Elaborasi luas dari konsep Islam Rahmatan Lil 'Alamin hanya dapat diperoleh dengan memahami makna Islam sebagai agama dan ajaran Al-Qur'an, mengenali gagasan yang kabur tentang Tuhan berdasarkan kapasitas indera kognitif kita yang terbatas, dan hubungannya dengan kesalahpahaman agama secara keseluruhan dan agama Islam pada khususnya.
Ketika berbicara tentang agama, kesamaan dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh mereka yang menganggap dirinya beriman maupun yang tidak percaya kepada Tuhan adalah bahwa jawaban mereka selalu berhubungan dengan gagasan hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi yang dikenal sebagai Tuhan. Ide tentang Tuhan juga bervariasi sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hubungan ini kemudian sampai pada pembuatan seperangkat aturan atau tulisan-tulisan etika dan perilaku yang dapat dibenarkan untuk menghubungkan penganut dengan Tuhannya dengan mematuhi aturan tersebut sebagai usaha pengabdian diri kepada Tuhan. Dalam Islam, seperangkat aturan tersebut diubah menjadi sebuah kitab melalui kenabian Nabi Muhammad SAW. yang disebut Al-Qur'an. Penganugerahan Al-Qur'an pada saat kenabian Muhammad SAW. adalah wahyu lengkap dari pesan Allah kepada manusia setelah memulai perintah-Nya dengan Adam kepada Nuh, Abraham, Musa, Isa, dan nabi lain. Selanjutnya, di dalam Al-Qur'an (5:3), Allah berfirman "Pada hari ini, Aku telah menyempurnakan agamamu untukmu, dan telah menyempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan telah memilih Islam sebagai Din (agama dan jalan hidup) untukmu."
Dalam agama apapun, penafsiran dan pemahaman Kitab Suci adalah kunci untuk dekat dengan Tuhan karena aturan dan kode etik untuk menjadi pelaku kebaikan (good doer) ada di dalam Kitab itu. Dalam Islam, Al-Qur'an adalah keseluruhan konsep seluk-beluk yang tidak bisa dimakan, ditelan, dan dicerna secara instan dalam satu atau pun banyak bacaan khusyuk. Al-Qur'an, jika tidak lebih, sekaya planet ini sendiri karena keduanya merupakan cerminan dari Kekuatan dan Kebesaran Tuhan. Ketidakmampuan untuk menalar kebijaksanaan dalam Al-Qur'an melalui indera kita yang cacat adalah seperti ketidakmampuan otak manusia dan indera lainnya untuk mengidentifikasi atau memahami setiap kesempatan atau setiap spesies atau bagian dari hal-hal di planet ini tanpa mempelajarinya secara perlahan dengan pemandangan/penglihatan dan buku-buku sains pelengkapnya (jika ingin mengetahui tentang atom, gerakan tektonik, hujan, spesies hewan, dll.).
Dalam hal Al-Qur'an, pemandangan/penglihatan dan buku-buku pelengkap itu adalah ajaran yang tepat dari Nabi Muhammad SAW. (dan/atau orang terpelajar saat ini) dan kumpulan buku-buku Hadist yang membantu melengkapi interpretasi seseorang terhadap Al-Qur'an dalam hubungannya dengan dunia (baik akhirat maupun dunia sekarang ini). Kita tidak dapat memahami Al-Qur'an tanpa Sunnah Nabi---yang dapat dilihat sebagai penegasan pentingnya membaca kitab suci dalam pengalaman konkret komunitas Muslim. Artinya, As-Sunnah, Hadist, dan Al-Qur'an itu sendiri merupakan komponen yang tidak bisa terpisahkan dalam kajian Islam sebagai agama dalam arti luas (agama kedamaian, ilmu pengetahuan, rasionalitas, ilmu pengetahuan, keadilan, dan segala kebajikan).
Oleh karena itu, Al-Qur'an lebih dari sekedar buku aturan, tetapi Al-Qur'an adalah buku moral dan etika yang begitu aktif mengikuti peristiwa nyata di dunia ini. Al-Qur'an lebih dari, jika bukan seperangkat aturan yang kaku. Inilah yang membuat Al-Qur'an tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat peristiwa yang tepat di mana beberapa ayat diterapkan. Al-Qur'an, entah bagaimana, bahkan tidak dapat dipahami sampai adanya beberapa peristiwa yang mewakili maksud/tujuan dari beberapa ayat.
Adapun upaya untuk memahami Al-Qur'an dalam bentuk utuh dengan perangkat pelengkap lainnya, orang yang mempelajarinya harus memiliki kualitas penalaran yang tepat dan tanpa sikap tinggi hati/ sombong. Dengan tidak adanya kualitas-kualitas itu, manusia dengan akal sehatnya akan menyesatkan dirinya sendiri ke dalam ketiadaan/kekosongan atau bahkan penyimpangan yang parah. Hasil yang diberikan oleh orang-orang jahil karena pandangan mereka yang parsial terhadap interpretasi Al-Qur'an akan menjadi penyebab munculnya stigma agama dan kerugian sosial bagi komunitas Muslim yang akan saya bicarakan di bagian lain artikel ini.
Selain itu, mengenai hikmah dan seluk-beluk Al-Qur'an, tidak mungkin untuk tidak menemukan rasionalitas dan koherensi setelah mempelajari agama secara menyeluruh. Al-Qur'an memiliki dasar prinsip-prinsip teori sosial, doktrin normatif tatanan sosial melalui masyarakat, ekonomi, dan politik untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Klaim-klaim itu cukup banyak diringkas dalam Al-Qur'an dengan ayat-ayat "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) 'umat pertengahan' agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."(2:143) dan "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan percaya kepada Allah." (3:110).
Tuhan, melalui Al-Qur'an dan agama Islam, telah menetapkan cara hidup di mana manusia harus tinggal---yaitu komunitas di mana keadilan, kasih sayang, dan keseimbangan berlaku. Perjalanan menuju komunitas tersebut membutuhkan instrumen manusia seperti yang digambarkan dengan istilah "ihsan" yang dianggap sebagai istilah kunci Al-Qur'an yang mengandung makna kebajikan, keindahan, kebaikan, sopan santun, kemolekan, proporsi, dan "pembuat apa yang indah" sekaligus.[5] Al-Quran kemudian menggabungkan kualitas ini dengan keadilan sebagaimana dikutip dalam ayat (Quran 16:90) "bil-'adl w'al-ihsan" atau dalam arti penuhnya, "Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, bantuan kepada kerabat, dan memberi larangan (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H