Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beberapa Kisah Patriotik Silent Majority Korban Rezim Militer Orde Baru

25 Februari 2015   19:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumm ia bakar obligasi yang nilainya mungkin cukup besar itu, anaknya menanyakan dimana tempat penyimpanan lembar obligasi itu. Ketika ia tahu bahwa anaknya ingin menukarkannya karena udah jatuh tempo ia malah berucap: "Kalian ini, udah merdeka aja ga bersyukur, malah cari untung dari negara", maka dibakarnyalah lembar-lembar obligasi itu.Dan si anak hanya terdiam gigit jari.

Kawan, ada satu cerita lagi. Pembersihan setelah tahun 1965 merembet pula ke pegawai perkeretaapian. Ada yang memang pengurus dari organisasi terafiliasi dengan  PKI, ada juga yang tak tahu apa-apa tapi kena skorsing. Ya, awalnya dikatakan hanya skorsing akan tetapi hingga akhir hayatnya tak pernah dipanggil lagi untuk bekerja kembali. Dia hanya sempat mendengar desas desus bahwa ia disebut-sebut 'terlibat'. Nah, istilah 'terlibat' adalah kosa kata sakti jaman itu, bahkan hingga tahun 1990-an. Tak boleh seseorang terkena cap 'terlibat', bisa bahaya.

Alkisah, sebagian dari rekan sekerja mantan pejabat perkeretaapian ini bermpati pada nasibnya dan berupaya mengurus rehabilitasi dan mendapatkan pensiun pada awal 1980-an. Merekapun mengajak sang kolega, mantan pimpinannya. Tapi si-korban ini tak bergairah menyambutnya. Ia menganggap bahwa pengabdiannya kepada negara sudah selesai dan tak perlu meributkan uang pesangon dan pensiun segala. Ia legowo, ia nrimo. Begitu katanya.

Nah, cerita ini mau saya tutup dulu. Tapi sebelumnya, saya ingin catatakan beberapa inti sari dialog saya dengan manusia-manusia patriotik ini.

Pertama, ada diantara mereka yang benar-benar merupakan kader Partai Komunis Indonesia yang jelas-jelas diuber dan berupaya dimusnahkan oleh penguasa pasca tragedi '65. Tapi saat situasi memungkinkan untuk menagih rehabilitasi mereka tetap diam dan tak ikut teriak mengorek kesalahan negara. Apa kata mereka dan bagaimana sikap batin mereka? Mereka malah bertanay, "kenapa mesti menagih?" Itu adalah resiko politik. Dalam politik, kita bisa kehilangan segalanya termasuk nyawa. Sikap mereka, tak mau menjadi kader yang cengeng yang berteriak minta diperhatikan oleh lawan politiknya. Dalam politik, jika ingin direhabilitasi, jika ingin diagungkan (begitu istilah mereka), maka jadilah pemenang di panggung kekuasaan politik.

Kedua, mereka yang terserempet bahaya kekejamann politik semata-mata kerena membela Bung Karno. Bagi mereka  membela Bung Karno adalah sebuah sikap cinta tanah air. Mereka menganggap telah berdiri bersama dalam satu barisan revolusioner menghancurkan musuh bersama  yaitu Inggris dan Amerika sebagai representasi 'nekolim' (neo kolonialisme dan neo imperialisme).  Ini adalah jargon politik Bung Karno kala itu.

Bahwa kemudian mereka tergilas dan menjadi korban, tak jadi soal. Itu adalah hukum besinya sejarah, sebagaimana Bung Karno - sang panutan - sering mengamanatkan. Maka mereka tak menganggap penting untuk rehabilitasi, apa lagi minta kompensasi pada negara. Mereka adalah para pemeluk teguh sikap ideologis.

Kawan, mungkin kalian akan bilang bahwa mereka ini hanya segelintir orang-orang nyentrik diantara sekian banyak korban kekejaman rezim militer negeri ini. Mereka justru minoritas diantara mereka yang selalu -- sepanjang sejarah Orde Baru  hingga kini -- yang masih bersemangat menuntut dan menyuarakan Hak Azasi Manusia mereka.

Terus terang, kawan. Saya tak tahu perbandingan jumlah mereka, antara yang getol menuntut HAM dengan mereka yang diam. Saya tak pernah melakukan sensus. Tapi saya mengatakan bahwa mereka adalah majority dalam hal sikap. Jika ditilik dari keteguhan mereka, maka mereka-mereka ini memiliki sikap kepeloporan pada jamannya. Para pelopor biasanya adalah penentu. Maka bagi saya, mereka adalah kader, mereka adalah patriot. Sayang sekali, bahwa mereka telah hampir habis karena punah oleh usia. Rupanya, selama 40 tahun mereka tak pernah mendapat momentum yang mereka tunggu. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun