Mohon tunggu...
Nadhila Hibatul Nastikaputri
Nadhila Hibatul Nastikaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger dan Freelancer

Perempuan Gunungkidul yang tengah belajar mengeja kehidupan. Pernah belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Menyukai buku, senja, dan kerlip lampu kota. Kabarnya bisa di tengok di @nadhilaputri21, sementara tulisannya yang lain bisa dibaca di catatannadhila.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Terlambat Suka Membaca

24 Mei 2021   23:18 Diperbarui: 24 Mei 2021   23:43 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Kakek Membaca (Sumber Gambar: https://www.pinterest.com/)

Kamu suka membaca buku usia berapa? Rasanya enggan sekali diri ini menjawab bila ada teman yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan tersebut. Keengganan itu tentu bukan tanpa alasan, sebab saya malu. Malu karena merasa terlambat untuk suka membaca. Kalau dihitung-hitung mungkin baru empat tahun terakhir saya jatuh hati pada buku, mulai menikmati saat-saat membaca, dan merasa haus jika lama tidak mendapat asupan bacaan. Ya, empat tahun belakangan, belum lama bukan?

Lain halnya dengan kakak saya. Semenjak sekolah dasar, perempuan yang terpaut usia lima tahun dengan saya itu sudah cinta membaca. Bahkan ketika memasuki sekolah menengah, ia rutin menyisihkan uang sakunya untuk membeli buku. 

Entah itu novel, buku pengembangan diri, atau pun buku religi, semua ia beli. Melihat kegemarannya membaca dan mengoleksi buku, saya rasa tidak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai bibliofili. Dan yang membuat saya kagum, hobi membacanya masih awet hingga kini, saat ia sudah menjadi seorang ibu. Di sela waktu mengurus putrinya ia masih sempatkan membaca buku.

Menarik bukan, kami tumbuh dan dibesarkan di keluarga yang sama dengan pola asuh yang tentunya juga tidak jauh berbeda. Lalu, bagaimana bisa sejak kecil kakak suka membaca sedangkan adiknya tidak demikian?

Nah, di  tulisan kali ini saya akan berbagi cerita perihal keterlambatan menjadi orang yang suka membaca. Saya rasa cerita ini perlu untuk dibagikan. 

Sekadar menjadi refleksi, mengingat data dari UNESCO tahun 2016 menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia bisa dibilang memprihatinkan, yakni hanya 0, 001% (sindonews.com).

Mengapa dulu tidak suka membaca?

Kalau boleh jujur, dulu saya merasa membaca adalah beban. Waktu itu sudah ada mindset pada diri saya bahwa membaca adalah kegiatan yang berat dan membosankan. Mengapa? Setelah mengingat-ingat saya temukan sebuah faktor utama yang menyebabkan saya kurang suka membaca.

Faktor utamanya yakni karena saya membatasi jenis buku bacaan. Memang kebanyakan buku yang saya konsumsi pada waktu sekolah dasar hingga menengah adalah buku pelajaran. Sebetulnya saya juga membaca kumpulan cerpen dan novel yang dimiliki oleh ibu atau kakak, tetapi jumlahnya bisa dikata tidak seberapa.

Sebagian besar buku yang memenuhi rak lemari belajar waktu itu adalah buku LKS, buku paket, modul, dan buku tulis. Itulah mengapa saya selalu merasa membaca menjadi beban, sebab semacam ada tuntutan minimal harus bisa menghafal atau memahami konsep teori-teori pada buku-buku itu. Padahal, seharusnya membaca juga bisa menjadi sarana penyegaran otak, bukan?

Oh, ya sejenak mengenang masa lalu. Ketika masih duduk di bangku SMA saya sering dibuat kagum dengan seorang teman kelas yang hampir setiap hari berkunjung ke perpustakaan untuk meminjam buku. Setelah saya perhatikan saat itu, buku pinjamannya cukup beragam, mulai dari buku fiksi hingga buku pelajaran. 

Kalau kawan itu dibandingkan dengan saya, rasanya seperti bumi dan langit saja. Intensitas saya ke perpustakaan dalam tiga tahun mungkin bisa dihitung dengan jari. Soal pinjam meminjam buku juga tidak ada bedanya. Kalau tidak salah meningat, saya hanya pernah meminjam dua novel dalam kurun waktu tiga tahun.

Belajar Menyukai Membaca

Qadarullah selepas lulus SMA, saya dituntun-Nya melanjutkan studi di prodi Sastra Indonesia. Sebetulnya saya sangat besyukur diterima di prodi ini karena berbagai hal. Salah satunya karena saya dipertemukan dengan kawan-kawan yang  "gila" membaca. Berada di antara mereka membuat saya "kesetrum" untuk menjadi suka membaca .  

Mau tidak mau saya harus mengimbangi ritme kawan-kawan saya, sehingga ketika diskusi ringan setidaknya saya tidak tertinggal. Oleh karena itu, mulai semester satu saya mulai belajar untuk suka membaca. Agak aneh memang kedengarannya, tapi toh itulah yang saya lakukan.

Suka membaca menurut saya bisa dilatih. Pepatah jawa mengatakan witing tresna jalaran saka kulina. Bagi saya, tumbuhnya rasa suka pada membaca tak ubahnya cinta pada seseorang yang bisa tumbuh karena kebiasaan. Yang perlu dicatat adalah adanya kebiasaan, sehingga saya menerapkannya dalam proses  menumbuhkan rasa gemar membaca. Setidaknya ada tiga langkah sederhana yang saya terapkan.

Pertama, membaca apa pun yang disukai. Saya memulai dengan membaca novel-novel ringan atau novel garapan penulis yang saya kagumi. Sebenarnya tahap ini saya gunakan untuk membentuk kerutinan dalam membaca. Semacam tahap dasar pembiasaan membaca buku.

Kedua, membaca apa yang dibutuhkan. Pada tahap ini saya mulai mencari karya-karya sastra yang direkomendasikan oleh dosen untuk dibaca. Tidak selalu mudah memahami novel-novel macam ini, karena tulisan sejumlah sastrawan seperti Seno Gumira, Romo Mangun, Danarto, memerlukan pemahaman yang mendalam. Selain karya sastra, pada tahap ini saya juga mulai membaca buku pengembangan diri.

Ketiga,  challenge membaca. Ini yang saya lakukan satu tahun belakangan bersama dua orang kawan saya. Challenge ini sebenarnya adalah salah satu  upaya meningkatkan laju membaca. Salah satu dari kami akan memilih satu buku untuk dibaca dalam kurun waktu seminggu. Begitu seterusnya hingga giliran habis.

Pembaca Cendekia, sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah saya terlambat untuk suka membaca. Jika ditanya, apakah menyesal tidak membiasakan membaca sejak kecil? Saya akan menjawab, iya.

Pasalnya, Paul Hazard, seorang intelektual Perancis, mengatakan "give us books" say the childreen "give us wings". Ungkapan Hazard tersebut menunjukkan esensi menanamkan minat baca pada anak sejak dini. Dengan mengenalkan buku pada anak sejak dini sama halnya dengan memberikan sayap pada mereka untuk terbang seting-tingginya.

Namun bagaimanpun semua sudah terjadi. Toh, sekarang masih bisa diperbaiki. Rasa-rasanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Maka, jika Anda saat ini merasa belum suka membaca, jangan minder dulu. Kita bisa memulainya dari sekarang dengan cara perlahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun