LSM bertumbuhan seiring dengan kebebasan berserikat dan berpendapat yang sangat dihargai oleh pemerintahan SBY. Spanduk berterbaran dengan berbagai slogan dan seruan. Termasuk seruan anti korupsi. Tapi semakin banyak seruan dan spanduk bertabur, tak juga mengurangi orang yang dibui karena korupsi. Seperti halnya partai, LSM juga muncul tenggelam dengan berbagai nama baru, forum ini forum itu, komite ini komite itu, serikat ini serikat itu, dst.
Seiring dengan partisipasi bertumbuh dan meluas, maka jika pada era alm. mantan Presiden Soeharto korupsi terkendali dibawah komando eksekutif (yang nota bene personel militer yang dikaryakan), pada jaman presiden SBY ini korupsi malah meluas ke ranah parlemen dan yudikatif. Bahkan banyak yang teriak atas nama LSM menyerukan anti korupsi sesungguhnya bermotif ingin kebagian. Tidak hanya sisem politik yang menjelma menjadi demokratis, tetapi cara berkorupsi pun menjadi demokratis. Jika dulu, sebuah parbrik berdiri cukup dengan menyetor kepada muspida maka sekarang jangan harap bisa berjalan mulus kalau tak setor kepada jeger lokal atau LSM setempat.
Di era demokrasi ini silahkan menyampaikan pandangan dengan cara apa saja dan tidak akan digebukin oleh aparat. Kecuali dengan cara membawa kerbau bertuliskan SiBuYa. Selebihnya, boleh; boleh merusak gerbang kantor, boleh bakar bendera, boleh mencaci maki.
Demonstrasi adalah kebiasaan. Siapa saja boleh demonstrasi. Demonstrasi adalah hak warga negara dan boleh dilakukan dengan berbagai cara, terlebih cara yang santun, sangat dihargai. Mulai dari cara teriak dengan sound system 20.000 watt sampai dengan cara pengerahan massa, boleh dilakukan untuk menyampaikan aspirasi. Juga boleh berdemonstrasi dengan cara mogok makan dan jahit mulut sampai semaput. Itu adalah hak warga negara. Namun, kekuasaan juga punya hak untuk tak mendengar. Jadi, demonstrasi ga perlu ditumpas karena tidak akan mempengaruhi kekuasaan dan kebijakan.
Watak kekuasaan SBY sangat terbuka dan dibungkus oleh selubung berlapis-lapis dan selalu berganti wajah, kadang lembut kadang pura-pura tak mendengar, kadang seakan tak melihat apa yang terjadi, dalam lakonnya ia juga menangis dan bersenandung. Sering memperlihatkan dan menyatakan rasa prihatin. Ia tak perlu disegani apa lagi ditakuti, yang penting jangan diturunkan. Ia tak peduli bahwa di forum internasional ia didudukkan di belakang Gloria Macapagal Aroyo, karena hal itu hanya soal teknis letak tempat duduk, tidak ada urusan dengan itu karena tidak mengurangi status sebagai presiden dan tetap dianggap mewakili rakyat indonesia.
Hayo, pilih yang mana???***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H