Mohon tunggu...
Nur Nadhifah
Nur Nadhifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya hobi menulis artikel dan cerita fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Indonesia Mempertahankan Kedaulatan di Tengah Konflik China-Amerika di Laut China Selatan

24 Mei 2024   18:18 Diperbarui: 24 Mei 2024   19:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: diolah oleh penulis, 2024

Setiap negara memiliki batas wilayah untuk membatasi antara satu negara dengan negara lainnya serta untuk mengklaim sumber daya pada wilayah tersebut. Begitu pula dengan Indonesia. Terdapat batas udara, darat dan laut yang memisahkan dengan negara-negara dan kawasan lainnya. Pada bagian utara, Indonesia berbatasan dengan Malaysia (bagian timur), Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Laut Cina Selatan. Bagian barat, Indonesia berbatasan dengan Samudera Hindia dan perairan negara India. Kemudian, batas wilayah Indonesia bagian timur berbatasan dengan Papua Nugini dan Samudera Pasifik. Sedangkan batas wilayah Indonesia bagian selatan, berbatasan dengan Timor Leste, Australia, dan Samudera Hindia.

Sayangnya di antara wilayah-wilayah tersebut, perbatasan Indonesia dengan Laut China Selatan lah yang sering menimbulkan konflik yang mengancam kedaulatan Indonesia.  Beberapa negara, seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut.

Laut China Selatan merupakan kawasan perairan yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) seperti ikan, dan potensi minyak bumi dan gas alam yang melimpah. Karena lokasinya yang menjadi jalur pelayaran utama bagi perdagangan global serta wilayah ini juga dianggap memiliki nilai strategis militer yang signifikan. Atas kelebihanya ini, banyak negara yang terlibat saling klaim kepemilikan atas pulau-pulau di sana. Konflik ini mulai muncul di dasawarsa 1970 dan berulang kembali di dasawarsa 80, 90 hingga kini. Di antara negara-negara Asia yang secara agresif melakukan klaim adalah China. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui apa yang disebut sebagai "Sembilan Garis Putus" yang pertama kali muncul pada peta tahun 1947.

Garis putus-putus yang membentuk pola U melingkupi beberapa pulau utama di Laut China Selatan seperti Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Macclesfield Banks, dan Kepulauan Spratly. Peta yang mencakup nine dash line memberi dampak sengketa terhadap wilayah perairan di LCS antara China dengan Vietnam, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, Filipina dan Taiwan. China beranggapan bahwa nine-dashed line merupakan wilayah mereka sejak zaman dahulu. Dengan dasar ini China berani membangun kekuatan militernya pada kawasan yang disengketakan tersebut. Klaim China ini tentu bertentangan dengan  klaim negara-negara tetangga seperti Filiphina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Taiwan.

Klaim nine dashed-lines sepihak oleh China tak hanya menyeret negara pengklaim (Filiphina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Taiwan) saja namun juga menyeret negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan India yang memiliki kepentingan geopolitik dan geoekonomi di Laut China Selatan.

Konflik Laut China Selatan menambah rentetan daftar persaingan antara dua hegemoni, yakni Amerika Serikat dan China. Hal ini bermula sejak berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet. Amerika Serikat muncul sebagai hegemoni global serta dianggap sebagai kekuatan unggul yang tersisa. Namun, pergerakan dan usaha China sejak 1970-an melakukan konsolidasi menjadikan posisi Amerika Serikat sebagai adidaya tunggal semakin terancam. Perlahan, China mampu menggeser posisi Amerika Serikat dalam sektor ekonomi dunia, hingga dalam hal diplomatik.

Sejak jatuhnya Uni Soviet dan klaim nine dashed line, China bertransformasi menjadi kekuatan utama menyaingi Amerika Serikat. Kemajuan ekonomi serta teknologinya menjadikan sektor militer China juga mengalami perkembangan. Karena perkembangan inilah China di Asia Pasifik menjadi salah satu negara super power. Kebangkitan manuver dan militer China di Laut China Selatan disinyalir akan menyulut gejolak geopolitik kawasan lebih agresif. Beberapa kali China telah menunjukkannya dengan melakukan reklamasi atau pembangunan pulau buatan serta pembangunan pangkalan militer di wilayah Laut China Selatan. Sejak tahun 2012, China telah membangun instalasi militer serta landasan pesawat terbang di tujuh pulau buatan di LCS. Selain dalam sektor militer, dengan memanfaatkan kemajuan ekonomi dan teknologinya, China meningkatkan kekuatannya melalui hubungan diplomatis dengan memberikan bantuan kepada negara lain terkait dengan kebutuhan negara tersebut.

Konflik AS-China di Laut China Selatan merupakan perwujudan dari perjuangan kekuasaan geopolitik yang telah lama ada antara dua ekonomi terbesar dunia. Kemajuan China serta kekuatannya di kawasan Asia Pasifik khususnya terkait Laut China Selatan menambah kekhawatiran Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, kemajuan China merupakan ancaman terhadap hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Stabilitas Laut China Selatan sangat bermanfaat untuk menopang kepentingan dan kebutuhan nasional Amerika. Selain itu, Laut China Selatan merupakan area strategis bagi mobilitas pasukan militer Amerika Serikat. Untuk mengantisipasi ancaman dari China, Amerika Serikat melakukan strategi militer berupa rebalancing, yakni pemindahan kekuatan  militer dari US Central Command menuju US Indo Pacific Command.

Tak ingin ketinggalan, pada November 2017 Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India membangkitkan kembali kerjasama pertahanan yang disebut The Quadrilateral Security Dialogue yang disingkat The Quad. Tujuan The Quad adalah untuk mengimbangi kekuatan militer China, terutama di Laut China Selatan. Dengan nilai strategis yang dimiliki Laut China Selatan, tentu menjadi sangat wajar bagi Amerika Serikat dan China untuk bersaing dalam menguasai wilayah tersebut.

Kedua negara memiliki perbedaan cara pandang terhadap LCS. Amerika Serikat lebih mengedepankan hukum internasional yang memandang LCS sebagai laut bebas (high seas). Sedangkan China menggunakan faktor sejarah (nine dashed lines ) sebagai dasar klaim. Namun dibalik itu, tentunya faktor geopolitik dan geoekonomi lebih mendominasi perilaku bangsa-bangsa yang berkepentingan pada LCS. Konflik AS-China di Laut China Selatan merupakan perwujudan dari perjuangan kekuasaan geopolitik yang telah lama ada antara dua ekonomi terbesar dunia.

Sumber: The New York Times
Sumber: The New York Times

Kehadiran Amerika Serikat pada konflik Laut China Selatan menambah kemelut di kawasan Asia Tenggara. Karena Asia Tenggara lah yang bersinggungan dekat dengan Laut China Selatan sehingga konflik yang berkaitan dengannya akan terasa dampaknya kepada mereka.

Konflik di Laut China Selatan, yang telah menjadi perhatian utama dalam studi keamanan internasional, menyoroti kompleksitas geopolitik yang melibatkan AS dan China, serta dampaknya terhadap keamanan nasional negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Tentu saja, eksistensi konflik ini dalam tatanan keamana global tidak bisa diabaikan.

Indonesia bukan termasuk negara claimant di wilayah Laut China Selatan, namun memiliki kedaulatan di dekat wilayah tersebut. Indonesia secara langsung memiliki perbatasan dengan kawasan Laut China Selatan. Posisi Indonesia yang strategis karena menjadi "Choke Point" antara kawasan Samudra Pasifik dengan kawasan Samudra Hindia menjadikan Indonesia sebagai suatu negara penting karena kawasan lautnya menjadi akses strategis penghubung kedua samudera tersebut.

Untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya, Indonesia melakukan strategi balance of power. Tindakan dilakukan Indonesia untuk menyeimbangkan kekuatan dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan, salah satunya adalah memperkuat strategi pertahanan internal khususnya dalam lingkup pertahanan maritim. Selain itu, Indonesia juga melakukan kerjasama dengan negara-negara lain guna memperkuat kedaulatannya. Antara lain kerjasama ekonomi, politik dan militer.

Karena Indonesia bukan termasuk negara pengklaim kawasan Laut China Selatan, sehingga Indonesia berusaha netral menghadapi pusaran konflik di antara dua kelompok negara. Karena sikap netralitas inilah, Amerika Serikat dan China berusaha menjalin hubungan dengan Indonesia. China dengan kekuatan ekonominya, menawarkan bantuan investasi keuangan. Sedangkan Amerika Serikat dengan kekuatan industri militernya menawarkan bantuan kerjasama militer.

Indonesia menerima kerjasama dengan China dala sektor ekonomi. China menanamkan investasi untuk pembangunan di Indonesia. Hal ini tentu menguntungkan Indonesia guna mencapai pertumbuhan ekonomi. Walaupun penguatan kemandirian ekonomi dan penguatan peran Indonesia dalam diplomasi lebih tinggi daripada penguatan kapasitas pertahanan/militer, namun strategi ini mampu menyokong penguatan pertahanan dan militer Indonesia.

Datangnya banyak pengaruh asing ini menjadi hal yang harus dicermati oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan strategis guna mempertahankan kadaulatan Indonesia sebagai salah satu negara netral di kawasan Asia-Pasifik. Jika terjadi konflik antara AS dan China pada kawasan Laut China Selatan, tentunya akan berimplikasi langsung terhadap kedaulatan negara Indonesia di Natuna dan sekitarnya. Dihadapkan dengan pusaran konflik dua negara besar menambah daftar kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara terutama Indonesia terkait security dilemma. Laut China Selatan menjadi arena berperang antara China dan Amerika Serikat.

Tindakan provokatif Indonesia tentu akan memancing tindakan balasan yang dapat memicu konflik bersenjata sehingga menjauhkan pemecahan sengketa dengan cara damai. Hal ini akan menimbulkan instabilitas kawasan yang akan mencemaskan investor, mengganggu lalu lintas perdagangan, dan dengan sendirinya akan memengaruhi laju investasi ke ASEAN. Oleh sebab itu, menjaga kedulatan Indonesia, ASEAN dan China harus dilihat tidak terbatas hanya pada masalah sengketa LCS. Sebaliknya, Asia Tenggara mengharapkan keteladanan dari China sebagai negara terbesar di Asia.

Indonesia dan ASEAN menawarkan konsep yang dinamakan ASEAN Outlook for Indo-Pacific (AOIP). AOIP memandang LCS sebagai platform kerja sama negara-negara di Indo-Pasifik untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan di kawasan. Konsep AOIP selaras dengan prinsip ASEAN yang dalam sektor keamanan berorientasi untuk berupaya untuk menghindari konflik dan mengedepankan diplomasi damai.

Kehadiaran AOIP yang diprakarsai oleh Indonesia diawali dengan memperkenalkan an Indo-Pacific Framework for Mutually Beneficial Corporataion. Gagasan yang disampaikan Indonesia ialah terbentuknya rasa saling percaya serta menumbuhkan sikap saling berdialog dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam AOIP menegaskan bahwa ASEAN berperan sentral dengan tetap memerankan sikap netral terhadap dua kekuatan. Keberadaan ASEAN dalam meredam ketegangan perebutan hegemoni di kawasan Laut China Selatan berupaya menempatkan dirinya sebagai jalan alternatif dari dua kekuatan besar di kawasan. Tentu dengan lahirnya kerangka AOIP serta perjanjian pada tataran regional akan membawa babak baru dalam permasalahan perebutan hegemoni di kawasan Laut China Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun