Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Koruptor Tak Kebagian Hukuman Mati

19 April 2010   11:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa hukuman mati tidak pernah diterapkan kepada koruptor? Padahal undang-undang secara tegas mengatur adanya ancaman hukuman mati terhadap koruptor, tetapi tidak pernah terjadi tuntutan hukuman mati dalam persidangan koruptor. Apakah karena Penuntut Umum tidak tega atau karena Penuntut Umum sangat menjunjung tinggi HAM?

Tidak! Bukan karena Penuntut Umum berperasaan halus sehingga tak tega mengakhiri nyawa terdakwa koruptor. Toh, penjatuhan hukuman mati pada kejahatan lain seperti teroris dan pembunuhan telah beberapa kali dituntut dan dijatuhi hukuman. Antasari yang rekan se-korps sementara  bukti-buktinya lemah dalam dakwaan pembunuhan aja mereka punya nyali untuk menuntut mati. Masa terhadap koruptor tidak tega? Jadi, dalih ketidaktegaan dan bersimpati sama keluarga koruptor, tidaklah dapat diterima.

Bagaimana dengan HAM? Setiap pemidanaan adalah pelanggaran HAM. Memenjarakan seseorang adalah pelanggaran kebebasan. Para jaksa yang terhormat pasti mengetahui ini. Mereka pun menyadari bahwa hukum memberikan mereka wewenang untuk menuntut pencabutan sebagian dari hak-hak dasar para terdakwa. Jabatan dan kedudukan mereka sebagai Jaksa Penuntut memang untuk melanggar HAM seseorang berdasarkan perintah UU.

Jadi, kenapa Jaksa Penuntut enggan menggunakan tuntutan mati kepada koruptor? Menurut saya ada dua alasan yakni ketakutan dan rasa solidaritas. Alasan yang pertama adalah ketakutan. Ketakutan bahwa terdakwa akan membongkar kelakuan Jaksa Penuntut. Ketakuan lainnya adalah (bagi para jaksa yang agak bersih) mungkin saja mereka menimbang bahwa terdakwa pantas dituntut mati tetapi ketakutan akan ancaman fisik dari para sindikat korup. Sekarang kan sudah bukan rahasia lagi bahwa kejahatan hukum adalah sindikasi, korupsi pun sindikasi. Jadi, sudah saling memahami posisi masing-masinglah.

Tuntutan hukuman mati akan membuat hentakan psikologis bagi terdakwa dan jejaringnya. Tuntutan hukuman mati adalah pernyataan bahwa perbuatan terdakwa mutlak salah berdasarkan penilaian Jaksa Penuntut. Sedangkan tuntutan hukaman penjara secara psikologis dapat dimaknai oleh terdakwa dan keluarganya serta sindikatnya bahwa, Jaksa Penuntut sekedar melaksanakan tugas rutin. Atau dimaklumi sebagai upaya meredam kecurigaan dan emosi publik.  Apa lagi kalau tuntutannya cuma satu, dua atau tiga tahun, bisa cincai lah. Toh setelah masyarakat lupa bisa diupayakan pengurangan masa tahanan lewat pintu belakang. Disamping itu, hukuman penjara dapat dianggap sebagai formalitas karena sindikat bisa mengatur sebuah istana dalam penjara sebagaimana fasilitas buat Ayin di Rutan Pondok Bambu.

Alasan lainnya adalah bahwa Jaksa Penuntut punya rasa solidaritas kepada terdakwa. Ya, solidaritas sesama profesi (dalam hal perbuatan korup). Solidaritas ini dibangun atas dasar saling pengertian. Sehingga koruptor dihadirkan sebagai terdakwa hanyalah karena apes aja bukan karena perbuatannya yang salah dan patut di hukum. Sehingga, penindakannya sekedar memenuhi tugas rutin penuntut dan menjalankan formalitas tugas. Penuntutan hanya sekedar basa basi tugas.

Bukti solidaritas ini diantaranya adalah fasilitas mirip hotel yang di dapatkan Ayin di dalam Rutan Pondok Bambu. Penjara tak akan dianggap sebagai hukuman melainkan sebagai langkah penyelamatan rekan se-profesi. Soal harga diri dan nama yang cemar karena bulan-bulanan media massa, tentu gampang dihapus dengan berbagai kegiatan amal. Lain halnya kalau tuntutannya adalah hukuman mati dan kemudian hakim menjatuhkan hukuman sesuai tuntutan, ini berarti si terdakwa tamat. Bahkan dengan tuntutan saja - sekalipun pada akhirnya hakim tidak memvonis mati si terdakwa - hal ini sudah membuat terdakwa terpukul secara psikologis.

Bukti lain dari adanya solidaritas adalah pengenaan sanksi internal pada setiap pegawai (di jajaran dan instansi apa saja) yang terbukti melakukan korupsi. Baru pertama pada kasus Gayuslah pemecatan langsung dilakukan. Biasanya, pimpinan hanya memberikan sanksi pemindahan atau skorsing atau penurunan dari jabatan. Setelah opini mereda, maka pada mutasi berikutnya si-bermasalah bisa mendapat posisi baru yang mungkin bahkan lebih cemerlang dan basah dibanding sebelumnya. Akhirnya, negara tetap menggaji mereka yang telah mencuri dari kas negara. Rakyat masih menggaji mereka yang telah mencuri hak rakyat. Selesailah sudah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun