Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Money

Masih Mau Boikot Pajak? Ini Dia Pajak Pengisi Pundi Pemerintah Kabupaten/Kota

18 April 2010   16:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:43 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

c. Bahan Galian yang tidak termasuk dalam kedua golongan tersebut; missal garab batu, tawas, pasir kwarsa, bentonit, berbagai jenis bebatuan, pasir, dll

Bahan yang terakhir inilah yang disebut sebagai Bahan Galian Golongan C. Pengenaan tarifnya berdasarkan nilai jual bahan. Undang-undang mematok, maksimum pengenaan tariff pajaknya adalah sebesar 20%. Nilai jual bahan galian adalah berdasarkan nilai transaksi sebenarnya, namun Perda biasanya menetapkan nilai dasar agar tidak terjadi manipulasi nilai oleh pengusaha tambang. Yang lazim dikelabui adalah jumlah volume pengambalian bahan galian.

7. Pajak Parkir;

Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan kepada perusahaan penyelenggara jasa parkir bukan di badan jalan. Jadi perusahaan penyedia jasa parkir menyediakan tempat khusus, atau mengelola suatu area milik pihak lain (misalnya mall) yang digunakan untuk menyediakan jasa parkir. Pengenaan tariff parker di daerah badan jalan bukan tidak termasuk dalam katagori pajak daerah melainkan masuk ke dalam retribusi parkir.

Pajak parker paling tinggi 20%. Artinya, bias lebih rendah dari itu, bergantung Peraturan Daerah. Jika tarif parkir di suatu mall sebesar Rp 2000 jam pertama dan Rp 1000 setiap jam berikutnya, dan jika kita parkir selama empat jam berarti kena tarif parkir Rp 4000, jika tarif pajak mengenakan tarif maksimum (20%) maka besaran pajak dari nilai Rp 4000 yang kita bayarkan adalah sebesar Rp. 670,-

Titik-titik Rawan.

Pajak Daerah (Propinsi maupun Kabupaten/Kota) jarang menjadi perhatian publik. Padahal pajak daerah ini sangat rawan terhadap penggelapan karena kolusi antara petugas pemungut (Dispenda) dengan Wajib Pajak (perusahaan atau pihak yang memungut). Disamping Pemerintah Daerah tidak punya tenaga-tenaga profesional yang punya kemampuan melakukan pemeriksaan, juga disebabkan oleh kebiasaan lama yang menjadikan sumber pendapatan daerah ini menjadi ATM pejabat yang dulu dikenal sebagai dana taktis.

Dahulu dikenal adanya dana taktis Kepala Daerah, Kepala Dinas, serta Muspida (Kepala Kejaksaan, Kepala Kepolisian, Kepala Pangadilan, serta Komandan Kodim), dana taktis tersebut diantaranya bersumber dari APBD, sebagian besar bersumber dari penyisihan pungutan pajak dan/atau retribusi daerah sebelum masuk ke kas daerah. Agar tidak dievaluasi oleh fungsi pengawasan parlemen (DPRD) maka klasifikasi dana ini dibuatkan nomenklatur istimewa yang disebut sebagai ‘dana non bajeter'. Untunglah, reformasi birokrasi mulai menghapus secra perlahan nomenklatur ‘dana non bajeter' ini. Ditambah lagi dengan langkah Menkeu menertibkan rekening liar pemerintah daerah.

Selaian ketiadaan tenaga profesional pemeriksa serta keberlangsungan kebiasaan lama, titik rawan penggelapan pajak daerah terletak pada kebiasaan daerah dalam menetapkan perkiraan pendapatan berdsarkan target. Contoh yang paling mudah adalah penerimaan dari pajak penerangan jalan (PPJ), masih ada saja daerah yang menetapkan berdasarkan target padahal pengguna listrik dan golongan pemakaian sudah bisa didapatkan dari data base PLN. Artinya, PLN selama ini mengelabui jumlah pungutan PPJ dari konsumen listrik dan hanya disetorkan ke kas pemda sekedar memenuhi target yang terlebih dahulu disepakati antara oknum PLN dengan oknum dispenda.

Jika dengan PLN saja bisa terjadi kolusi, maka dengan pihak swasta akan lebih lagi. Pengusaha pastilah selalu berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga tidak mengherankan misalnya jika terjadi kolusi antara manajemen hotel untuk menggelapkan sebagian besar pajak hotel yang telah dipungutnya kemudian dibagi kepada oknum Dispenda. Untuk mengamankannya biasanya disepakati berapa jumlah setoran bulanan kepada Kepala Dinas, berapa setoran bulanan kepada Bupati/Walikota, serta berapa yang bias disisihkan untuk dibagi dengan para kroco yang semacam gayus.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun