Pilpres 2014 adalah pilpres paling dramatis sepanjang sejarah Pemilihan Presiden secara langsung digelar. Mungkin karena hanya ada dua pasang kandidat yang bersaing, sehingga segala jurus dikeluarkan oleh pendukung para kandidat.
Dalam Pemilu Presiden kali ini dunia maya atau jejaring sosial melalui internet menjadi ajang pertarungan yang ramai. Konon di pihak Prabowo-Hatta dikerahkan laskar cyber sampai ratusan ribu yang merancang dan melakukan serangan sistematis untuk membobardir citra pesaingnya, Jokowi-JK. Sedangkan di pihak Jokowi-JK para relawan yang tak teridentifikasi dengan pasti jumlahnya juga melakukan serangan-serangan sekaligus membela pasangan kandidat yang didukung.
Saya mengikuti dan memperhatikan di dunia maya, khususnya Facebook, betapa pendukung kedua kandidat sangat gigih membela pasangan jagoannya. Â Saya memperhatikan bagaiman foto-foto kedua kandidat diolah/direkayasa sedemikian rupa sehingga tampil buruk. Begitupun kalimat-kalimat yang dilontarkan untuk mendiskreditkan pesaing dilakukan oleh para pendukung dengan kata-kata yang kasar bahkan jorok.
Alangkah kejamnya dunia politik ini, pikir saya. Masa lalu anda dibongkar dan dikupas habis, bahkan dilebih-lebihkan. Foto anda ditampilkan dengan pakaian yang minim sehingga tampak lucu sekaligus menjijikkan. Foto-foto terburuk Anda yang pernah terekam kamera wartawan dijadikan bahan olok-olok. Sungguh mengerikan buat saya.
Saya melihat bagaimana Foto jago saya, Jokowi, dipajang dengan hidung memanjang ala pinokio. Fotonya yang memakai baret merah Satgas PDIP dengan wajah yang - maaf --, bloon, terpampang berulang-ulang di halaman face book. Foto bayi dalam pangkuan Megawati yang dicropping, wajahnya diganti wajah Jokowi, menggambarkan Jokowi yang sedang menyusu pada Megawati, untuk menggambarkan tuduhan bahwa Jokowi adalah capres bonekanya Megawati. Sungguh terlalu.
Tak kurang-kurang pula, bagaimana foto-foto Prabowo dalam keadaan sedang tidak enak dipandang ditampilkan oleh para pendukung Jokowi. Ada yang ditampilkan dengan pakaian pengantin yang bersanding dengan Fadli Zon, ada pula  Prabowo dalam balutan rumbai mini yang merupakan gambar hasil rekayasa pula. Foto-foto itu menggelikan sekaligus mengerikan.
Belum lagi isu dan dan gosip yang diangkat, yang dikenal sebagai kampanye hitam, sebagai manuver menjatuhkan citra lawan. Di satu sisi Jokowi digambarkan sebgai sosok yang atheis sedangkan prabowo digambarkan sebagai sosok yang gagal dalam keluarga, serta sosok yang pemberang.
Hampir tidak ada batas antara yang boleh dan yang tidak dalam politik. Walaupun tentu saja ada aturan hukum normatif yang melarang orang menista orang lain baik melalui kata maupun foto di media sosial. Tapi karena massifnya perbuatan itu berlangsung di internet, tentu aparat hukum tak berdaya mengambil tindakan. Terlebih mengingat bahwa menindak secara hukum sebuah aksi politik -- sekalipun jelas-jelas ada unsur perbuatan pidana -- sangatlah sensitif. Maklum, keadaan tidak dalam situasi tertib yang nomral melainkan sedang terjadi pertarungan kekuasaan dan tentunya aparat hukum menghindar untuk tidak terserempet 'peluru' nyasar.
Bercermin dari gencarnya pertermpuran di medsos ini, Â saya jadi ingat kisah jaman lalu (entah ini dongen atau kisah nyata) dimana para calon pemimpin benar-benar mempersiapkan diri agar bisa tampil tanpa cacat. Mereka bertapa dan berpuasa mempersiapkan diri agar menjadi digdaya. Mereka juga melakukan lakon-lakon tertentu untuk menyucikan diri.
Walaupun jaman dulu adalah jaman kerajaan, proses suksesi tidak serta merta beralih pada anak keturunan atau yang memiliki kaitan darah kepada raja yang berkuasa. Putra mahkota selalu dipersiapkan dengan ritual dan lakon yang ketat. Putra mahkota yang dipersiapkan harus mengikut seluruh rangkain proses hingga dinyatakan lulus oleh pembimbingnya (secara lahir maupun spiritual).
Alangkah mulianya jabatan politik itu. Sehingga seseorang harus sudah digembleng bahkan sejak usia dini. Jabatan itu tidak diraih begitu saja pada saat ada peluang yang terbuka.
Hikmah  dari pilpres 2014 yang dramatis ini cukuplah jadi pelajaran bagi para politisi yang ingin merebut jabatan publik. Hindarilah segala perbuatan yang menimbulkan cacat sosial dan moral sedapat mungkin sehingga tidak menjadi bulan-bulanan isu pada saat pertarungan kelak. Dan setelah menjabat, jagalah tindak-tanduk dan tutur kata sehingga tidak menjadi bumerang pada suatu saat.
Kalau bagi saya pribadi, saya tidak akan pernah berani menjadi calon presiden. Saya takut kelakuan dan kejahatan saya yang selama ini tersembunyi, kemudian  dibongkar habis. Saya juga ga siap jika martabat saya diolok-olok di media sosial. Suer, saya ga akan pernah mau jadi calon presiden, kecuali dengan bayaran yang setimpal dengan harga diri saya. He he he.....
Akhir kata, saya ucapakan:
Selamat memiliki Presiden-Wakil Presiden baru untuk seluruh rakyat Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H