Mohon tunggu...
Money

Riba dan Bank Syariah

23 Februari 2017   22:36 Diperbarui: 24 Februari 2017   08:00 25284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bicara soal riba, mungkin sudah tidak asing lagi. Dari zaman dahulu atau bahkan sampai sekarang pun riba masih ada. Dan kita pun mungkin sampai saat ini tidak dapat menghindarinya. Fenomena ekonomi social saat ini yang masih terjadi adalah adanya bank plecit yang gencar mbisa namanya menghindari riba tetapi hanya dapat meminimalisir terjadinya riba. Meminjamkan uang dengan cicilan yang ringan padahal jika dihitung-hitung besaran bunganya sangat besar.

Berbagai alasan masyarakat yang masih menggunakan bank plecit sebagai pinjaman karena terkadang membutuhkan uang dengan cepat dan nyaris tanpa syarat dan atau jaminan apapun sehingga menurut masyarakat bank plecit menjadi solusi, contohnya seperti hasil dagangan tidak mencukupi untuk modal beli barang kembali (kulakan), atau pinjaman yang tak diduga karena harus membayar biaya rumah sakit atau kita membutuhkan dana untuk membayar uang sekolah anak, atau dalam keadaan mendesak lainnya.

Sungguh dengan ketidaktahuan masyarakat adanya bank plecit membuat mereka tercekik akan bunga, tidak sama halnya dengan bank konvensional. Dalam islam riba dilarang, ini dikarenakan Riba mengakibatkan seseorang menjadi rakus, tamak, dan mementingkan diri sendiri. Memunculkan perasaan benci, marah, dengki pada diri seseorang yang terpaksa membayar riba, dan permusuhan.

Munculnya bank syariah di Indonesia membuat masyarakat ingin tahu seperti apa pengelolaan bank berbasis islam dari cara pengelolaannya, pembiayaannya dan sebagainya. Tetapi realitas nya masih banyak masyarakat yang masih meng compare mengenai bank konvensional dan bank syariah karena praktek nya berbeda dengan teori. Menurut masyarakat bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional tetapi hanya istilahnya saja yang berbeda.

Untuk bertransaksi pun tidak jauh berbeda dengan konvensional, perbedaanya hanya di bank syariah terdapat sistem bagi hasil, sistem pengelolaan dana nya, kemudian cara mendapatkan keuntungannya serta akadnya. Tetapi bagaimana dengan sistem kredit di perbankan syariah? Sampai sekarang ini banyak masyarakat yang mngeluhkan bahwasannya kredit di perbankan syariah sama dengan di bank konvensional.

Sebagai contoh “Bapak A ingin membeli sebuah motor dengan uang yang dimiliki tetapi ternyata uang nya tidak mencukupi untuk membeli motor, kemudian Bapak A ke bank syariah untuk menanyakan permasalahannya. Lalu pihak bank syariah menyetujui dan kemudian bank syariah ke dealer untuk membeli motor yang diinginkan bapak A. Kemudian pihak bank syariah menjual motor tersebut ke bapak A dan menjelaskan di awal jika pihak bank syariah mengambil keuntungan dan juga pihak bank syariah menjelaskan berapa persentase keuntungan yang mereka peroleh.

Dari kasus diatas sudah jelas pihak bank menjual sebuah barang lain hal nya dengan meminjamkan barang secara kredit kepada nasabah dan bukan meminjamkan sejumlah uang. Hal ini sangat berbeda dengan perbankan konvensional yang meminjamkan sejumlah uang tunai beserta keharusan pembayaran bunga saat cicilan pengembalian, sehingga nasabah dapat mempergunakan uang tersebut sesuai keinginannya.

Apabila Riba terus menerus menjadi budaya maka akan berdampak kapada pertumbuhan ekonomi:

Yang pertama, sistem ribawi berdampak akan menimbulkan krisis ekonomi, karena banyak spekulan untuk berspekulasi yang mana akan menyebabkan volatilitas. Kemudian nilai uang akan tidak stabil

Yang kedua, jika riba terus dilakukan maka distribusi kekayaan tidak sepenuhnya merata. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis sedangkan kreditor beresiko untung atau rugi.

Yang ketiga yaitu dengan adanya riba maka akan lemahnya peningkatan ekonomi dan investasi, ini dikarenakan suku bunga berpengaruh terhadap investasi, jika suku bunga tinggi maka investasi semkain menurun yang kemudian berampak kepada produksi juga ikut menurun sehingga akan terjadi atau malah meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

Yang keempat apabila suatu Negara masih kuat dan menggunakan konsep riba maka Negara akan terjerat oleh hutang padahal untuk membayar pokok saja agak berat apalagi ditambah harus membayar bunga.

Selain beberapa permasalahan diatas, masalah lain adalah sistem perekonomian dunia yang menggunakan sistem bunga. Hal tersebut tentu menjadi pengahambat kita untuk benar-benar menjauhi riba. Bahkan orang yang tidak berdekatan dengan riba akan terkena cipratannya.

Bank syariah menjadi sedikit pemecah permasalahan tersebut, karena sistem yang digunakan bank syariah telah menganut pada sistem syariah. Bahkan, hal yang terpenting adalah kebedaraan DPS (Dewan Pengawas Syariah) di setiap kantor bank syariah. DPS bertugas untuk mengawasi segala aktivitas agar tetap sesuai dengan syariah. DPS juga merupakan badan independen diluar perbankan, yang berada di bawah perintah dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Selain itu, penggunaan harta non-halal yang dimiliki bank syariah juga dialihkan kepada kemashlahatan. Di setiap laporan keuangan perbankan syariah terdapat laporan penggunaannya. Pendapatan non-halal dan penggunaannya dalam bank syariah harus diungkapkan dalam laporan tahunan pelaksanaan Good Corporate Governance(GCG). Hal ini diatur dalam SEBI No.12/13/DPbS, tanggal 30 April 2010, perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah [1]. Sebagai bentuk pelaksanaan GCG terkait dengan pendapatan non-halal dan penggunaanya.

Pendapatan non-halal Bank syariah biasanya terdiri dari :

  • Dana Sosial Ex-Penalty, yakni dana yang berasal dari denda keterlambatan (penalty) pembayaran angsuran atau denda lain yang berhubungan dengan transaksi antar pihak Bank dengan pihak ketiga.
  • Dana Sosial Ex Jasa Giro, yakni dana sosial yang berasal dari giro yang diterima oleh Bank dari penempatan pada bank konvensional.
  • Dana Sosial Lainnya, yakni dana sosial yang berasal dari komisi, fee, atau dalam pendapatan dalam bentuk lainnya dari rekanan Bank selain pendapatan yang berhak diterima sebagai ketentuan manajemen.

Beberapa bentuk kemaslahatan yang disalurkan dari bank syariah adalah pembuatan jalan, sanitasi, perbaikan jembatan, dan lain sebagainya.

Kebolehan penggunaan dana non-halal tersebut berdasar pada pendapat Ulama sebagai salah satu solusi untuk menghindari masyarakat terutama nasabah terhadap riba

Karena sekarang ini terdapat banyak jenis riba yang tanpa disadari sudah tidak bisa dibendung lagi. Beragam jenis riba yang telah menjadi bagian sehari-hari dapat dengan mudah ditemukan seperti sewa rumah, kartu kredit atau bahkan sewa mobil. Riba membuat jumlah uang yang harus dibayarkan totalnya suka berubah-ubah tergantung dengan waktu pembayaran dan juga pada keadaan tertentu. Hal ini menjadi sebuah realitas yang begitu menyedihkan mengingat riba merupakan hal yang diharamkan dalam islam.

Sudah jelas dalam Alquran dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 30 yang berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Untuk itu apabila sebagai nasabah kita perlu memfilter dan harus mengetahui terlebih dahulu pembiayaan tersebut seperti apa, investasi halal atau tidak. Karena Allah sudah menjanjikan jika kita menghindari atau menjauhi riba maka keberuntungan akan mendatangi kita.

Sumber:

[1] http://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Pages/se_121310.aspx

Penulis,

Nadhila Al Fildza Aqmar

Mahasiswi Magister Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun