Mohon tunggu...
Nada Karima
Nada Karima Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Nada Karima lahir pada tanggal 29 April 2002, Bantul, Yogyakarta. Penulis mempunyai hobi menulis sejak kecil, dimulai dari menulis cerpen, artikel, hingga novel. Novel perdananya telah dirilis pada 2018 silam. Nada merupakan alumni Darussalam, Jawa Timur. Setelah lulus ia sempat mengajar selama satu tahun sebelum melanjutkan kuliahnya. Ia pernah memenangkan lomba menulis generasi sastra Gen-Z dengan kategori cerpen terbaik tingkat nasional. Beberapa karya cerpennya telah dimuat dalam buku antologi maupun platform-platform tertentu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan KAI Commuter Jogja-Solo Tidak Semembosankan Itu!

1 September 2023   15:43 Diperbarui: 1 September 2023   15:48 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana interior KAI Commuter | Sumber: Dokumen pribadi

Perjalanan kereta komuter yang kutumpangi ini akan melewati sebelas stasiun, diantaranya; Stasiun Tugu, Lempuyangan, Maguwo, Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, Gawok, Purwosari, dan tujuan akhir Solo Balapan. Melihat rute perjalanan yang tertempel di dinding gerbong membuatku terbayang pasti perjalanan ini akan terasa membosankan. Namun ternyata kenyataannya tidak demikian.

Kubuka tirai jendela yang menutupi pemandangan luar. Seketika cahaya mentari menembus masuk. Tampak sawah seluas mata memandang. Setelah kereta melewati Stasiun Maguwo, rerumputan bersatu padu dengan megahnya Gunung Merapi. Kereta semakin menderu ketika melewati jembatan anak kali opak. Kereta terus melaju mendekati Stasiun Brambanan. Ketika itulah pemandangan sawah Candi Kalasan terlihat.

Aku selalu mendongakkan kepala untuk melihat keadaan luar ketika kereta berhenti. Penumpang keluar masuk silih berganti. Para penumpang baru berburu masuk untuk mendapat kursi. Realistis saja, pasti semua orang ingin duduk nyaman dalam perjalanan panjang ini. Beberapa sibuk dengan ponselnya, beberapa lagi menyumpal telinga dengan earphone untuk menghalau kebisingan, beberapa lagi memilih untuk tidur. Kembali lagi ke hati nurani masing-masing; ada baiknya kita meninggalkan rasa acuh tak acuh dan menurunkan ego untuk berbagi tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan.

Kereta terus melaju. Pemandangan lumbung-lumbung padi terlihat setelah kereta melewati Stasiun Srowot. Aku bergumam tatkala kereta melewati railway crossing. Tampak beberapa kendaraan berhenti di balik palang bercat merah-putih. Beberapa pengendara motor mengernyitkan dahi lantaran teriknya sinar matahari. Aku bisa menebak beberapa menit yang lalu gardu-gardu itu pasti menerima sinyal akan datangnya sebuah kereta. Beberapa menit lalu menutup palang dan membunyikan sirine peringatan. Aku yakin para pengendara itu memiliki kesibukan, namun mereka rela bersabar untuk sekedar menunggu kereta melintas.

Ah ya, mengenai gardu-gardu itu...

Aku jadi terbayang bagaimana proses pembangunan jalur kereta sepanjang tanah Jawa ini. Pasti prosesnya tidaklah mudah dan murah karena banyak infrastruktur yang harus dibangun seperti tiang dan kabel untuk aliran listrik sepanjang jalur. Rumah gardu di beberapa titik dibangun untuk menyuplai listrik. Kini KAI Commuter hadir menjadi moda transportasi alternatif yang memberikan banyak manfaat.

Kehadiran KRL membuka banyak peluang kerja bagi masyarakat. Bahan bakarnya yang berbasis listrik dapat mengurangi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga dapat memaksimalkan upaya hemat energi. Selain itu penggunaan kereta api komuter dapat membantu mengurangi polusi udara. Jika masyarakat beralih menggunakan transportasi umum, otomatis kendaraan bermotor di jalan akan berkurang sehingga mengurangi jejak karbon yang dihasilkan. Perjalanan menggunakan KRL juga dapat menyingkat waktu perjalanan karena kereta beroperasi di dalam jalur khusus sehingga terhindar dari kemacetan lalu lintas.

Aku masih memandangi pemandangan di luar kereta. Tak jarang kereta yang kutumpangi berpapasan dengan kereta api jarak jauh. Aku begitu takjub melihat perbukitan Gunung Kidul di bagian selatan dan Gunung Merapi di bagian utara. Terlebih saat kereta melintas di jalur antara Stasiun Ceper dan Delanggu, tampak Gunung Merbabu bak berdampingan dengan Merapi.

Tak terasa hampir satu jam aku memandang ke luar jendela. Nyatanya perjalanan ini tidak semembosankan itu. Saat keretaku mulai memasuki Kota Solo, pemandangan sawah mulai berkurang, tergantikan dengan pedesaan dan pemukiman warga. Fly over Purwosari bak mengambang di atas kereta. Sedikit demi sedikit kereta mengurangi lajunya hingga kereta berhenti dengan sempurna. Inilah pemberhentian terakhirku; Stasiun Solo Balapan.

Belum keluar dari gerbong saja aku sudah bisa mendengar sayup-sayup instrumen lagu Bengawan Solo. Mataku menyapu sekitar, berdecak kagum melihat desain bangunan yang masih membekas nuansa zaman kolonial. Sudah pasti dulu stasiun ini berada di bawah genggaman Belanda. Semakin berjalannya waktu, Stasiun Solo Balapan melakukan redesain serta perbaikan demi mencapai standarisasi stasiun dan memaksimalkan pelayanan. Mencipta gaya klasik-modern yang penuh estetika.

Kakiku melangkah mengikuti papan arah menuju pintu keluar. Kulakukan tap-out dengan menempelkan kartu Multi Trip hingga lampu mesin menyala menjadi hijau. Dorong palang putar dan dengan begitu saldo otomatis berkurang delapan ribu rupiah. Aku beranjak menyusuri lorong. Terdapat eskalator yang menghubungkan kita dengan sky bridge. Di sana kita bisa melihat pemandangan sekitar stasiun. Setelah itu cukup ikuti papan arah hingga sampai di pintu keluar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun