Hantu Bermuka Rata
(Didalam kerusuhan 1998)
      Siapa yang tidak tau tentang kerusuhan 1998? Kebetulan kalau aku masih menempuh pendidikanku di luar negri, jadi tidak mengetahui secara jelas bagaimana keadaan kerusuhan ini sendiri di Indonesia. Aku mendapatkan cerita kisah nyata dari seorang teman yang kebetulan saat itu tinggal di daerah Slipi Jaya Jakarta. Panggil saja nama Redy.
1998
      Siang itu Redy bergegas meninggalkan rumah karena dia sudah terlambat untuk masuk kuliah. Dengan celana jins dan kaos oblong putih, dia menggendong tas nya menyusuri teriknya matahari siang itu. Redy merasa langkahnya diikuti beberapa orang dibelakangnya hingga ia menengok ke belakang. Dia melihat beberapa pemuda sedang berlari kecil kearahnya, dia tampak bingung lalu minggir dari jalan. "Ada apa ya?" tanyanya dalam hati. Mereka terlihat seperti dikejar hantu, jalannya sangat cepat. Redy kembali berjalan seperti biasa, lalu tak lama banyak pemuda mengikutinya dari belakang dengan berlarian kecil, ia panik dan minggir sementara.
      "Pak, ada apa sih?" tanyanya kepada salah seorang yang ikut berlari.
      "Penjarahan di Slipi Jaya!" katanya sambil berlari kecil mengejar teman-temannya yang berada didepan. Redy tampak bingung, dia bingung akan melanjutkan pergi ke kampus atau justru kembali ke rumah, nampaknya orang mulai berbondong-bondong lari ke arah mol Slipi Jaya dan dia tidak tau bagaimana kondisi disana. Dia tetap berjalan ke arah mol tersebut tempat ia mencari angkot. Akhirnya dia memutuskan untuk terus berjalan dan lanjut ke kampus walaupun dengan hati yang mulai tidak tenang. "Ah sudahlah, kun fayakun!" dalam hati.
      Sesampainya dia ditempat angkot, dia melihat ribuan orang di sekitar itu. Banyak orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam mol tersebut. Redy ikutan panik melihat itu, cepat-cepat ia berlari kearah motor ojek yang tak jauh dari arahnya.
      "Bang, ke kampus bang!" katanya seraya langsung naik keatas motor.
      "Ya, ayo cepat!" katanya menghidupkan motornya.
      "Wah ini pasti kacau nih mol, gue bingung ntar balik naik apa?" tanyanya dengan abang ojek didepannya.
      "Tenang aja bang, kalau mau ditungguin, saya tunggin!" kata abang ojek itu menjawab pertanyaanya. Sekilas ia melihat seorang berambut panjang dengan daster merah berdiri menunggu di depan halte, Redy heran melihatnya seperti sosok yang ia kenal. "Kok itu orang diam saja? Apa tidak takut ya?" tanyanya dalam hati. Semakin ramai keadaan disana, untung ojek yang ditumpanginya cepat berjalan. Akhirnya mereka berdua dapat lepas dari daerah itu dan menuju kearah kampus dengan aman.
      Sesampainya di kampus, abang ojek itu masih tetap menunggu di luar pagar. Redy belum memberikan jawaban apakah akan langsung pulang atau menunggu dosen nya. Sementara waktu keadaan kampus sepi, tidak ada mahasiswa yang berseliweran di parkiran. Keadaan kampus yang biasanya ramai, sepi seperti kuburan. Redy berlari kearah kelas, ternyata semua kelas tutup dengan tulisan didepannya, "DI LIBURKAN!". Redy menghela nafas panjang, sepertinya kerusuhan ini sudah sampai disini. Redy lalu berlari kembali ke luar untuk menghampiri abang ojek. Abang ojek menunggu di luar pagar kampus sambil sembunyi tapi untung Redy langsung melihatnya.
      "Bang, ayo bang! Sudah ramai ini!" kata Redy langsung loncat ke motor.
      "Kita tidak bisa lewat jalan tadi, bang. Harus berputar ke belakang, karena jalan protokol semanggi sampai kampus Trisakti sudah diserbu warga dan mahasiswa!" katanya sambil berlari menuju motornya.
      "Hah? Kok bisa? Tau dari mana?" tanya Redy pada tukang ojek.
      "Benar bang, tadi saya nonton TV kecil tuh punya tukang warung. Saya lihat di TV sudah ramai di depan jalan Semanggi, MPR dan Trisakti. Apalagi Slipi jaya bang, itu kan satu jalur." Katanya panik kepada Redy. Alhasil mereka berdua berputar-putar mencari jalan kearah Slipi tapi semuanya sudah di tutup oleh tank dan mobil-mobil polisi. Dari kejauhan mereka lihat beberapa ada yang bermain dengan api, akhirnya memutuskan untuk putar balik.
      "Sepertinya tidak aman nih bang, kita tunggu saja di daerah selatan." Kata Redy kepada tukang ojek tersebut. Tukang ojek langsung memutar arah balik kearah Sudirman. Mereka berdua bingung harus kemana, semua jalan ditutup dan tidak dapat dilewati. Mereka lihat jalan sudirman sudah seperti lautan manusia.
      "Duh, kemana nih kita?" tanya Redy sambil melihat kearah depan jalan.
      "Saya punya saudara daerah Karet bang, kalau mau kita singgah dulu disitu." Tanyanya sama Redy.
      "Baiklah bang, sepertinya itu pilihan tepat!" jawab Redy dan motor pun melaju dengan cepat.
      Sesampainya mereka di daerah Karet Kuningan, sudah tidak lagi ada manusia satupun dijalan, mereka memasuki gang-gang kecil kearah rumah saudara ojek tersebut. Tak lama mereka sampai dirumahnya, Redy turun dan duduk di emper teras rumahnya.
      "Ini gawat banget bang, sepertinya akan ada perang disini!" kata Redy sambil mengatur nafasnya. "Bukan main, serem sekali itu jalan."
      "Ya bener bang, saya juga deg-degan, ini motor belum lunas!" katanya menjawab pertanyaan Redy. Mereka berdua akhirnya bisa duduk di emperan teras rumah tersebut. Tak lama seorang wanita tua pun membuka pintu untuk mereka.
      "Hei tong, buruan masuk! Masukin juga itu motor, jangan ditaruh diluar!" kata wanita tua itu lalu membuka pintu dan membantu memasukkan motor kedalam.
      "Ya mak!" jawabnya singkat mendorong motornya masuk.
      "Ini kerusuhan, di TV sudah ada bakar-bakaran, penjarahan dimana-mana." Kata wanita tua itu sambil menutup pintu dan kembali duduk di depan TV. Redy melihat acara TV tersebut dan panik. Abang ojek mengambilkan minum air putih untuk Redy di dapur lalu berjalan memberikan padanya. Sesaat setelahnya, abang itu diam tidak bergerak melihat ke arah jendela, segerombolan anak muda menggotong-gotong TV dan kulkas sambil tertawa-tawa, terlihat juga ada membawa rak, meja belajar, lemari kayu hingga mesin cuci.
      "Itu penjarahan! Gila mereka, apa tidak takut tertangkap?" kata abang ojek itu menunjuk kearah jendela, Redy bergegas berlari kearah kaca jendela yang sedikit terbuka. Di belakangnya terlihat wanita yang persis sama menunggu di halte tadi, ia melihat jelas tubuhnya dari belakang dan pakaiannya yang sama persis. Lalu ia melihat kearah betis kakinya yang seperti ada darah mengalir dari situ. Redy lalu menutup jendela itu dan duduk di bangku tamu sambil terengah-engah.
      "Ada apa bang?" tanya tukang ojek itu melihat reaksi Redy.
      "Hantu! Hantu bermuka rata!" jawabnya kepada tukang ojek tersebut.
      "Apa? Kenapa siang-siang ada hantu?" tanyanya aneh kepada Redy.
      "Saya juga ga ngerti bang, itu yang saya lihat di halte tadi. Baju dan tubuhnya sama persis. Itu yang ada di halte Slipi Jaya!" jawabnya panik ketakutan. Mereka berdua terdiam. Tak lama kemudian, wanita tua itu membawa baki berisi makanan dan menaruhnya dekat mereka.
      "Sudah sudah, jangan panik lagi! Kita makan dulu yuk!" jawab wanita tersebut.
      Saat itu Redy masih menunggu kerusuhan itu berakhir, dia melihatnya lewat TV yang selalu mereka tonton sejak datang tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, Redy masih bingung bagaimana cara untuk mengontak ibunya dirumah, apakah ibu baik-baik saja. Saat itu Redy tidak memiliki HP ataupun alat komunikasi, di rumah wanita tua itu pun tidak ada telfon rumah. Redy kembali panik karena dia takut ada apa-apa dengan ibunya dirumah.
      "Bu, disini ada wartel?" tanyanya pada wanita tua tersebut.
      "Ada nak tapi agak jauh, yang dekat sini ada telfon umum. Tapi ibu tidak tau apa masih menyala atau tidak." Katanya menunjukkan arah jalan yang dimaksud
      "Ya baik bu, saya kesana dulu. Bang, boleh menemani saya bang, saya kurang paham daerah sini." Kata Redy sambil mengajak tukang ojek tersebut.
      "Ayo bang, saya tau deket sini ada telfon umum." Katanya seraya membuka pintu rumah. Dilihatnya keadaan di gang itu sangat ramai, mereka diluar seperti berpesta dan tertawa-tawa. Belum sampai mereka disana, Redy melihat sosok hantu bermuka datar itu. Dia tak dapat berjalan, tak dapat melangkahkan kakinya, seketika ia lemas dan jatuh. Tukang ojek itu bingung lalu, memanggil teman-temannya untuk menggotong Redy, Redy masih sadar hanya saja tubuhnya lemas. Pada waktu tukang ojek itu memanggil temannya, Redy mendengar suara itu.
      "Redy, ibu tertahan didalam mol!" kata-kata itu membuat pandangannya kosong seketika, hantu bermuka datar itu pun berjalan meninggalkannya. Redy terdiam dan secara tidak sadar air matanya turun.
      Ternyata memang benar, setelah pulang kerumah, sudah ada bendera kuning terpasang di depan rumahnya.
Penulis Nada, seorang penulis, produser film, stand up comedian, bekerja dibidang kesenian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H