Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Money

Mau Boikot Pajak? Ini Dia, Pajak Buat Pundi Pemda Propinsi

10 April 2010   16:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pada tulisan terdahulu saya sudah mengurai ringkas pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, berikut peluang boikotnya. Tulisan kali ini mengurai tentang pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 34 tahun 2000.

Selama ini, masalah pajak lebih banyak menunjuk pada pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Padahal pajak daerah ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengisi pundi-pundi pemerintah daerah (Pendapatan Asli Daerah atau PAD). Terluputnya masalah pajak daerah ini dari pantauan publik mungkin karena jumlahnya tidak se-fantastis pajak pusat, padahal jika dihimpun total pajak seluruh daerah di Indonesia mungkin jumlahnya melebihi pajak yang dihimpun oleh pemerintah pusat.

Prinsip pengenaan dan penerapan sanksi atas kelalaian pembayaran pajak daerah, sebenarnya sama saja dengan pajak pusat. Pada pajak daerah berlaku self assesment, SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah), Keberatan, serta Banding dan Gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun belum pernah terjadi ada Wajib Pajak Daerah yang mengajukan Banding dan Gugatan sebagaimana terjadi dalam kasus pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Bahkan hak mengajukan keberatan oleh WP pun tak dimanfaatkan, paling banter permohonan WP untuk diberi keringanan oleh Kepala Daerah. Pernah terungkap di Kota Bandung dari hasil audit BPKP, sebuah restoran cepat saji memiliki hutang pajak sampai ratusan milyar, namun bagaimana penyelesaiannya setelah itu masih gelap hingga sekarang.

Penghitungan pajak daerah tidak memerlukan konsultan oleh karena tidak memerlukan verifikasi akuntansi. Penghitungannya sangat sederhana, yakni persentase dikalikan dasar pengenaan pajak. Walaupun telah diatur oleh UU jenis-jenis pajak apa saja yang boleh dipungut oleh pemerintah daerah, pemungutannya tidak serta merta berlaku berdasarkan UU. Untuk bisa memungut pajak-pajak tersebut maka pemerintah daerah harus membuatkan Perda. Misalnya, di sebuah daerah kabupaten bisa saja tidak dipungut pajak reklame karena Peraturan Daerahnya untuk memungut itu belum dibuat (mungkin belum feseable).

Jika pajak pemerintah pusat masuk ke rekening negara yang dikelola oleh Departemen Keuangan, pajak daerah ini masuk ke rekening pemerintah daerah yang dikelolah oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Jadi, untuk pajak daerah maka lokus mafianya tentu bukan di Direktorat Jenderal Pajak melainkan di Bagian Pemungutan dan Penagihan di Dinas Pendapatan Daerah.

Beriktu nomenklatur pajak-pajak daerah propinsi tersebut:

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Atas Air

Tarif maksimum ditentukan oleh UU sebesar 5% atas nilai jual. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001, tarifnya disamakan di seluruh Indonesia yakni:


  • 1,5% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor bukan umum
  • 1% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor yang digunakan sebagai kendaraan umum
  • 0,5% untuk kendaraan bermotor berupa alat berat


Harga jual yang dimaksud disini adalah harga jual yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Mendagri untuk masing-masing jenis dan tahun kendaraan. Bukan harga jual yang tertera di kuitansi yang dibuat antara penjual dan pembeli.

Jika ingin mengontrol pemungutannya tanyakanlah kepada petugas Samsat berapa harga jual kendaraan yang Anda bayarkan pajaknya. Saya belum pernah melihat ada kantor Samsat (tempat pembayaran pajak kendaraan bermotor yang memajang secara terbuka acuan harga yang diberlakukan).

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Atas Air;

Oleh undang-undang ditentukan tarifnya maksimum 10% dari nilai jual. Berdasarkan Peraturan Pemerintah diseragam tarifnya di seluruh Indonesia sebagai berikut:

Saat penyerahan pertama (pembeli pertama):


  • 10% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor bukan umum
  • 10% dari nilai jual untk kendaraan bermotor umum
  • 3% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor alat-alat berat.


Untuk penyerahan kedua dan seterusnya (lazimnya dikenal sebagai jual beli second), tarifnya dikenakan sebagai berikut:


  • 1% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor bukan umum
  • 1% atas nilai jual untuk kendaraan bermotor umum
  • 0,3% untuk kendaraan bermotor alat berat.


3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; maksimum 5%

Pajak ini adalah  jenis pajak yang ditalangi oleh penyalur Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Ketika SPBU membayar DO bahan bakar ke pertamina, SPBU telah menalangi pajak ini ke Pertamina sebesar 5% dari harga jual. Misalnya, dengan harga premium yang berlaku sekarang sebesar Rp 4.500 per liter telah termasuk PPN sebesar 10% dan PBBKB sebesar 5%. Jadi harga pokok premium sesungguhnya sebesar Rp 3.900. Sedangkan PBBKB sebesar Rp 196 per liter dan PPN sebesar Rp 404 per liter.

Yang jadi masalah adalah, sejauh mana akses pemerintah daerah mengontrol penjualan penyalur bahan bakar. Data yang valid seharusnya ada di tangan Pertamina karena merekalah yang mencatat dan memungut PBBKB tersebut ketika para penyalur selaku pemegang DO membayar bahan bakar yang mereka ambil dari pertamina. Disinilah terjadi kesepakatan jahat antara oknum bagian distribusi dan pemasaran pertamina dengan aparat pemerintah daerah dengan melibatkan pula pemilik SPBU atau perusahaan penyalur lainnya. Mereka menyepakati jumlah tertentu, kemudian sisanya dibagi-bagi sesama para oknum yang bersekongkol. Banyak rumors yang menyebutkan bahwa kepala daerah dan kepala Dispenda selalu dapat jatah dari penghitunan ini sehingga, yang disetor ke APBD tidak pernah diperiksa ulang kebenaran datanya oleh petugas Dispenda.

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;

Dikenakan sebesar 20% dari harga dasar air. Harga Dasar Air di tiap propinsi berbeda-beda, yang ditetapkan oleh Gubernur secara berkala. Dalam mengeluarkan harga dasar air ini biasanya mengacu pada: jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pemanfaatan, volume yang diambil, kualitas air, luas areal yang jadi sumber pengambilan, serta kemungkinan tingkat kerusakan yang diakibatkan pengambilan air tsb.

Untuk air permukaan tarifnya sebesar 10% dari Harga Dasar Air, sedangkan Air Bawah Tanah sebesar 20%. Persolannya disini, siapa yang mengontrol berapa banyak air telah disedot oleh subjek pajak dan/atau wajib pajak. Selama ini tidak pernah tejadi kontrol yang ketat atas volume air yang diambil baik oleh hotel, perusahaan air minum swasta yang akhir-akhir ini mulai marak, maupun oleh industri yang banyak menggunakan kebutuhan air seperti tekstil dan pencelupan tekstil.***

Pada tulisan berikutnya, akan saya turunkan mengenai pajak Kabupaten/Kota serta kemungkinan permainan mafia di dalamnya.

Sekilas Info, Pajak Daerah Kabupaten/Kota adalah sbb.:

1. Pajak hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak penerangan jalan;

6. Pajak Galian C;

7. Pajak Parkir;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun