Mohon tunggu...
Nadhifa Salsabila Kurnia
Nadhifa Salsabila Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Masih setia dengan Bandung, namun melalui tulisannya sering kali berjalan ke Korea Selatan dan berbagai belahan dunia lain

Sarjana Ilmu Komunikasi Jurnalistik, pencinta literasi, penyuka fiksi, menulis dimana saja dan kapa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Hati Istri Zahra, Pekerja Anak dalam Bingkai Industri Seni Peran

1 Juni 2021   17:42 Diperbarui: 1 Juni 2021   17:57 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak | Pexels/Amina Filkins

Di Indonesia, sepertinya batasan untuk pekerja anak di industri hiburan atau media belum mendapat aturan  tegas. Terutama, untuk anak di bawah umur.

Sebuah kasus mengenai aktris di bawah umur diperbincangkan warga twitter. Mengenai sebuah judul drama sinetron yang tampil di salah satu televisi swasta, berjudul Suara Hati Istri: Zahra.

Sekilas, tidak ada yang tampak aneh mungkin dengan tayangan ini. Sama seperti judul-judul Suara Hati Istri lainnya yang biasanya menampilkan kisah penderitaan seorang istri atas suami yang tidak adil dan sebagainya. Namun, jika lebih jeli lagi penonton bisa menemukan contoh yang kurang baik. Yakni, pada pemeran Zahra yang diperankan oleh aktris remaja pendatang baru yang merupakan kelahiran tahun 2006.

Dalam film tersebut, aktris pemeran Zahra yang aslinya berusia 15 tahun, berperan sebagai gadis muda berusia 17 tahun yang dinikahi oleh seorang pria yang sudah memiliki dua istri. Ya, Zahra berperan sebagai istri ketiga dalam tayangan Mega Series ini. Ia, beradu akting dengan aktor  kelahiran tahun 1981. Dalam cerita, Zahra yang berasal dari desa terpaksa menikah lantaran hutang yang melilit keluarganya pada bos orang tuanya yang menjadi suaminya ini.

Baca juga: Kerjaan Jadi Babi Ngepet Nggak Hanya Meme Lagi

Penayangan drama mega series ini membuat warga twitter ramai-ramai melaporkan konten drama tersebut ke akun twitter @KPI_Pusat. Mereka menyerbu akun twitter yang Komisi Penyiaran Indonesia sematkan cuitan perihal laporkan segera apabila masyarakat Indonesia menemukan tontonan yang kurang pantas. Pasalnya, adegan yang dilakukan Zahra ini juga dinilai tak pantas untuk anak remaja seusianya. Karena, ia berperan layaknya seorang "istri". Bukan hanya tidak menjadi contoh yang baik untuk anak-anak, tetapi apakah "setidaknya" tidak bisa diperankan aktris berusia lebih dewasa yang sudah lebih 'pantas' memerankan adegan semacam ini?

Isu pekerja anak ini memang bukanlah pembahasan yang baru. Sayangnya, selama ini peraturan yang ada  lebih sering menyoroti pekerja anak yang jenis pekerjaannya kasar, eksploitasi seksual, hingga terkait perdagangan anak. Padahal, kenyataan pekerja anak di industri media juga butuh perhatian khusus.

Dalam Undang-Undang Perlindungan anak, eksploitasi seksual menjadi lebih urgent dibanding eksploitasi ekonomi. Tentu saja, mengesampingkan eksploitasi seksual tidaklah benar. Namun, melindungi anak dari eksploitasi ekonomi di industri hiburan, juga harus.

Terbengkalainya pendidikan anak

Kebanyakan para aktor dan aktris cilik terpaksa harus memilih homeschooling. Tahu sendiri, di Indonesia penguasa rating masih ada pada jenis sinetron kejar tayang. Artinya, hari ini syuting, besok tayang. Tandanya anak harus bekerja selama tujuh hari dalam seminggu dan jadwal syutingnya tak hanya melewati batas waktu pemeran anak, yakni pukul 18.00 malam, bahkan bisa melewati tengah malam.

Peraturan undang-undang yang belum sepenuhnya melindungi pekerja anak di media

Pada Undang-Undang No 13 Tahun 2013 di Pasal 71, seorang anak memang diberikan izin bekerja untuk bisa menyalurkan bakat yang dimilikinya. Di antaranya dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yang meliputi pengawasan orang tua, jam kerja tidak lebih dari tiga jam, juga harus dengan lingkungan kerja yang ramah anak.

Baca juga: Ketika Anak Kecil "Membenci" Ibunya

Di Amerika Serikat aturan perlindungan pada pekerja seni anak di industri hiburan ini dibuat lebih ketat. Misalnya, di AS, California, aturan ini dikeluarkan oleh  Departemen Hubungan Industrial, Divisi Standar Pelaksanaan Tenaga Kerja di tahun 2013. Isi aturan ini selain tidak memperbolehkan anak-anak bekerja di jam sekolah dan harus ada izin kerja, perusahaan perfilman tempat anak ini bekerja juga harus menyediakan jam bekerja dan fasilitas yang harus dipatuhi.

Bagian menyediakan perlindungan bertanggungjawab bagi pekerja anak di dunia media inilah yang masih timpang di Indonesia. Contoh yang tercantum pada UU Perfilman di pasal 20 tentang perlindungan untuk insan perfilman. Katanya perlindungan pada anak ini haru memenenuhi hak-hak anak dan peraturan perundang-undangan. Dimana yang ditegaskannya adalah pemenuhan hak belajar dan hak bermain.

Sementara secara teknis, aturan mengenai perlindungan ini tidak dijelaskan terperinci. Aturan mengenai apa ada sanksi yang diberikan pada perusahaan hiburan yang tidak menyediakan lingkungan ramah anak yang terlindungi ini belum jelas adanya. Terutama untuk anak yang bekerja di industri hiburan seperti sinetron atau dalam hal ini drama televisi.

Bisa jadi, Zahra sendiri memang menghendaki ingin bisa mengekspresikan menyalurkan bakatnya di dunia akting dan hanya kita yang di luar industri yang menganggapnya berlebihan. Tapi apakah benar, tidak ada peran lain yang lebih pantas bagi gadis seusianya. Apalagi, adegan yang ditampilkan dalam mega series ini seperti yang dipermasalahkan warga twitter, juga terlihat mengganggu dan bukan contoh yang baik.

Baca juga: Teknologi Semakin Maju, Permainan Ini Nyaris Punah!

Sejauh mana batas konten adegan yang diperbolehkan anak lakukan di industri seni peran?

Di Korea Selatan, aturan mengenai perlindungan pekerja hiburan anak juga cukup ketat. Sebagai negara yang mengunggulkan indutri kreatif hiburan, jika negara belum bertindak, warganetnya yang cukup keras bisa langsung bertindak. Contoh, pada drama Korea Backstreet Rookie.

Dalam drama tersebut, ada adegan ketika sang aktris wanita yang kelahiran 1999 memerankan karakter anak SMA yang tiba-tiba melayangkan "kecupan" pada seorang pria tak dikenal berusia hampir 10 tahun di atasnya. Dianggap menjadi contoh karakter anak sekolah yang buruk, adegan ini dikecam keras oleh penonton dan segera dilaporkan ke lembaga penyiaran terkait.

Alhasil adegan mesra yang ada di drama mesti dikurangi demi keamanan penyiaran. Meskipun memang, aslinya usia sang aktris sendiri sudah di usia dewasa menurut usia aturan di Korea. Namun, bahkan setelah drama berakhir dan menayangkan seluruh episodenya, gugatan terkait kritik beberapa adegan dalam drama ini tetap berlanjut dan mau tak mau harus diterima oleh penyelenggara terkait, sekalipun mereka sudah memberikan klarifikasi dan memperbaiki konten selanjutnya.

Patut dicontoh, bagaimana hukum bisa menindaklanjuti keluhan masyarakat dengan cepat dan logis. Semoga, seperti yang KPI mau, warga bisa melaporkan setiap konten tak pantas sekaligus segera mendapat penanganan dengan berkelas.

Baca juga: Wahai Orangtua, Anakmu Sering Bertengkar Itu karena Salahmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun