Mohon tunggu...
Anggiat Simatupang
Anggiat Simatupang Mohon Tunggu... profesional -

Sederhana, namun mencoba bahagia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fresh ...!!!

26 Juli 2011   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panas terik di kota Makassar siang tadi sangat menusuk. Udara kering dan berdebu di jalanan terasa kurang bersahabat. Saya, yang sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba harus berhenti. Roda belakang motor kempes, karena tertusuk paku.

"Hufff...," saya membatin sembari melihat ke atas, ke arah matahari, yang sinarnya semakin panas saja. Saya mencoba mencari tempat berteduh. Nihil. Tersisa hanya bayangan tanaman-tanaman saja. Itupun hanya di dalam ingatan. Dulu, sebelum jalan propinsi satu-satunya di kota Makassar ini diperlebar, masih mudah mencari tempat berteduh.

Dulu, masih banyak pohon Akasia raksasa, berumur puluhan tahun di sisi kiri dan kanan jalan. Masih ada juga beberapa pohon pelindung besar dan rindang.

Sekarang, hanya terlihat beberapa tanaman Trembesi, Glodokan Tiang, dan Palem Raja yang masih remaja. Satu-dua tanaman terlihat daunnya menguning. Bahkan, beberapa tanaman sudah berwarna coklat. Kering. Itu pertanda, bahwa ajal menjemputnya.

Saya menyusuri pinggiran jalan terpadat dan tersibuk di kota Makassar. Jalan Urip Sumoharjo namanya. Ia satu-satunya jalan menuju Bandara Sultan Hasanuddin dari arah kota, selain melalui jalan tol, yang juga satu-satunya ada di Makassar. Mendorong sepeda motor di tengah panas terik matahari memang tidak mudah. Saya harus lebih sering menyeka keringat, yang mengucur seperti butiran-butiran air pada sebotol minuman dingin, yang sering digambarkan di iklan-iklan sebagai ikon kesegaran. "Fresh..!!!" Kata ini yang berusaha ditonjolkan oleh tim kreatif pemasaran perusahaan minuman dalam kemasan itu.

Namun, mustahil saya 'fresh' saat itu. Saya malah nyaris frus....tasi..!!! Bola mata saya liar mencari tukang tambal ban, yang biasanya ada di pinggiran jalan. Syukurlah. Sebelum semangat dan tenaga saya benar-benar terkuras habis, saya berhasil menemukan seorang tukang tambal ban. Hati saya gembira. Tapi, itu hanya sesaat.

Saya menyaksikan tukang tambal ban itu sedang marah-marah. Di depannya berdiri seorang anak kecil, yang membawa karung di pundaknya. Tanpa bermaksud menyela, saya pun mulai menyapa, "Bisa tambal ki', Daeng?". Tukang tambal itupun tiba-tiba berubah. Ekspresi marah di rona wajahnya menjadi ekspresi ramah. Ia tersenyum sembari berujar, "Iye' ki..".
Anak kecil itupun berlalu tanpa sepatah kata pun.

Naluri 'jurnalis' di batinku bergejolak. Saya berontak dan tidak rela membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja tanpa bertanya. Tapi, niat itu saya urunkan sementara. Tukang tambal ban itu masih sibuk membuka roda belakang ban motor, karena sebelumnya saya minta ia menggantinya saja dengan ban dalam baru.

Saya biarkan ia sejenak sibuk dengan aktifitasnya. Sementara saya juga tidak berdiam diri. Tentu, saya tidak bisa membantunya. Kejadian pada awal tiba tadi membuat saya mengingat pada peristiwa kurang lebih sebulan lalu....

Pemulung kecil itu tertunduk lesu. Ia sedang dimarahi oleh seorang ibu paruh baya, karena ketahuan mencoba mengambil sepasang sandal jepit usang, yang salah satu talinya sudah putus dari depan pintu gerbang pagar halaman rumahnya. Sandal itu sudah lebih seminggu terletak di sana.
Sekelumit cerita dari anak bangsa ini, yang tetap termarginalkan saat ia mencoba mengais rejeki di alam 'kehalalannya'.

Saya benar-benar tersentuh oleh peristiwa ini. Selain terjadi di depan mata, saya pun belum habis pikir, mengapa semakin mahal saja harga sebiji kepedulian? Apa susahnya merelakan sepasang sandal butut itu diambil oleh seorang pemulung, apalagi ia tidak memerlukan sandal itu. Batinku saat itu. Hal itu pun saya jadikan sebagai 'status' pada salah satu situs jejaring sosial terbesar di jagat ini. 'Status' saya itu mendapat banyak perhatian, komentar, dan pertanyaan yang dialamatkan ke kotak surat pribadi saya. Untunglah, masih ada juga peduli. Ungkapku saat itu pada diri sendiri.

Hari ini, tepatnya siang tadi... Kejadian yang kurang lebih sama terulang. Lagi-lagi pemulung kecil. Semakin menguatkan saya, bahwa peristiwa hidup ini hanya pengulangan. Ia cuma dibedakan oleh waktu, tempat, dan pelakunya.

Saya kembali mendekati tukang tambal ban. Ia dipanggil Daeng Lummang. Saya tidak bertanya nama aslinya. Saya malah khawatir pembicaraan menjadi kaku. Saya langsung saja bertanya tentang anak kecil tadi itu. Sambil tertawa ia menjelaskan, bahwa itu anak kandungnya dari istri kedua. Gleek..!! Saya tersentak dan sesaat tak mampu berkata-kata.

Selanjutnya, tanpa ditanya ia bertutur lancar. Ia dulu preman, meski baru umur 12 tahun. Tatto yang menyembul dari balik kausnya memperkuat ceritanya. Ia sudah merantau ke Kalimantan dan Malaysia. Ayahnya seorang petani kaya di desanya. Ia bangga bercerita, meski sesekali dahinya berkerut saat menceritakan bahwa ayahnya sudah lima kali beristri. Ibunya sendiri adalah istri ketiga, tapi juga pada pernikahan yang keempat dengan ayahnya. Awalnya saya pusing mendengarkan kisahnya, yang membuat saya sendiri heran, mengapa ia tidak sungkan menuturkan itu semua, padahal saya baru pertama kali bertemu dengannya.

Kembali ia bercerita soal anak kecil, yang ternyata anak kandungnya itu sendiri. Anak kecil ini adalah anak ketiganya, dari empat bersaudara. Berumur sekitar 8 tahun. Ia pun tidak tahu persis berapa umur anaknya. Ajaib, tapi nyata. Bisikku dalam hati.

Ia bercerita panjang lebar. Namun intinya, anak kecil ini meminta sekolah, seperti teman-teman sebayanya. Ia berdalih tidak memiliki biaya.

Penuturannya yang terakhir ini membuat saya betul-betul tidak bisa berkata-kata. Apalagi ban dalam motor saya sudah selesai diganti. Saya pun berlalu usai membayar dan mengucapkan terima kasih.

"Hufff...," keluhku sepanjang jalan kembali menuju rumah, lalu "Fresh..!!!" sorakku saat tiba di rumah, yang juga sebuah hutan bagi saya itu. (**)
Makassar, 26 Juli 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun