Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Imlek, Bukan Soal Kalender Tahun Baru

24 Januari 2012   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_165818" align="alignleft" width="355" caption="23 Januari 2012 tahun baru Imlek"][/caption] Sependek pengetahuan saya Imlek adalah perayaan hari pertama tahun baru menurut penanggalan China. Tahun ini memasuki tahun 2563 menurut penanggalan tahun China. Hari pertama tahun 2563 itu jatuh bertepatan pada 23 Januari 2012 menurut penanggalan masehi yang saat ini kita pakai dan hampir seleluruh dunia memakainya juga. Pertanyaannya, kenapa penanggalan kalender China menjadi penting bagi Indonesia sehingga menjadi hari libur nasional? Di bumi nusantara ini ada banyak suku yang telah mengenal penanggalan waktu. Ada penanggalan Sunda yang dikenal dengan Kala Sunda , ada penanggalan Jawa, penanggalan Bali, ada pula penanggalan Batak, dst yang tak sempat saya tahu dan sebutkan. Saya sendiri yang orang Nias tak tahu apakah ada kalender Nias atau tidak. Yang saya tahu tentang penanggalan orang Nias adalah bahwa orang Nias menggunakan bulan untuk  menandai waktu. Orang Nias menyebutnya 'Desa'a'. Satu Desa''a berarti tanggal satu awal bulan. Namun demikian saya belum pernah mendengar orang-orang tua di Nias menyebut nama bulan semacam Januari, Februari, dst. Kembali ke soal Imlek. Kalalu orang China di Indonesia merayakan tahun barunya sebagai libur nasional, kenapa pula orang jawa, sunda dan suku lain tak merayakan tahun baru penanggalannya? Bayangkan, kalau seperempat dari jumlah suku yang ada di Indonesia ini penanggalannya dirayakan sebagai hari libur nasional. Rame bukan? Hari-hari kita sepanjang tahun akan dipenuhi dengan liburan. Hari-hari dipenuhi dengan lantunan doa-doa, silaturahim, dan ucapan syukur tak habis-habis. Negeri Indonesia dipenuhi berkat dari Yang Maha Kuasa, tentunya. Lupakan hayalan tak masuk akal barusan. Kalau diteruskan bisa jadi penyakit. Hayalan barusan cuma menarik buat para pemalas (walau seperempat diri saya masuk dalam katagori terakhir ini). Saya cuma ingin bahas sekilas, kenapa Gus Dur memilih Imlek sebagai hari Nasional. Asumsi pertama yang mungkin susah dibantah adalah keinginan Gus Dur untuk mengintegrasikan etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga bangsa Indonesia. Sebagian besar orang Indonesia juga akan sepakat dengan tujuan baik ini. Lalu kenapa momentnya adalah penanggalan? Bukankah masalah disintegrasi kita tak ada urusan dengan penanggalan? Bukankah masalah disintegrasi lebih pada soal seperti kesukuan, agama, dan kesenjangan ekonomi (termasuk kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dan bukan Tionghoa?). Saya tak tahu persis apa pertimbangannya, saya sendiri belum membaca keputusan pemerintah mengenai penetapan Imlek sebagai hari besar nasional sehingga saya tak tahu pertimbangan yuridis, sosiologis maupun filosifisnya yang persis. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa pertimbangannya, bukan kare Gus Dur  lebih meyakini akurasi perhitungan astronomi masyarakat Tionghoa dari pada perhitungan astronomi etnis lain di Indonesia. Pertimbangan Gus Dur tentunya bukan soal kalender karena itu bukan bidangnya. Keahlian Gus Dur yang diakui banyak orang sebagai Guru Bangsa adalah perjuangan terhadap hak-hak kaum marjinal dan yang dimarjinalkan. Termasuk dalam soal dimarjinalkannya suku Tionghoa selama masa pemerintahan Orde Baru. Tidak hanya dimarjinalkan, suku Tionghoa sering menjadi sasaran kemarahan kegelisahan masyarakat akan kesenjangan ekonomi membakar hati. Seorang teman saya yang suku Tionghoa mengatakan bahwa waktu itu suku Tionghoa dijadikan 'sapi perahan' dan 'kelinci percobaan'. Oleh penguasa diperah (atas nama partai maupun kesatuan militer), oleh masyarakat, khususnya preman terorganisir, dijadikan 'bendahara'. Sedangkan untuk menguji kesiagaan aparat keamanan isu dan kematangan integrasi sering direkayasa kerusuhan anti orang Tionghoa di beberapa daerah. Begitu kisahnya. Maka Gus Dur hadir saat reformasi menjemput sejarah. Ia melihat ketakberesan urusan dengan salah satu komponen bangsa ini. Maka dia datang merangkul sebagaimana biasa ia merangkul korban penggusuran dan agama minoritas (kristen) saat dijadikan kambing hitam persoalan. Saat beliau merangkul orang Tionghoa inilah, Imlek dijadikan secara simbolik sebagai penampakan integrasi, persatuan dan kemersraan antara orang Tionghoa dan orang suku lain di Indonesia. Tentu saja orang Tionghoa menyambutnya dengan gembira. Sedangkan etnis lain, tak menyambutnya dengan perasaan iri. Orang-orang Tionghoa yang selama ini terasing dan harus bersembunyi merayakan kemeriahan Imlek, sudah boleh melakukannya di jalan-jalan protokol bahkan sampai dibuka oleh Kepala Daerah. Singkat cerita, orang Tionghoa diupayakan melebur secara sosial dengan masyarakat etnis lain di Indonesia. Mereka tak lagi diingkari. Itulah hasil dari kebijakan Gus Dur. Adalah soal lain apakah kerukuna sosial itu telah terjadi semakin erat atau belum. Soal integrasi sosial sebuah bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini bukanlah soal-soal simbolik dan kebudayaan semata melainkan soal yang rumit dan harus diurai oleh ahlinya. Dari segi politik boleh dikata etnis Tionghoa telah tak diingkari lagi karena mereka telah bisa bikin partai secara terbuka dan dalam kabinet juga sudah diakomodir. Persoalan lain yang mungkin menjadi ketegangan terpendam adalah soal kesenjangan ekonomi. Entah benar entah tidak, rumors yang sampai ke telinga saya adalah bahwa salah atu sebab kekalahan Jusuf Kala (JK) yang telak pada Pilpres 2009 yang lalu adalah kekhawatiran akan bangkitnya sentimen anti Tionghoa dalam kebijakan ekonomi. Konon Aburizal Bakri juga dikhawatirkan punya semangat yang sama dengan JK. Jika rumors yang mengait kedua tokoh hebat ini benar, maka asumsi saya bahwa kesenjangan ekonomi antara Tionghoa-Non Tionghoa adalah menjadi ketegangan yang terpendam, benarlah adanya. Jadi, daripada dipendam-pendam kenapa pemerintah tidak mengambil kebijakan yang terbuka? Kebijakan terbuka yang saya maksud adalah semacam affirmative action. Seperti UU yang memberikan peluang khusus kepada perempuan untuk duduk dalam lembaga-lembaga politik untuk mendongkrak kesenjangan jumlah perempuan terhadap laki-laki di parlemen. Jika dalam urusan gender yang belum menyentuh disintegrasi bangsa bisa dilakukan affirmative action, kenapa dalam soal kesenjangan ekonomi tidak bisa? Misalnya saja, kebijakan yang memberi peluang lebih besar pada perusahaan milik bersama antara orang Tionghoa dan  suku  lain dalam tender-tender proyek pemerintah; mendahulukan badan usaha milik etnis bukan Tionghoa dalam lahan bisnis tertentu; serta berbagai cara lainnya. Ide terakhir ini sekedar contoh, silakan dibahas dan diperdalam bila ada gagasan lain yang penting tidak dengan maksud memperbuas kesenjangan. Begitu saja kok repot. *** catatan: lagi belajar up load foto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun