Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Aku Merasa Ditipu dan Diperas Pertamina, demi Indonesia yang Lebih Baikkah?

4 Januari 2014   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, hari ke empat memasuki tahun 2014. Aku dan kelurgaku tetap menjadi konsumen setia gas elpiji 12 kg. Kami beli satu tabung dengan harga Rp 131.000,- (seratus tigapuluh satu ribu rupiah) saja, pada hal sebelumnya hanya Rp 72.000,- (tujuh puluh dua ribu rupiah). Tak ada kaget, karena saya sudah tahu tentang kenaikan harga melalui berita televisi dan koran. Lagi pula waktu memesan gas melalui telepon petugas Limas Raga Inti (agen penyalur gas elpiji di kota kami, Bandung tercinta) memberi tahu bahwa harga sudah naik.  Sungguh, aku dan keluargaku masih bersyukur. Karena menurut berita, ternyata di luar negeri eh... maksudku di luar Pulau Jawa ada yang harga mencapai Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) saja per tabung isi 12 kg, itupun susah mendapatkannya. Wajarlah kalau aku bersyukur, sebagai manusia yang suka membanding-banding diri dengan manusia lainnya. Tapi sebagai warga negara aku protes (walaupun tak dianggap oleh tuan SBY). Sebagai warga negara aku protes, pertama-tama bukan karena harga melainkan aku merasa tertipu oleh janji gombal penghematan APBN. Dulu, tahun 2007,  ketika pemerintah Republk Indonesaia melalui Pertamina mengadakan program konversi minyak tanah ke gas sebagai bahan kebutuhan rumah tangga, didalilkan bahwa konversi tersebut menghemat APBN dengan memangkas subsidi minyak tanah dari sekitar 35 triliun rupiah menjadi 17 triliun rupiah. Pada waktu itu pemerintah (saat kabinet SBY - JK) mendalilkan bahwa elpiji tetap disubsidi tetapi khusus yang tabung berisi 3 kg. Sedangkan gas dalam tabung 12 kg bukanlah komponen yang disubsidi. Namun lihatlah sekarang, saat pemerintah Republik Indonesia melalui Pertamin menaikkan harga gas dalam tabung berisi 12 kg. Mereka mengatakan bahwa selama ini tabung isi 12 kg gas elpiji tersebut selama ini dijual jauh dibawah nilai keekonomian. Dengan kata lain Pertamina menjual rugi gas isi 12 kg tersebut. Bahkan dengan kenaikan harga melambung yang mulai berlaku per 1 januari 2-14 inipun sebenarnya Pertamina mengaku masih menjual di bawah harga keekonomian. Dijual di 'bawah harga keekonomian'. Ini adalah istilah yang mereka gunakan untuk menghindari kata subsidi negara terhadap harga yang selama ini mereka gunakan. Alangkahkan halusnya cara bersilat lidah orang-orang pintar yang berkuasa itu. Dulu ketika program gas 3 kg diluncurkan, mereka bilang bahwa yang disubsidi hanyalah gas 3 kg tersebut yang ditargetkan untuk keluarga tak mampu. Sekarang ketika mereka ingin meningkatkan pendapatan, mereka bikin istilah 'dijual di bawah harga keekonomian'. Kenapa mereka takut mengatakan bahwa gas 12 kg selama ini disubsidi juga? Padahal ketika dulu tempat tinggal saya mendapat giliran pembagian tabung gas 3 kg saya menolak dengan alasan sudah punya tabung gas 12 kg. Saya titip pesan pula pada bapak Ketua RT agar diberikan pada yang lebih membutuhkan sesuai dengan program pemerintah, yakni kepada keluarga tak mampu. Sekarang aku baru nyadar, sebenarnya aku juga keluarga tak mampu. Ternyata gas yang kupakai selama ini sebenarnya mendapat subsidi dari negara. Ha ha ha... sungguh aku telah tertipu dan juga telah menipu diri sendiri dengan menolak tabung berikut peralatan komplit gas tabung 3 kg waktu itu. Kutempatkan diriku sedikit diatas orang tak mampu, tetapi secara terselubung statistik Pertamina rupanya tetap mencatatku sebagai orang tak mampu. Alangkah lucunya bukan? Baiklah, kulanjutkan uneg-unegku pada catatan awal tahun ini. Sedikit menyimpang dari kebiasaanku untuk mengkaji kebijakan pemerintah dalam perpektif politik. Karena aku tak mau menambah kisruh tahun politik yang agung ini. Aku mengurangi beropini tentang politik, inilah salah satu resolusiku yang tak kudeklarasikan pada catatanku di Kompasiana. Setelah aku merasa tertipu, ku juga merasa diperas. Bagaimana tidak merasa diperas? Kalau beli daging sapi di pasar yang harganya melambung, aku masih bisa menghindar dengan beralih mengkonsumsi ikan asin. Sedangkan menghadapi kenaikan harga gas yang meroket ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa beralih bahan bakar untuk keperluan dapur kami sekeluarga. Sangat tak mungkin aku beralih ke minyak tanah karena memang sudah tak ada penjualnya di sekitar tempat tinggalku, apa lagi kalau mau beralih ke kayu bakar tentu lebih mustahil lagi. Akhirnya aku pasrah dan membiarkan diri menjadi objek kebijakan nyentrik pemerintahku. Bahkan pengantar gas pagi ini ke rumahku ikut mengangkut rasa sinis pada kebijakan pemerintah itu. Belum juga ia menurunkan gas dari sepeda motornya ia langsung berucap: "hebat ya pak" katanya tanpa menerangkan maksudnya. Tapi batin kami sesama rakyat sudah saling bertaut sehingga tak perlu penjelasan bahwa yang 'hebat' adalah kenaikan harga gas yang meroket di awal tahun. Hanya batinku aja yang bertanya, kok keliatannya pengantar gas itu lebih terbebani dari pada aku yang membeli gas darinya? Dia kan hanya pengantar, tidak berbisnis gas  dan juga (mungkin) bukan konsumen gas 12 kg? Mungkinkah ia khawatir akan uang receh yang biasa diberi konsumen secara sukarela kepadanya akan berkurang? Aku tak tahu dan tak bisa menebak lebih jauh apa yang ada dalam pikiran si akang pengantar gas ke rumahku. Namun ketika aku menyerahkan sedikit uang tambahan, aku merasa bahwa pertemuan dan pembicaraan singkat kami telah mengkerucut pada kesimpulan: 'kita rakyat, kita tak bisa berbuat apa-apa'. Begitukah? Kita lihat saja nanti, sampai sejauh mana jeritan nurani rakyat itu menggumpal dan menggelinding. Terus terang, pengalaman saya menghadapi harga gas ini membuat saya bertanya-tanya janji para tokoh dan politisi serta aktifis LSM yang sering berucap: 'demi Indonesia yang lebih baik'. Apakah kebijakan model begini bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik? Saya berharap hal itu jadi kenyataan, namun saya pesimis bahwa ada kesungguhan dari si pengucap slogan itu. Maka demi mengakhiri tulis ini (agar pembaca tak keburu bosan) saya mengulang slogan itu. "Demi Indonesia Yang Lebih Baik. Ya....lebih baik dijual ke orang asing barang kali?" Akhir kata, melalui tulisan ini, kepada segenap rakyat Indonesia, baik yang menggunakan gas bersubsidi maupun yang menggunakan elpiji di bawah harga keekonomian, aku ucapkan: "Selamat menikmati hidangan dari tungku gas Elpiji, jangan tunda jadwal makan demi memikirkan harga elpiji".***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun