Media Sosial dan Hate Speech: Fenomena Kriminalisasi yang Katanya Hanya Bentuk Ekspresi.
Jari-jemari kita kini semakin asyik melenggang di atas ponsel maupun keyboard pc atau laptop. Ada yang asyik berbagi keseharian lewat story Facebook atau Instagram yang terkadang isinya bertolak belakang dengan kenyataan. Ada yang memanfaatkan media sosial untuk menebar benih-benih positif, namun tak jarang juga yang kontennya justru memicu benih negatif. Di antaranya fenomena ujaran kebencian yang dalam ilmu etnografi virtual disebut dengan istilah "Hate Speech". Pernah dengar istilah ini?
Menurut survei yang dilakukan Microsoft pada awal 2021 lalu, Indonesia termasuk kedalam negara yang tingkat kesopanan warganetnya berada di urutan bawah. Warganet mahabenar dan dengan segala kekuatan internet impact-nya, netizen +62 balik menyerang akun sosial media Microsoft. Kebanyakan bingung, katanya masyarakat Indonesia termasuk paling ramah di dunia. Lah kok, disebut kurang sopan di dunia virtual?
Baca juga: Manfaat Sholawat Menurut Ustadz Adi Hidayat
Ujaran kebencian diartikan sebagai ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Namun, menurut David O, pengertian ujian kebencian ini juga perlu dibatasi agar tidak membatasi masyarakat dalam berekspresi. Sehingga, sesuatu yang bersifat diskriminatif menurutnya tak bisa disebut ujaran kebencian.
Namun, secara langsung ujaran kebencian yang diungkapkan tanpa dasar dan hanya untuk memanaskan situasi, akan mengarah pada fitnah. Bagaimana jika apa yang dikatakan penyebar hate speech pada seseorang ini faktanya tidak terbukti kebenarannya? Inilah yang juga bisa terjadi ketika seseorang mengedepankan kreatifitas dan kebebasan berekspresi di dunia maya tanpa mengindahkan hak asasi yang dimilikki setiap orang.
Kalo begitu, batasan yang dimaksud itu sepertinya lebih diperlukan untuk mengendalikan jenis hukum yang menyadarkan bahwa tindakan fitnah di dunia maya juga bisa sama beratnya hukumannya dengan di dunia nyata. Apalagi, kecanggihan teknologi lebih mampu menyebarkan secara cepat apapun konten tanpa mengenal batas wilayah dan waktu.
Seperti kasus yang menimpa Ustadz Adi Hidayat
Sejumlah konten bernada provokatif tanpa kebenaran yang jelas, mendadak jadi viral. Ustadz Adi Hidayat diketahui berhasil mengumpulkan uang sebesar 30,88 miliar dari masyarakat. Uang tersebut menurut penjabarannya disalurkan secara terpisah. Di antaranya dana sebesar Rp14,3 disalurkan lewat Majelis Ulama Islam (MUI), kemudian Rp14,35 miliar disalurkan langsung ke Dubes Palestina di Indonesia Zuhair Al-Shun dan sisa 5 miliar dialokasikan untuk pemberian dana bantuan bagi penyediaan pendidikan di Palestina.
Jumlah donasi yang dihasilnkan memang cukup mencengangkan. Sayangnya, sejumlah oknum menarasikan mengenai proses penyaluran dana Palestina ini terlihat menimbulkan kesalahpahaman. Seperti di beberapa cuitan akun Twitter serta sejumlah unggah YouTube yang mengatakan tak semua uang donasi diserahkan untuk Palestina. Hingga Eko Kuntadhi menanggapi niat baik Ustadz Adi Hidayat dan tim dengan kurang baik.
Di antaranya seperti dua judul konten yang diunggah Eko Kuntadhi dan mendadak ramai diperbincangkan warga twitter. Awal mula ramainya konten yang dibagikan Eko Kuntadhi ini  dari saat ia mengunggah sebuah cuitan di akun media sosial twitter miliknya. Konten yang sudah dihapusnya tersebut men-tag dua judul berita mengenai UAH. Dimana ia membubuhkan komentar cuitan dengan kalimat,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!