Sejauh ini penanaman pohon masih menjadi cara paling efektif untuk meredam gas emisi. Deforestasi yang tergantikan oleh reforestasi pada lahan-lahan kritis terus memperbaiki oksigen bumi, selaras dengan target Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menetapkan gas emisi karbon dari sektor kehutanan nihil pada 2030.
Selain penanaman pohon, meminimalisir pemakaian bahan bakar fosil juga dapat menekan jejak karbon. Sayangnya, sebagian besar aktivitas manusia masih menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, gas, dan minyak. Transisi energi dari bahan bakar fosil menuju sumber energi ramah lingkungan dan terbarukan masih menjadi tantangan hingga saat ini.
Energi terbarukan adalah sumber energi yang tersedia oleh alam dan bisa dimanfaatkan secara terus-menerus seperti energi matahari, energi angin, energi air, dan energi panas bumi. Penggunaan energi terbarukan menjadi solusi dari eksplorasi komoditas yang telah merusak lingkungan serta pencemaran. Selain itu, optimalisasi energi bersih juga dapat menciptakan masyarakat yang mandiri energi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Namun dikarenakan minimnya investasi di sektor energi terbarukan serta kesenjangan teknologi, pengembangan energi terbarukan menjadi terhambat sehingga pemanfaatannya masih sedikit.
Gas emisi juga dapat diminimalisir dengan efisiensi penggunaan transportasi. Tindakan yang bisa kita lakukan adalah mengurangi berkendara dan beralih menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Opsi lain adalah pemberlakuan pemerintah untuk menata kembali sektor transportasi sehingga masyarakat dapat beralih ke transportasi umum. Selain dapat mengurangi kemacetan, menaiki kendaraan umum juga dapat mendukung proses dekarbonasi. Polusi dan emisi menurun sehingga lingkungan tak banyak menyerap bahan beracun. Dengan begitu, emisi karbon mencapai titik terendah emisi sehingga kesehatan masyarakat pun juga meningkat.
Langkah terakhir yang dapat kita lakukan untuk menekan jejak karbon yakni efisiensi energi pada rumah tangga. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat konsumsi listrik per-kapita di Indonesia sebesar 1.173 kilowatt hour (kWh) pada 2022. Jumlah itu meningkat 4,45% dari tahun sebelumnya yang sebesar 1.123 kWh. Pernyataan ini menunjukkan besarnya angka penggunaan listrik di Indonesia. Mirisnya hal yang mendominasi produksi listrik itu sendiri adalah pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan PLTU batu bara yang menjadi kontributor utama. Padahal penambangan batu bara mulai dari pengolahan hingga pembuangan limbah secara tidak langsung merusak biodiversitas. Belum lagi rusaknya transformasi material dan nutrisi dalam ekosistem yang berdampak langsung pada vegetasi tanaman. Ujung-ujungnya terjadilah global warming dan penumpukan gas emisi.
Peralihan penggunaan energi listrik menuju energi bersih seperti memasang panel surya atau penggunaan lampu LED dapat mengurangi efek yang ditimbulkan. Cara lain yang bisa dilakukan adalah mengkonversikan energi kinetik menjadi energi listrik dengan memasang kincir pada daerah yang memiliki arus. Putaran kincir air/ angin ini akan memutar generator sehingga menghasilkan energi listrik.
Seperti itulah benang-benang kegiatan manusia yang berujung pada gas emisi. Sudah tak terbayang setipis apa lapisan bumi di atas sana yang kian terkikis. Kerusakan alam yang terjadi saat ini bukan terjadi pada kita, melainkan karena kita. Hal sederhana seperti pemasangan panel surya maupun menanam pohon di halaman rumah memiliki kontribusi besar untuk meminimalisir emisi karbon saat ini. Merawat lingkungan hari ini dapat menciptakan kehidupan esok yang lebih baik. Pilihannya hanya ada dua; membeli tabung oksigen atau menjaga oksigen gratis yang sudah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H