Di tengah perhatian dunia internasional tertuju pada ajang pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali yang dihadiri oleh 189 negara (maju dan berkembang), hari ini Rabu (10/10/2018), info di Indonesia diwarnai oleh kenaikan harga BBM non subsidi (pertamax cs).
Bahkan, sore harinya harga Premium diberitakan akan naik 7 persen, walau pada akhirnya rencana itu dibatalkan atas perintah Presiden Jokowi. Kini harga Premium tetap, yaitu Rp 6.550 / liter. Rakyat perlu berterima kasih kepada Jokowi, karena normalnya, menurut harga minyak dunia harga premium sudah dijual Rp 9.000-an / liter.
Untuk diketahui, harga Pertamax per hari ini naik menjadi Rp 10.400/liter (sebelumnya Rp 9.500), Pertamax Turbo naik menjadi Rp 12.250/liter (sebelumnya Rp 10.700), dan Pertamina Dex naik menjadi Rp 11.850/liter (sebelumnya Rp 10.500). Dalam hukum ekonomi, BBM yang bahan baku utamanya minyak mentah memang harus naik harganya jika harga minyak mentah dunia naik.
Per hari ini harga minyak mentah dunia sudah naik lebih dari 2 kali lipat (lebih dari 200 persen) sejak 2016. Tahun 2016 harga minyak mentah dunia hanya berkisar 32 US dollar / barrel, sementara hari ini harganya telah melambung berkisar di angka 80 US dollar / barrel.
Meski begitu, kenaikan harga BBM di Pertamina, nyatanya tidak separah yang dilakukan misalnya oleh Shell (perusahaan minyak Belanda di Indonesia). Harga BBM jenis Super (sejenis Pertamax) mereka hargai Rp 10.500/ liter, harga V-Power (sejenis Pertamax Turbo) mereka hargai Rp 12.350/liter, dan Diesel (sejenis Pertamina Dex) mereka hargai Rp 11.850. Jadi, memang semua pelaku usaha perminyakan di dunia menaikan harga produknya demi kelangsungan bisnisnya. Â Â
Menariknya, di Indonesia (Pertamina) masih ada BBM jenis Premium, Pertalite (yang disubsidi Pertamina) dan Solar (disubsidi APBN) yang artinya dijual di bawah harga seharusnya demi kemudahan rakyat Indonesia (demi tidak naiknya harga bahan pokok).
Sejak harga minyak dunia terus merangkak sejak 2016 hingga hari ini bahkan harga Premium (Rp 6.550/liter) dan Solar (Rp 5.150) belum pernah naik sepeser pun, harga BBM di Indonesia pun termasuk yang termurah di Asia Tenggara, bahkan dunia.
Memang banyak ekonom yang menilai, seharusnya harga Premium dan Solar sudah naik. Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto misalnya, berhitung dengan harga minyak mentah yang 70 US dollar/barrel saja dan kurs Rp 13.200 per dollar saja, seharusnya harga Premium Rp 8.925/liter dan solar Rp 9.058/liter. Apalagi dengan harga minyak dunia yang sudah di atas 80 US dollar/barrel dan kurs Rp 15.000/dollar, tentu seharusnya harganya lebih dari itu.
Bahkan, mantan Menkeu Chatib Basri mengatakan, menaikan harga Premium dan Solar dapat mengurangi terjadinya defisit neraca berjalan (yang menjadi penyebab pelemahan rupiah). Hal itu karena, selama ini defisit neraca perdagangan didominasi oleh defisit di sektor migas.
Namun demikian, ternyata Jokowi tidak serta merta mengikuti logika bisnis. Sebagai presiden ia nampaknya juga memikirkan nasib para nelayan, pedagang kecil, dan petani, karena jika harga Premium/Solar naik, mereka akan terdampak dan harga bahan pokok pun bisa naik.
Jadi, ia memerintahkan Pertamina untuk melakukan efisiensi untuk menutup kerugian itu. JKW lebih menghendaki Pertamina yang sedikit berkorban daripada meminta rakyat kecil yang berkorban dalam hal ini. Itu perlu diapresiasi.