Mohon tunggu...
Anggiat Simatupang
Anggiat Simatupang Mohon Tunggu... profesional -

Sederhana, namun mencoba bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Korban Roy Suryo dan Ruhut Sitompul

26 Juli 2011   19:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13116974381832331271

[caption id="attachment_121377" align="alignnone" width="300" caption="Sumber Image: Kompasiana"][/caption]

Mencari Lapak

Dua hari lalu saya berkunjung ke lapak salah seorang Kompasianer di media ini. Saya menyantap dengan baik hidangan demi hidangan kata yang disajikan, tanpa menyisakan sebutir huruf pun. Tentu, saya masuk ke lapak ini bukan tanpa alasan. Saya memang sedang lapar saat itu. Mulailah saya berkeliling melihat-lihat, hingga berhenti,karena tertarik membaca sebuah menu utama yang disajikan. "Hmmm... Nyamiii..," gumam saya, lalu berpikir bahwa menu itu tentu enak dan gurih.

Menu Utama itu bertuliskan "Roy Suryo Tuding Wawancara Skype Iwan Piliang Dibayar", dengan chef, yang juga tercantum di bawahnya bernama Kompasianer Syariful Alam, salah seorang chef favorit, yang sering saya kunjungi lapaknya. Meski baru terdaftar mengelolah lapak sejak 17 Pebruari 2011, ia bagi saya sudah malang-melintang di dapur Kompasiana.Di sini saya bukan menulis tentang siapa itu chef Kompasianer Syariful Alam, melainkan menu hidangannya. Sadar, bahwa saya bukan orang pertama masuk ke dalam lapak, saya lebih memilih untuk menyimak perbincangan itu terlebih dahulu. Para pengunjung sebelum saya itu sedang membahas kegurihan menu. Pembahasan semakin hangat dan penuh canda, yang kadarnya semakin memanas.

Aturan Berpendapat

Sayapun mencoba melarutkandiri dalam canda-ria-panas itu, hingga seorang pengunjung, bernama Kompasianer Ki Blantank Klanthink, yang juga saya kenal sebagai chef kocak dan ceria lewat kreasi menunya, mencoba mendinginkan suasana lewat pendapatnya tentang Roy Suryo, yaitu salah satu bagian bahasan dari menu hidangan yang disantap bersama tadi. Saya pun tidak mampu menahan diri untuk diam. Saya mencoba bercanda,seiring irama ceria Kompasianer Ki Blantank Klanthink. "Ki, Roy Suryo itu siapa? Saya tahunya, Roy Martin. Hahahahaha...," kata saya. Entah terdengar atau tidak oleh Ki, demikian saya sebut saat menyapanya -maklum suasana saat itu hiruk-pikuk, bak sebuah lesehan yang padat pengunjung-, tiba-tiba seorang pengunjung lain menyeletuk, "@Gundul, roy itu sama dengan sampeyan, sarjana sospol".

Saya spontan melirik ke kiri dan kanan ruangan, tak seorangpun saya lihat gundul, kecuali saya. Belum yakin kalimat itu dialamatkan kepada saya, maka, "Boss Joko: maksud e opo," tanya saya masih dengan nada senyum, menganggap itu sebagai sebuah canda. Namun, jawaban kedua yang keluar darinya,"@Gundul, sampeyan dan roy sama-sama sarjana sospol, jurusan komunikasi hehehe." (Dialog, terlampir dalam potongan imej).

Hmmm.... “Gundul,” demikian ia memanggil nama saya. “sospol”, tudingnya sebagai fakultas yang pernah saya lalui, dan “jurusan ilmu komunikasi”, tambahnya sebagai jurusan yang saya geluti. Dan, tentu... “Roy Suryo”, tegasnya sebagai orang yang sama dengan saya. Apa maksudnya? Siapa Kompasianer misterius ini? Bingung. Mengapa ia tanpa ‘tedeng aling-aling’, langsung ba-bi-bu? Dan, apa hubungan Roy Suryo dengan saya? Inilah empat elemen dasar, mengapa saya menulis. Kesimpulan sementara, saya adalah korban dari seorang Roy Suryo..!!

Saya memang mempunyai selusin kenalan bernama Joko, yang profesi dan statusnya beragam, mulai dari anggota Brimob, tukang urut, tukang bakso, pemasaran produk jasa telepon sampai pada seorang teman yang kesehariannya bergelut dengan Ayam Ketawa, serta teman-teman lain, yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu di dalam tulisan ini. Tapi, Joko Wenampati? Saya tidak pernah ingat mempunyai seorang teman bernama itu. Apakah ini nama samaran? Bagaimana saya tahu, bahwa ia adalah teman saya, kalau dirinya sendiri disamarkan? Berkecamuk pertanyaan di benak saya saat itu. Puas..??? Entah mengapa juga, saya “tidak mood” mengiriminya “shout”. Mungkin, karena saya sudah berniat baik dan bertanya “apa maksudnya?” terdahulu, namun ia masih menyebut saya “gundul”, malah menambah informasi tentang saya. Ia pun masih ber-hehehehe pada bagian akhir kalimatnya.

Misterius

Saya tidak menyangkal tiga hal tentang saya, seperti yang ia sebutkan sebagai gundul, sospol, dan jurusan ilmu komunikasi. Saya memang gundul. Tapi nama saya bukan “Gundul”. Saya bisa paham, sah-sah saja penyebutan nama benda atau orang berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Hal itu disebut sebagai gaya bahasa Antonomasia. Tapi, aneh terdengar bila pengungkapan gaya bahasa ini keluar dari orang yang tidak saya “kenal”. Saya coba melirik foto profilnya, namun yang saya lihat hanya potongan peta Indonesia dengan uraian “gak penting banget” di bawahnya. Selanjutnya, mengapa ia bisa tahu, bahwa saya alumni sospol, jurusan ilmu komunikasi? Sementara, saya tidak tahu sama sekali siapa orang misterius itu. Mengapa harus menyembunyikan identitas? Apakah nyalinya sudah melayang bersama hilangnya seorang Nazaruddin, yang saya sendiri sudah sangat bosan mendengarnya? Saya hanya bisa bertanya pada diri sendiri. “Sudahlah,” batinku kemudian. Sikap dan perilaku seperti ini bukan hal baru, sekaligus menjadi bagian dari akar masalah, mengapa bangsa ini semakin terpuruk saja. Sikap “misterius”, ini maksud saya.

Prihatin. Sia-sia membahas hal seperti ini kepada orang yang lebih memilih bersembunyi. Saya memang pendatang baru di Kompasiana. Saya baru bergabung pada 20 Juli lalu. Hari ini saya baru genap seminggu. Namun, saya yakin Kompasiana hadir bukan sebagai “ajang mencari musuh”. Kompasiana bukan pula ring tinju, dimana dua orang berebut sabuk juara setelah bertarung otot dan sedikit pikiran. Kompasiana bukan sebuah kursi panas, yang memberikan imbalan menggiurkan sejumlah bla..bla..bla, setelah menyisihkan kontestan lain dalam beradu wawasan. Kompasiana adalah wadah untuk saling berbagi dan diharapkan saling mendukung di antara kompasianer, memberikan masukan dengan cara dan ketentuan yang ada. Semangat berbagi. Inilah keyakinan saya tentang hal yang diusung di dalam Kompasiasi. Bukan semangat memaki..!!!

Generalisasi, sebuah Tabiat Bangsa?

roy sama-sama sarjana sospol, jurusan komunikasi, demikian kalimatnya, yang saya kutip secara langsung, tanpa mengubah sehuruf pun. Ada hubungan apa Roy dengan saya, meski ia dan saya sama-sama dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Komunikasi? Saya tidak bisa menganggap remeh kalimat ini. Secara semiotik, ini bermakna negatif dan diskriminatif. Ini sebuah tabiat, yang secepatnya harus dimusnakan dari muka bumi Indonesia, bila bangsa ini benar-benar mau maju! Secara implisit, saya harus turut menanggung rajaman yang ditujukan kepada seorang Roy Suryo, karena ia menuding wawancara Skype Iwan Piliang itu dibayar.

Padahal saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Roy Suryo. Memangnya saya ini siapa? Seperti saya tulis di kotak uraian, saya hanya orang sederhana, namun mencoba bahagia. Melihat bayangan Roy Suryo secara langsung pun saya tidak pernah, apalagi menikmati hasil ketenarannya selama ia berkibar maupun dikibar-kibarkan. I don’t care about that. Mengapa akibat dari tudingannya itu saya harus turut menanggung? Saya hanya peduli terhadap cara berpikir anak bangsa ini. Jangan heran, bila pemikiran seperti ini diwariskan, maka akan awetlah Indonesia sebagai bangsa yang “tidak maju-maju”.

Indonesia kaya akan keragaman. Tapi, justru hal, yang seharusnya menjadi kekuatan inilah sering dimanfaatkan sebagai kelemahan. Betapa mudahnya bangsa ini dipecah-belah. Contoh lain sikap generalisasi, selain dari apa yang saya alami -seperti yang saya tuliskan ini-, masih sering terdengar, baik berupa perkelahian antar kelompok massa (RT, Kampung, suku, bahkan menjurus kepada SARA).

Singkatnya, tidak masuk akal misalnya, hanya karena seorang penjual es keliling menabrak seorang anak kecil hingga luka, maka semua penjual es keliling yang lewat di tempat itu dihakimi juga? Inikah tabiat bangsa? Bila iya, kita memang perlu benar-benar berubah dan berbenah diri!

Di dunia maya, ini hal kedua saya alami. Sebelumnya, sekitar sebulan silam saya juga mendapat komentar berbau generalisasidi salah satu situs jejaring sosial terbesar di planet ini. Meski, kali ini bukan karena seorang Roy Suryo lagi, melainkan seorang bernama Ruhut Sitompul atau yang kerap dijuluki sebagai “Si Poltak, Raja Minyak dari Medan!” Lagi-lagi, mungkin maksudnya bercanda. Saat itu, saya mencoba berpartisipasi membantu memberi komentar pada salah satu status seorang teman. Tapi komentar saya, -yang sebenarnya saya maksudkan berguna untuknya, karena ia bertanya- ditanggapi dengan kalimat, “Wah... Abang ini lagi yang muncul. Sekali-sekali si Ruhut Sitompul... lah”. Lagi-lagi saya korban dari Ruhut Sitompul.

Saya suka bercanda. Bila memang sebuah keharusan, saya bersedia mengurus ulang nama di Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan untuk menambahkan “Bercanda” sebagai nama tengah. Saya suka bercanda, tapi pada porsi dan konteks yang tepat.

Namun, bila menyangkut generalisasi, sektarian, sinkretisme, yang menyinggung SARA, No Way..!!! Come on... (**)

Kota Kecil Sudiang - Makassar, 27 Juli 2011

Dini hari, 03.38 WITA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun