Ketika pada Senin (10/6) KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus BLBI, pada umumnya publik tidak peduli. Mungkin karena mereka tidak mengerti duduk persoalannya. Maklum ini kasus yang sudah sangat lama sehingga banyak orang tidak ingat lagi, terlebih generasi milenial yang lahir tahun 90-an.
Melalui konferensi pers, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Sjamsul Nursalim (SN) turut diperkaya oleh keputusan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004. Menurut versi KPK, negara dirugikan sebanyak Rp 4,58 triliun. SAT kini masih melakukan upaya hukum melalui kasasi di Mahkamah Agung karena tidak terima dipersalahkan.
SN adalah salah satu obligor BLBI yang telah menerima SKL. Padahal SKL sebenarnya hanya keputusan yang bersifat administratif yang diperlukan karena pemerintah akan membubarkan BPPN. Hal yang paling mendasar, para obligor penerima SKL tersebut beberapa tahun sebelumnya sudah menandatangani MSAA dengan pemerintah, bahkan sudah menerima surat Release and Discharge (R&D).
Kini SN dan istrinya ditetapkan sebagai tersangka. Ia dituding KPK masih berutang. Lantas apa lagi arti MSAA dan R&D dimana pemerintah menjamin SN bebas dari tuntutan hukum? Bukankah keputusan KPK tersebut mencederai janji dan komitmen pemerintah? Bukankah KPK adalah bagian dari pemerintahan yang harus menghormati keputusan hukum yang sah dan mengikat?
Tidakkah ini aneh?
Wajar kalau pengacara SN, Maqdir Ismail mengatakan menjadi tidak adil kalau kliennya dijadikan tersangka dan dikait-kaitkan dengan SKL dari BPPN. Pada 25 Mei 1999 Menteri Keuangan dan Ketua BPPN memberikan kepada SN Surat Pembebasan dan Pelepasan (Release and Discharge - R&D). Dokumen negara itu kemudian dipertegas dalam akta “Letter of Statement” yang dibuat dihadapan Notaris Merryana Suryana.
Jaminan kepastian hukum atas penyelesaian BLBI ini kemudian dipayungi Undang-Undang RI No. 25/2000 (UU Propenas), Tap MPR No. X/2001, Tap MPR No. VI/2002 serta Inpres No. 8/2002. Seluruhnya menegaskan bahwa bagi pemegang saham bank yang telah menandatangani MSAA dan telah memenuhi kewajibannya wajib diberikan jaminan kepastian hukum.[1]
Hasil audit investigasi BPK pada 31 Mei 2002 mengkonfirmasi seluruh kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999. Oleh karenanya, Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN pada 26 April 2004 hanyalah merupakan surat penegasan bahwa kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999.[2]
Sehubungan dengan penutupan BPPN, BPK di tahun 2006 memeriksa semua proses penyelesaian BLBI, termasuk penerbitan SKL. Auditor tertinggi negara itu mengeluarkan Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN, No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006. BPK dengan tegas menyatakan bahwa SKL layak diberikan kepada SN karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA. Laporan BPK ini resmi diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.[3]
Saat ini, KPK mendasarkan tuntutannya berdasarkan audit BPK tahun 2017. Audit yang digunakan dalam tuntutan KPK ini sendiri bertentangan dengan dua audit BPK sebelumnya dan sedang dalam proses penggugatan oleh Sjamsul Nursalim di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
Langkah KPK terkesan begitu tergesa-gesa. Bagaimana nanti kalau gugatan SN di PN Tangerang dimenangkan dan BPK dikalahkan? Bagaimana dengan hasil audit investigasi 2017 yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara? Selain itu, seharusnya KPK memegang teguh prinsip penegakan hukum “equity before the law”—persamaan di hadapan hukum termasuk untuk SN dan istrinya.