Presiden Republik Indonesia ke enam, Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) punya selera berbeda dengan saya. Bukan dalam makanan, minuman maupun hobby melainkan dalam memandang Bung Karno.
SBY punya selera menjadikan Bung Karno sebagai pahlawan nasional  seperti tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Sedang saya lebih berselera mengenang Bung Karno sebagai Bapak Bangsa (founding father).
Bagi saya, kualitas sebagai founding father lebih kokoh dan pasti dari pada kualitas seorang pahlawan. Seorang pahlwan adalah personifikasi tokoh diantara para pemenang. Pahlawan bagi pemenang bisa jadi penjahat di mata yang tersisih dan terkalahkan. Sosok pahlawan yang sering kali muncul saat pergulatan menghadapi konflik, tidak bisa lepas dari dua sisi pandang yang berbeda secara diamtral.
Sosok founding father, menurut saya tidak memuat bias seperti terjadi pada sosok pahlawan. Founding father ibaratnya berperan sebagai penemu sebuah karya. Persoalan suka atau tidak suka tidak menjadi penting karena keberadaan temuan itulah yang mengokohkan jati diri si penemu.
Mendirikan sebuah negara bernama Republik Indonesia  pada pertengahan abad 20 bisa jadi dianggap sebagai ide gila oleh sebagian besar orang yang hidup di atas tanah jajahan yang bernama Hindia Belanda ketika itu. Akan tetapi keyakinan Bung Karno akan terbentuknya negara Republik Indonesia telah terbentuk sejak tahun 1927 ketika beliau dan beberapa teman seperjuangan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Keyakinan tersebut semakin hari semakin tebal hingga tahun 1933 Bung Karno menulis di bawah judul "Mencapai Indonesia Merdeka", yang beliau hadirkan sebagai penerangan bagi kaum yang masih ragu akan gerakan kemerdekaan yang dipelopori oleh Bung Karno dan kawan-kawan.
Dengan keyakinan dan pengalaman di kancah perjuangan, dimana beliau keluar masuk penjara oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, maka tak heran pula bahwa pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesa (PPKI) Bung Karno bisa dengan gamblang meletakkan landasan filosofi Negara Republik Indonesia. Pada rapat PPKI inilah Bung Karno mencetukan pancasila dengan lima asas yang menjadi landasan sekaligus cita-cita Indonesai Merdeka. Dengan gamblang Beliau bisa menjawab argumen peserta rapat dan menghadirkan gagasan-gagasan penting bagi Indonesia Merdeka itu.
Proses ini kemudian berlanjut ketika masa-masa genting menjelang detik-detik proklamasi. Bung Karno dan Bung Hatta kebagian tanggungjawab besar menandatangani naskah proklamasi. Kelihatannya seperti kebetulan bahwa kedua tokoh penting itulah yang menandatangani naskah proklamasi sebagai titik tumpu berdirinya negara Republik Indonesia. Penunjukan kedua tokoh tersebut bukanlah sebuah kebetulan melainkan tentunya para tokoh lain yang hadir melihat kedua sosok tersebut dari jasa-jasa dan upaya mereka jauh hari sebelumnya yang dengan gigih ingin mendirikan sebuah negara, negara Republik Indonesia.
Kenyataan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta yang menandatangani naskah proklamasi adalah bukti yang mengokohkan bahwa kedua tokoh ini adalah Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia. Diakui atau tidak, kenyataan dan bukti itu telah bicara. Tidak perlu kebijakan politik dan tak perlu SK Presiden, melainkan semata-mata karena kenyataan, Bung Karno dan Bung Hatta telah memenuhi panggilan sejarah untuk menjadi Bapak Bangsa.
Peran kedua tokoh ini sebagai pendiri bangsa tak akan berkurang ataupun bertambah oleh manuver atau kepentingan politik. Bahkan kalaupun Republik Indonesia bubar sekalipun nama ini tak lekang dalam sejarah di atas  negara yang berdiri kemudian di bekas Republik Indonesia itu, sebagaimana halnya Hayam Wuruk tetap tertera dalam sejarah kejayaan Majapahit.
Sebagai Bapak Bangsa Bung Karno dan Bung Hatta telah memberikan segala yang mereka bisa beri untuk Republik Indonesia. Bahwa kemudian kedua tokoh ini tersingkir dari panggung kekuasaan dan mengalami surutnya kejayaan, gelar pahlawan untuk  mereka mungkin sempat dipertanyakan oleh segelintir orang yang berniat jahat, akan tetapi tak pernah bisa menyingkirkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Bapak Bangsa, sebagai pendiri negara Republik Indonesia. Bahkan Bung Karno yang sempat menjadi musuh politik Orde Baru bisa jadi tidak dianggap sebagai pahlawan oleh anasir-anasir Orde Baru, akan tetapi Orde Baru tak pernah bisa menghapus kenyataan bahwa Bung Karno adalah Bapak Bangsa (founding father).
Jadi, mematrikan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai founding father dalam benak para generasi jauh lebih penting dari pada keputusan presiden yang menetapkan kedua rokoh ini sebagai Pahlawan Nasional, sebuah surat keputusan yang bisa diterbitkan dan dicabut kembali sesuai selera politik sang penguasa. Dalam hal ini, saya dan SBY memang beda selera.***