Mohon tunggu...
Nadhilla Pembayun
Nadhilla Pembayun Mohon Tunggu... -

I am an ordinary girl

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyadran : Budaya Lama yang Membumi di Kampung Islami

23 Mei 2016   14:49 Diperbarui: 2 Juni 2016   09:28 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyadran merupakan budaya yang awal mulanya berasal dari tradisi hindu. Jaman dulu, nyadran diiringi oleh penyembelihan kambing serta menggantung kepala kambing didepan pintu maupun di perempatan jalan. Dalam masa penyebaran Islam, walisongo mencoba mengubah tradisi itu dengan doa-doa dan tahlil serta pembersihan makam di makam leluhur. 

Desa yang masih kompak melaksanakan kegiatan nyadran salah satunya adalah desa Sumber Agung khususnya Getas, wilayah ini terletak di Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa tengah. Kampung Islami ini merupakan kampung yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam dibawah naungan organisasi Nahdhatul ulama yang dibawa oleh Mbah Kyai Abdul Jalil. Tetapi, menurut hasil wawancara dengan pemuka Desa Getas, tidak diketahui kapan pastinya kedatangan Islam pertama kali di kampung ini.

Kampung Islami yang sudah memiliki sekolah SD ini, terkenal dengan pendidikan keislaman yang sangat tinggi. Karena pengaruh dari penyebaran Islam yang dibawa oleh Mbah Jali, yaitu belajar Al-Qur’an dari surau ke surau. Masjid Nurrohmahlah yang sekarang menjadi pusat pembelajaran Islam.

Sehingga, mulai dari anak-anak sampai dewasa maupun orang tua dapat menimba ilmu agama di masjid tersebut atau datang langsung ke rumah guru-guru ngaji.Alhasil, sudah warga yang mahir membaca Al-Qur’an dengan lancar. Semenjak Islam datang di desa ini, masyarakatnya sudah mulai memahami ajaran-ajaran yang disampaikan dalam Islam. 

Seperti yang dulunya masih ada pikiran bahwa ngaji itu tidak penting, sekolahlah yang utama. Sekarang, pikiran tersebut sudah berganti dengan banyaknya para orang tua yang memilih untuk mengirim anak-anak mereka ke pondok pesatren. Terbukti, di desa ini sudah ada hafidz dan hafidzahnya serta tidak kalah pula dalam bidang akademiknya. Jadi, sejarah perkembangan penyebaran Islam di Desa Getas ini adalah progresif (maju atau ke depan). Dilihat dari masyarakatnya yang dulu masih awam agama Islam sekarang sudah mau memahami agama Islam.

Mungkin bagi kalian masih tidak paham apa yang dimaksud nyadran. Untuk menambah wawasan pembaca, saya akan menjelaskan bagaimana proses nyadran yang dilaksanakan di makam Gunung Mili Mas ini. Nyadran disini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan sebelum bulan puasa maupun saat puasa. Seperti yang terakhir kali dilaksanakan pada 28-29 Mei kemarin. Setiap kepala keluarga diwajibkan membawa sedekah berupa makanan untuk dibagikan saat istirahat selesai membaca doa.

Kegiatan ini disiapkan oleh pemuda dan perangkat desa diawali bersih-bersih tempat tepat disebelah makam (baca: bangsal) yang memang dibangun untuk kegiatan ini. kegiatan Nyadran ini biasanya dilaksanakan pada malam hari seusai sholat isya. Nyadran diawali dengan pembukaan dan dilanjut dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dari juz 1-30 yang tersebar per juz (muqoddam-an). 

Pembacaan ini dilaksanakan bersama-sama antar warga baik yang tua maupun muda. Lalu dilanjut dengan tahlil serta doa kepada arwah leluhur yang sudah meninggal maupun doa untuk keluarga yang ditinggalkan oleh leluhur. Setelah itu dilanjut dengan pembacaan asmaul Husna.

Di dalam acara tersebut, ada sambutan-sambutan baik dari kepala desa maupun perangkat pemerintahan yang hadir dalam kegiatan nyadran ini. Disela-sela acara ini, ada pembagian makanan yang berasal dari masyarakat yang hadir, makanan dimasukkan dalam kotak kertas yang isinya beragam mulai dari makanan ringan, jajanan pasar sampai buah-buahan pun ada. 

Setelah istirahat sejenak, dilanjut dengan pengajian yang biasanya diisi oleh Kyai atau Habib atau Ulama yang sudah terkenal dan mempunyai jam terbang tinggi. Kegiatan berakhir saat pengajian selesai dan masyarakat membubarkan diri. Acara ini biasanya berlangsung selama 3-4 jam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun