasal dari pengetahuan yang didapatkannya melalui internet. Hal ini membuktikan bahwa migrasi bukanlah alasan utama yang mendasari aksi teror terjadi.
Meskipun demikian, kasus ini linear dengan konsep Islam fundamentalisme, yang bermuara pada pemahaman bahwa tidak ada sumber yang mutlak dan tidak dapat disangkal kebenarannya dalam menuntun kehidupan manusia di dunia kecuali ajaran agama Islam. JAD pun menggunakan doktrin yang berasal dari al-Qur'an dan Sunnah untuk membenarkan penggunaan kekerasan fisik sebagai bentuk tertinggi dari jihad fisabilillah. Sehingga, mudah bagi Ika untuk percaya dengan apa yang dilihatnya di dunia maya.Â
Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara TKW dengan terorisme. Sebagian besar TKW Indonesia sudah bekerja secara legal dan patuh terhadap hukum dan aturan setempat di negara tempat mereka bekerja, namun apa yang mereka "konsumsi" dan hadapi memang memerlukan pengawasan lebih.
Di Indonesia, selain reaksi dominasi, serangan terorisme dapat dilihat sebagai reaksi atas benturan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lain. Bagi para pelaku teror, ada rasa ketidakadilan bahwa negara ini dieksploitasi oleh kapitalisme global dan penyebaran nilai-nilai Barat yang didominasi oleh kaum Yahudi.Â
Security migration sendiri percaya bahwa pada dasarnya keamanan nasional tidak hanya tentang politik atau militer, tetapi juga tentang masyarakat dan identitas. Buzan (1998) menganalogikannya dengan komunitas X yang dilemahkan oleh masuknya komunitas Y, sehingga komunitas X tidak akan sama seperti dulu lagi dan identitasnya berubah. Perpindahan ini didasari oleh karena alasan, mulai dari kebutuhan ekonomi, tekanan lingkungan, hingga peluang untuk kebebasan beragama.Â
Bagi kaum yang teropresi, mereka umumnya melarikan diri dari kekerasan, bencana alam, konflik bersenjata, atau penganiayaan. TKW Indonesia sendiri mempunyai alasan berupa motif ekonomi, namun seringkali mereka tertipu oleh agen atau penyedia jasa TKW ketika sudah sampai di host county. Mereka terdampar dengan sarana terbatas seolah-olah menjadi beban berat bagi host country tersendiri.Â
Apalagi TKW berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan mungkin tidak memahami bahasa setempat. Sehingga, mereka cenderung mudah untuk diasosiasikan dengan tindakan kriminal atau direkrut sebagai anggota kelompok radikal.
Pada akhirnya, migran perempuan tidak bisa dilepaskan dari terorisme apabila gelombang radikalisme sendiri belum ditekan dengan baik. Pola pikir masyarakat dan pemerintah dalam memarginalisasi kelompok minoritas- termasuk perempuan- akan menjadi "backfire" terhadap masalah-masalah keamanan lainnya.Â
Adapun untuk mencegah terjadinya keterlibatan TKW dalam tindakan terorisme, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan perlu mengeluarkan berbagai kebijakan dan program yang lebih konkrit terkait pelatihan dan pembekalan sebelum keberangkatan, pembinaan selama di luar negeri, dan dukungan bagi TKW yang mengalami kesulitan atau masalah hukum di negara tempat mereka bekerja.Â
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme juga diharapkan memberikan jalan tengah bagi perempuan yang terjerat tipu daya ekstrimisme dan radikalisme, karena pada dasarnya seluruh migran berhak untuk menerima edukasi dan proteksi atas keamanan dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H