Akhir -- akhir ini masyarakat Indonesia terus dijejali informasi bahwa perekonomian saat ini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Isu yang paling santer terdengar misalnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pemerintah Indonesia terus mengalami kerugian, khususnya BUMN besar seperti Pertamina, PLN, dan Garuda Indonesia. Jika itu benar, tentu sebagai seseorang yang hampir setiap hari berjibaku dengan ilmu ekonomi merasa sedih. Namun demikian, apakah semua informasi itu benar?
Pertama, jumlah BUMN yang merugi hanya 24 BUMN, jumlah itu hanya 20 persen dari total 118 BUMN yang ada di Indonesia. Jumlah BUMN yang merugi pun lebih sedikit dibandingkan tahun 2013 di mana ada 30 BUMN yang merugi dengan total kerugian sebesar Rp 32,6 triliun. Sementara itu, pada 2017, Kementerian BUMN mencatat total kerugian yang dialami hanya Rp 5,2 triliun. Artinya, justru jumlah kerugian turun hingga enam kali lipat (84 persen).
Kondisi kerugian yang diderita BUMN terus berkurang didukung fakta bahwa laba yang dihitung dari seluruh BUMN yang ada terus meningkat. Pada 2014 laba BUMN tercatat Rp 159 triliun sementara pada 2017 laba tercatat sebesar Rp 173 triliun atau meningkat 8,8 persen.
Kedua, Pertamina tidak merugi, hanya mengalami penurunan laba. Hari -- hari ini kita selalu disuguhkan pemberitaan bahwa Pertamina bangkrut. Perlu diketahui, bangkrut merupakan kata yang berarti perusahaan dinyatakan pailit atau tidak dapat melanjutkan usahanya lagi. Hal itu jauh berbeda dengan rugi. Rugi adalah hal biasa dalam bisnis, rugi belum tentu bankrut. Akan tetapi, bankrut sudah pasti berawal dari kerugian terus-terus menerus.
Faktanya, Pertamina sebagai BUMN di bidang perminyakan bahkan tidak mengalami kerugian, melainkan hanya penurunan laba. Laba bersih Pertamina tahun 2017 sebesar 2,5 juta US Dollar atau Rp 36,2 miliar. Jumlah itu lebih rendah dibanding laba bersih Pertamina tahun 2016 yang mencapai 3.1 juta US dollar atau Rp 45,6 miliar.
Penurunan laba disebabkan oleh beberapa hal antara lain, karena Pertamina mensubsidi harga BBM satu harga di seluruh wilayah Indonesia (termasuk Papua) dan melesetnya asumsi harga minyak dunia pada 2018. Dalam APBN 2018 misalnya, harga minyak mentah dunia (90 persen bahan baku BBM di Indonesia) diperkirakan sekitar 40 Dollar AS per barrel, namun kenyataannya harganya melambung hingga mencapai 75 Dollar AS per barrel.
Kenaikan harga minyak dikeluhkan oleh banyak negara, artinya penurunan laba hampir juga dialami oleh seluruh perusahaan minyak dunia, tidak hanya Pertamina. Hal itu terlihat dari Shell (perusahaan minyak AS) dan Total (perusahaan minyak Perancis) yang menaikan harga BBM nya. Pertamina tidak menaikan harga BBM bersubsidi untuk menghindari inflasi serta mencegah melemahnya daya beli masyarakat.
Meski begitu, jika dilihat dalam kurun waktu 2014-2017, laba bersih pertamina justru tumbuh rata-rata 10,03 persen. Bahkan dibandingkan tahun 2014, laba bersih pertamina pada 2017 melonjak 75,5 persen. Pada 2014 Pertamina membukukkan laba bersih 1,4 juta Dollar AS, sementara tahun 2017 laba bersihnya sebesar 2,5 juta Dollar AS.
Ketiga, sama halnya dengan Pertamina, PLN pun hanya mengalami penurunan laba. Pada 2017, laba PLN sebesar Rp 4,42 triliun. Jumlah itu turun 45,7 persen dari tahun 2016 yang labanya tercatat sebesar Rp 8,15 triliun. Salah satu penyebab penurunan laba ialah naiknya biaya produksi seiring naiknya harga bahan bakar dan pelumas.
Terakhir, tentang Garuda Indonesia, kerugian pada 2017 disebabkan oleh peningkatan beban operasional. Selain karena kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur), GI membayarkan denda terkait pelanggaran persaingan usaha di Australia, serta GI mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) agar pajak yang menunggak puluhan tahun sebelumnya dapat dibersihkan pada 2017.
Menjadi wajar jika pengeluaran GI tahun 2017 membengkak. Adapun kerugian yang dialami sebesar 213,39 juta US dollar.