Beberapa hari yang lalu ramai berita tentang Tin Zuraida, perempuan yg membuang uang milyaran rupiah saat rumahnya digrebek KPK tahun lalu.
Rumahnya digerebek tahun lalu terkait dugaan suap penajuan Peninjauan Kembali di Pengadilan Jakarta Pusat. Penggrebegan rumah Tin Zuraida merupakan pengembangan atas penangkapan seorang panitera Pengadilan Negeri Jakpus yg diduga melibatkan Nurhadi yg saat itu menjabat Sekretaris Mahkamah Agung RI. Nurhadi sendiri adalah suami dari Tin Zuraida.
Kehebohan belakangan ini terjadi karena Tin Zuraida yang sempat membuang uang ke WC tersebut ternyata telah diangkat jadi Staf Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men. PanRB).
Tentu pengangkatan Zuraida bukan karena reputasinya mengamankan duit di lubang wc. Ia diangkat jadi staf ahli karena keahliannya di bidang hukum. Selain bergelar Doktor, Tin Zuraida juga adalah mantan pejabat eselon 2 di Mahkamah Agung Ri. Setidaknya begitu keterangn yang disampaikan Kementerian PanRB kepada media.
Asman Abnur, Menteri PanRB Mwngatakan bahwa pengangkatan Tin Zuraida sudah sesuai prosedur. Ya, prosedur.
Sekedar prosedur? Sungguh memuakkan penjelasan pak menteri kita. Tidak ada kepekaan. Justru di lembaga yang mestinya menjadi garda depan revolusi mental para birokrat kita, seseorang yang memiliki reputasi membuang uang ke WC dan disaksikan jutaan rakyat Indonesia, ditempatkan sebagai staf ahli bidang politik dan huku.Â
Benar bahwa tidak ada keputusan hukum yang menyatakan Tin Zuraida bersalah. Juga tak ada putusan hukum yang menyatakan bahwa uang yang dibuang ke WC saat penggrebegan itu adalah hasil kejahatan.tapi apakah apakah pantas menempatkan orang dengan reputasi seperti itu di kemwnterian yang ia pimpin.
Apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang awam akalau mendengar kabar atau berita tentang seorang pernah buang uang ke WC? Mungkinkah itu dianggap sebagai tindakan wajar atau sebagai sebuah prestasi? Bukankah justru sebaliknya, masyarakat menilai bahwa hal tercela yang telah dilakukan di balik tindakan itu? 'Pasti ada sesuati yang tak beres', begitulah pikiran dan pandangan banyak orang. Artinya, Pak Menteri atau Pak Presiden Jokowi(jika memang mengetahui) Â reputasi ibu Tin ini , telah mengabaikan kepatutan, mengabaikan perasaan publik dan menghianati revolusi mental. Sampai kapan hal ini dibiarkan?
Penempatan Tin Zuraida dalam jabatan itu juga mengindikasikan bahwa sistem rekrutmen pejabat kita masih rawan, tidak bisa mengantisipasi masuknya orang-bermasalah dalam suatu jabatan. Hanya karena dalih prosedur.
Bukan hanya kedudukan baru Tin Zuraida yang patut menjadi sorotan karena ternyata, sekali lagi.... ternyata kasus yang melibatkan suaminya, Nurhadi, Â juga tak jelas hingga saat ini. Dan yang lebih mengecewakan, kasus tersebut ditangani oleh KPK. Dari hasil penelusuran saya di google, tersendatnya kasus tersebut karena dari delapan orang saksi hanya satu orang yang hadir mwmberi keterangan kepasa penyidik KPK. Entah kenapa tidak dikeluakan perintah panggil paksa kepada saksi-saksi yang enggan datang itu.
Dari kasus Nurhadi ini, kita jadi tahu bahwa KPK tak perkasa sebagaimana dibayangkan dan diharapakan rakyat Indonesia. Atau, jangan-jangan ada oknum lain yang lebih sakti di banding novanto aehingga KPK tak mampu memperlihatkan taringnya dalam perkara suap menyuap di lembaga peradilan?
Di hadapannorang sakti ini, jargon reformasi peradilan dan pemberantasan mafia hukum hanyalah dongeng penghantar mimpi. Penghantar mimpi presiden Jokowi yang menyerukan revolusi mental.
Demikian, terimakasih.
********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H