Indonesia, dengan keragaman suku dan budaya yang menjadikannya sebagai negara dengan kehidupan multikultural yang memiliki nilai dan ciri khasnya tersendiri. Tetapi sayang, masih banyak warga Indonesia yang belum menerima dengan sepenuhnya keragaman tersebut.
Hal itu kerap menimbulkan konflik-konflik yang disebabkan oleh “ciri khas” dari negaranya tersebut. Konflik-konflik yang mencuat ke permukaan akan semakin tampak dan berdampak pada kaum kecil yang disebut dengan minoritas. Kaum Minoritas sering kali dianggap sebagai kaum yang lemah dan tak berdaya dan menjadi sasaran empuk bagi kaum mayoritas yang katanya “berkuasa”.
Hampir di setiap negara, kaum minoritas jadi semacam keyakinan yang tak terpatahkan di tengah pikiran ideologi kaum mayoritas. Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia sejak saat merdeka sampai dengan hari ini. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Struktur politik yang berubah dari otoriter menjadi demokratis merupakan salah satu perubahan mendasar yang terjadi (Pratikno, 2013).
Kaum-kaum minoritas yang seolah dipenjara hak-hak konstitusionalnya selama pemerintahan orde baru, kembali muncul dan menuntut kesetaraan hak dan perlakuan yang layak seperti yang didapatkan oleh kaum mayoritas. Namun faktanya, pemenuhan hak-hak untuk kaum minoritas tersebut masih jauh dari harapan. Suatu kelompok akan dinamakan minoritas jika kelompok tersebut berbeda identitas dengan kelompok mayoritas, seperti berbeda dari segi bahasa, agama, etnis, budaya, maupun orientasi seksual.
Sudah lelah, namun tetap tak ingin menyerah saat mendengar atau melihat kasus diskriminasi yang semakin merajalela. Berdiam diri bukan berarti tidak tahu, sebaliknya bertindak pun belum tentu sudah paham.
Manusia sesungguhnya memiliki jiwa yang baik, hanya saja keegoisan telah menutup mata dan hati mereka demi kepuasan yang tak nyata adanya. Di saat itulah ketika hal yang merugikan pihak lain dianggap berada di jalan yang benar padahal perasaan dan pendapat mereka tak lagi didengar. Memang sulit membuat para mayoritas sadar bahwa dibalik kebahagiaan serta kepuasan yang mereka agungkan justru terdapat penderitaan yang mereka ciptakan.
Diskriminasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan cara meremehkan atau merendahkan pihak minoritas demi tujuan tertentu. Pihak mayoritas merasa memegang kuasa lebih untuk menjatuhkan dan membuat oihak minoritas merasa semakin tidak berdaya. Kesenjangan maupun ketimpangan ini tentu sangat tidak adil dan akan memberikan kerugian dalam bentuk fisik maupun mental terhadap korbannya.
Diskriminasi adalah hasil dari intelektual manusia yang berakar dari kesalahan kognitif. Dalam ilmu psikologi, otak manusia merupakan suatu prosesor yang mengelola keseluruhan informasi sehingga menghasikan keputusan dan tindakan. Otak manusia mengolah semua informasi termasuk persepsi, baik persepsi negatif mapun persepsi positif, atensi, bahasa, ingatan, proses penalaran dan kesadaran. Prasamgka buruk juga hadir dalam pikiran manusia dengan tujua untuk meningkatkan citra diri dari seorang individual atau kelompok.
Individu atau kelompok yang menganggap remeh kelompok lain secara emosional akan menghasilkan prasangka bahwa ia lebih baik dari orang maupun kelompok lain dan secara alamiah ia akan memiliki persepsi bahwa ia berhak untuk memimpin atau mendominasi orang atau kelompok lain. Prasangka membentuk keseragaman informasi dalam penalaran manusia yang kemudian dikenal dengan stereotip. Stereotip yang sudah terbentuk membuat seseorang tidak berpikir panjang apalagi dengan pengetahuan yang telah ditanamkan oleh orangtua mereka dari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label kepada orang lain.
Menurut Eagly dan Diekman yang merupakan pakar psikologi dari Amerika Serikat, prasangka adalah suatu sikap yang sangat kontekstual. Konteks disini diartikan sebagai keselarasan antara streotip dan harapan peran sosial dari objek sosial tertentu. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka muncul sikap negatif atau yang disebut juga dengan diskriminasi. Jadi secara teoritis, tindakan diskriminasi adalah hasil dari streotip yang terbentuk sejak lama dan mengakar secara alamiah dibawah alam sadarnya. Hal ini menjadikan diskriminasi sebagai budaya yang telah melekat pada pikiran manusia.
Upaya untuk mengatasi masalah ini membutuhkan para ahli psikolog budaya untuk menjelaskan bahwa perbedaan yang ada bukan berarti perpecahan, tapi bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut dengan bijak sehingga menghasilkan berbagai corak dengan warna yang beragam nan indah. Lalu para ahli juga harus mengkampanyekan kepada orangtua untuk merubah cara pandang lewat pengasuhan dan pendidikan sejak dini untuk menanamkan kesetaraan antar ras, suku, serta budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H